Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta dalam Lautan Banjir (Bab 4)

6 Mei 2016   23:00 Diperbarui: 7 Mei 2016   16:30 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="Polisi Brimob (semerusatu.com)"][/caption]

4. Menggapai Impian

 

Teruntuk anakku:

Girianto

di Jakarta

 

Salam sejahtera selalu untuk keluargaku di Jakarta,

Gimana kabarmu saat ini, Nak? Semoga kamu baik-baik saja di sana. Demikian pula dengan kabar kami di sini, Puji Tuhan, semoga dalam keadaan sehat selalu.

Oma dan Winda juga baik, kan? Sungguh, kami merindukan kalian semua. Andai kalian bersedia kami ajak kemari, tentunya rumah di sini tidaklah terlalu sepi. Tidak seperti sekarang, hanya ada kami berdua: Papa dan Mama saja.

Nak, gimana dengan pekerjaanmu di sana? Kamu masih betah bekerja di toko catnya Kong Ali? Apa tak ingin mengubah nasib menjadi lebih baik lagi? Gimana dengan cita-citamu yang - katamu - ingin mengikuti jejak Opa dan Papa, menjadi polisi? Masihkah hal itu menjadi impianmu? Papa harap, sih, begitu.

Nak, kemarin Papa dapat info. Katanya saat ini sedang dibuka Pendaftaran Bintara Brimob Polri untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Cobalah kamu cari info detilnya. Kalo ada yang tak kamu pahami, hubungi saja Papa. Nanti Papa bantu.

Oya, buat Mamaku tersayang. Wesel untuk bulan ini akan segera Arman kirimkan, ya, Ma? Maaf kalo rada telat dan tidak berbarengan datangnya dengan surat ini.

Dan buat putri kecil Papa, rajin-rajinlah belajar. Agar apapun yang kamu cita-citakan itu dapat terwujud. Oya, sebentar lagi mau ujian kenaikan kelas, kan? Kurangi mainnya. Fokus selalu ke belajar. Liburan nanti mau ke Kupang nggak? Mama kangen sama kamu. 

Kata Oma, sanggarmu mau mengadakan pementasan di Bali, ya? Kapan itu? Asalkan tidak mengganggu sekolahmu, Papa dan Mama akan selalu mendukungnya. Dan bila sikonnya mendukung, Mama - katanya - berkeinginan sekali bisa hadir untuk melihat langsung pertunjukanmu. Semoga saja bisa terwujud, ya, Nduk.

Sekian saja surat dari Papa. Saran Papa untuk Giri, kalo emang kamu serius ingin jadi polisi, cobalah ikuti pendaftaran ini. Penuhi segala persyaratannya. Berlakulah jujur dan jangan pernah bermain sogokan. Papa sangat tak suka itu. Kata almarhum Opa kamu - yang selalu Papa ingat, "Jika memang kamu qualified menjadi sesuatu, Tuhan pasti akan menolongmu. Jadi, jangan pernah lakukan kecurangan." Camkan itu selalu, Nak!

 

Kupang, akhir Mei 1986

Peluk cium dari kami,

 

Papa dan Mama

 

Usai membaca surat dari Papa, Girianto hanya mampu menghela napas panjang. Belum sempat ia mengutarakan keinginannya, ternyata Sang Papa telah lebih tahu apa yang selama ini dicita-citakannya. Ya, Giri memang pernah mengungkapkan cita-citanya itu dan Sang Papa pun mendukungnya. Tapi sejak lulus SMA dua tahun lalu, keinginan itu belum sempat diwujudkannya. Alasannya klasik, ia belum merasa yakin dan percaya diri untuk mencoba. Ya, meskipun Sang Papa tak pernah putus dalam memberinya dorongan.

Saat itu jiwanya masih labil. Rasa takut gagal masih menjadi momok yang menakutkan. Karena untuk menjadi seorang polisi itu tidaklah mudah. Banyak persyaratan yang harus terpenuhi. Dan itu tidak semata-mata karena faktor kelayakan saja, tapi faktor keberuntungan pun ikut berpengaruh. Dan bicara soal faktor keberuntungan itu, maka tak heran bila banyak yang bermain curang. Sogok sana-sini dengan harapan ia bisa lulus sebagai polisi tanpa harus melalui banyak rintangan. Dan Girianto tahu persis. Bila ia ikut andil dalam aksi sogok-menyogok itu, Papa dan almarhum Opa akan sangat mengutuknya. Bisa-bisa ia tak lagi diakui anak oleh Kapten Arman Sanjaya, yang tak lain adalah papanya sendiri.

