"Serius kamu bakal KKN di Sariak, Al?" Mata Robi sampai melotot saking kagetnya.
"Tuh, lihat saja sendiri!" Telunjukku mengarah ke atas kertas yang di dalamnya terdapat nama dan lokasi KKN-ku.
"Kamu sudah tahu seperti apa itu Sariak? Atau setidaknya, kamu tahu Sariak itu ada di mana?"
God, aku benar-benar kuper (kurang pergaulan) ternyata. Sudah berapa lama aku tinggal di daerah Sumatera Barat, tapi hanya daerah itu-itu saja yang kutahu.
Robi pun akhirnya menjelaskan secara singkat di mana itu Nagari Sariak Alahan Tigo dan bagaimana kondisi riil di sana. Dan usai mendengar semua itu, badanku pun merinding. Bulu kudukku meremang. Dengan tangan gemetar, kugenggam pergelangan tangan Robi.
"Kamu jangan bercanda dong, Rob."
"Kalau kamu ndak percaya, tuh, tanya aja langsung ama penduduk aslinya." Robi segera menunjuk seorang cowok yang berdiri di sebelahku. Namanya Azril, yang ternyata teman satu tim KKN-ku.
"Hei, ambo bukan urang Sariak, yo. Ambo tingga di Talang Babungo(1)," elak Azril cepat.
Dan di sinilah aku kini. Di sebuah nagari terpencil dan terisolir, yang sama sekali belum tersentuh oleh roda pembangunan, belum dialiri listrik negara, apalagi aliran telepon.
Ah. Kembali aku mendesah. Pekan pertama berada di nagari ini, aku hanya bisa menangis dan menangis. Menyesali keputusan kampus yang tak adil ini. Bagaimana mungkin nagari seperti ini bisa dijadikan lokasi KKN mahasiswa strata satu? Huh! Aku merutuk-rutuk saking kesalnya.
"Sudahlah, terima saja. Manja amat jadi orang. Sekali-kali merasakan hidup di zaman batu apa salahnya, sih?" Yunita, anak Sejarah, teman timku yang paling ekstrim dalam berbicara, menyindirku habis-habisan.