Kid I used to be...
***
Saat yang sama di tempat berbeda...
Seorang gadis semampai dengan lesung pipit di kedua pipinya sedang tiduran telentang sambil menatap langit-langit kamarnya. Hatinya gundah gulana saat mendapat tatapan sedemikian rupa dari seorang laki-laki - abang teman kursusnya - di sanggar tari tradisional Cempaka setelah latihan sore tadi.
"Kenapa Mas Giri menatapku seperti itu, ya? Apa ada yang salah denganku, ato dengan penampilanku? Winda pun tampaknya juga nggak suka saat abangnya menatapku. Lha, emang apa salahku? Aku kan sama sekali tak menggoda abangnya?" Gumam gadis bernama Kristi itu.
Sebenarnya Kristi berkeinginan sekali menelepon Indah, sahabatnya. Tapi urung dilaksanakannya. Karena di ruang depan, terlihat kedua orangtuanya sedang asyik menonton televisi. Gadis itu takut, bila ia menggunakan telepon rumah yang terletak di ruang depan untuk bergosip soal Girianto, maka yang ada kedua orangtuanya akan menguping pembicaraannya di telepon. Sehingga hasil akhirnya pun sudah bisa ditebak.
Ya, hingga detik ini, bapak-ibunya masih saja memegang teguh prinsip mereka. Tetap tak memberi izin kepada anak-anaknya - Kristi dan kedua adik cowoknya - untuk mengenal lawan jenis dan cinta. Padahal pada remaja seusia Kristi, kedua kata itu sudah mulai merasuki jiwa. Tapi, ya, sudahlah.
Kristi memang anak yang penurut. Jadi meskipun ia suka iri melihat teman-temannya mulai pacaran di sekolah, ia memilih tetap sendiri sampai izin berpacaran itu keluar dari mulut orangtuanya.
Ah, udahlah. Peduli amat dengan yang namanya Girianto itu. Toh, aku tak begitu mengenalnya. Dengan Winda pun hanya sebatas teman satu sanggar. Jadi, tak perlu ada rasa sungkan atau apapun, bila esok ketemu lagi dengan mereka di sanggar.
Dan Kristi pun akhirnya terlelap juga malam itu tanpa merasa terbebani oleh mimpi apapun tentang Winda dan Girianto.
***