"Terkutuklah perbuatan sogok-menyogok itu!"

Terbayang sudah bagaimana ekspresi Sang Papa saat mengucapkan kata-kata itu. Dan Girianto hanya mampu meringis, perih.

"Hei, Giri. Sedang apa kau di dalam kamar?" Terdengar suara Oma Bernie disertai ketukan di pintu kamar Giri. "Kami semua menunggumu untuk makan malam bersama. Tidakkah kau merasa lapar, heh?"

Girianto buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. "Iya, Oma, sebentar."

"Akhir-akhir ini Oma perhatikan, kau lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Ada apa denganmu?"

Krek....

Pintu kamar Girianto pun terkuak.

"Iya, Oma. Ini Giri udah keluar kamar. Oma nggak perlu teriak-teriak gitulah. Kalo kedengaran ama tetangga, kan, malu."

"Pintar ngomong kau sekarang." Oma yang kesal dengan kelakuan cucu laki-lakinya itu tampak berkacak pinggang. Dan bukan Girianto pula namanya, kalau ia tak menjawab kata-kata omanya itu.

"Giri kan udah besar, Oma. Masa, sih, ngomong aja belum pin..." Belum selesai kata-kata itu terlontar dari mulut Girianto, telapak tangan Oma Bernie sudah nyaris mau mendarat ke mulutnya.

"Oma, Mas Giri, jadi makan nggak, sih?" Winda yang tampak lelah menunggu di meja makan mulai merajuk.

Mendengar rajukan Winda, kontan Oma Bernie menghentikan aksinya dan menatap ke arah cucu perempuannya itu. Demikian pula dengan Girianto. Dan saat melihat hidangan lezat yang tersaji di atas meja makan, segera Girianto pun berlari ke sana. Hal itu sekaligus untuk menghindari amukan Sang Oma yang seyogyanya tadi hampir saja hendak menamparnya.

***

"Jadi begitu isi surat dari Papamu?" ujar Oma Bernie setelah mendengar penjelasan dari Girianto.

"Nih, Oma bisa baca sendiri kalo masih belum percaya." Girianto menyodorkan surat beramplop putih yang ada di tangannya itu kepada Sang Oma.

"Sini, kemarikan surat Papa. Winda juga pengen baca." Surat itu pun akhirnya berpindah tangan ke Winda, yang segera melarikannya ke sofa depan.

"Kau sudah yakin sekarang untuk mencoba?" 

Girianto mengangguk mantap.

"Sudah tak ada lagi rasa ragu dan takut itu?"

Girianto menggeleng.

"Yakin?"

Kembali, Girianto mengangguk.

"Ya, sudah. Laksanakan!" Oma menepuk lembut pundak cucu laki-lakinya yang kadang suka jahil itu. "Besok kau cari itu info ke Polsek depan. Siapa tahu pengumumannya telah terpasang di papan informasi di sana." Oma Bernie memberikan saran.

Girianto tersenyum seraya berkata, "Spanduknya pun udah terpasang lebar di pagar Polsek, kok, Oma."

"Oya?" Terlihat mata Oma Bernie membulat.

Kembali, Girianto tersenyum, dan juga mengangguk.

"Ya, sudah. Tunggu apalagi? Segera kaulengkapi itu persyaratannya. Sudah itu kirim dan tunggu pengumuman selanjutnya."

Ah, Oma. Kata-katamu itu seolah menganggap menjadi polisi itu sesuatu yang mudah. Padahal, engkau sendiri tahu, tak mudah memegang amanah tersebut. Pengalamanmu puluhan tahun menjadi istri dan ibu dari polisi telah banyak membuktikan. Kini, cucu laki-lakimu ini pun berniat meneruskan cita-cita mulia dari suami dan juga anakmu. Doakan aku, ya, Oma Sayang. Semoga perjuangan untuk mengabdi kepada bumi pertiwi tak hanya terhenti pada anakmu saja. Semoga cucu laki-lakimu ini bisa terus mewujudkannya, bahkan juga kepada anak cucuku kelak. Amin.

***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun