Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta dalam Lautan Banjir (Bab 4)

6 Mei 2016   23:00 Diperbarui: 7 Mei 2016   16:30 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai membaca surat dari Papa, Girianto hanya mampu menghela napas panjang. Belum sempat ia mengutarakan keinginannya, ternyata Sang Papa telah lebih tahu apa yang selama ini dicita-citakannya. Ya, Giri memang pernah mengungkapkan cita-citanya itu dan Sang Papa pun mendukungnya. Tapi sejak lulus SMA dua tahun lalu, keinginan itu belum sempat diwujudkannya. Alasannya klasik, ia belum merasa yakin dan percaya diri untuk mencoba. Ya, meskipun Sang Papa tak pernah putus dalam memberinya dorongan.

Saat itu jiwanya masih labil. Rasa takut gagal masih menjadi momok yang menakutkan. Karena untuk menjadi seorang polisi itu tidaklah mudah. Banyak persyaratan yang harus terpenuhi. Dan itu tidak semata-mata karena faktor kelayakan saja, tapi faktor keberuntungan pun ikut berpengaruh. Dan bicara soal faktor keberuntungan itu, maka tak heran bila banyak yang bermain curang. Sogok sana-sini dengan harapan ia bisa lulus sebagai polisi tanpa harus melalui banyak rintangan. Dan Girianto tahu persis. Bila ia ikut andil dalam aksi sogok-menyogok itu, Papa dan almarhum Opa akan sangat mengutuknya. Bisa-bisa ia tak lagi diakui anak oleh Kapten Arman Sanjaya, yang tak lain adalah papanya sendiri.

"Terkutuklah perbuatan sogok-menyogok itu!"

Terbayang sudah bagaimana ekspresi Sang Papa saat mengucapkan kata-kata itu. Dan Girianto hanya mampu meringis, perih.

"Hei, Giri. Sedang apa kau di dalam kamar?" Terdengar suara Oma Bernie disertai ketukan di pintu kamar Giri. "Kami semua menunggumu untuk makan malam bersama. Tidakkah kau merasa lapar, heh?"

Girianto buru-buru bangkit dari tempat tidurnya. "Iya, Oma, sebentar."

"Akhir-akhir ini Oma perhatikan, kau lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Ada apa denganmu?"

Krek....

Pintu kamar Girianto pun terkuak.

"Iya, Oma. Ini Giri udah keluar kamar. Oma nggak perlu teriak-teriak gitulah. Kalo kedengaran ama tetangga, kan, malu."

"Pintar ngomong kau sekarang." Oma yang kesal dengan kelakuan cucu laki-lakinya itu tampak berkacak pinggang. Dan bukan Girianto pula namanya, kalau ia tak menjawab kata-kata omanya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun