Mohon tunggu...
Ali Hasan Siswanto
Ali Hasan Siswanto Mohon Tunggu... -

Pengamat politik dan penikmat Moralogi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matinya Sang Nalar Kritis

19 Februari 2017   12:54 Diperbarui: 19 Februari 2017   13:07 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Manusia dilahirkan dari ruang kosong

Menangis tanpa tahu apa yang ditangisi

Mereka seperti kertas putih tanpa goresan apapun

Namun mereka membawa instrumen memperoleh pengetahuan

Begitulah sabda John Locke pada abad 17

Mereka mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman dan persepsi sehingga menjadi konsep pengetahuan yang diyakini.

Namun pengetahuan bukan hanya sekedar pengetahuan

Pengetahuan harus berpijak realitas dengan bangunan nalar kritis, begitu sabda Immanuel Kant

Kritis pada realitas hegemonik, 

Kritis pada ketidak adilan,

Kritis pada penjajahan,

Kritis pada ketimpangan,

Kritis pada ketidak berdayaan,

Begitulah kiranya sabda Karl Marx untuk menggelorakan manusia untuk melek pada ketimpangan realitas

Sabda pengetahuan kritis ingin mengembalikan manusia kepada qudratnya

Memanusiakan manusia adalah tujuan pengetahuan kritis tanpa kelas.

Namun pengetahuan kritis seakan mencapai titik nadir kematian

Pengetahuan kritis dibungkam dengan memaksa manusia terkurung dalam alienasi

Tunduk patuh kepada sabda kekuasaan

Kekuasaan hegemonik membungkam dan membunuh pengetahuan kritis

Padahal kekuasaan tanpa pengetahuan akan jadi anarkis, menjajah dan mengalienasikan manusia dan pengetahuan kritisnya. Begitu petuah Foucalt

Kekuasaan dan pengetahuan harus bersinergi dan mutualistik

Pengetahuan tanpa kekuasaan hanya bumbung kosong di atas langit

Kekuasaan tanpa pengetahuan menciptakan barbarian

Sinergi pengetahuan dan kekuasaan akan memanusiakan manusia

Namun kekuasaan kadang sewenang wenang

Melanggengkan status quo dengan dalih kemapanan

Kekuasaan tidak jarang memakan tumbal

Kekuasaan memenggal setiap nalar kritis

Kekuasaan memasung kebebasan

Sungguh sangat naif, ketika manusia tak berkutik 

Menerima dihargai dengan sekitar perut 

Menerima kebebasan dipasung

Menerima menjadi tumbal kemapanan

Menerima nalar kritis dibungkam

Pada saat itulah titik sejarah matinya nalar kritis

Matinya nalar kritis dalam jiwa manusia 

Memunculkan tanda tanya, dimanakah eksistensi manusia? 

Begitu Sartre mempertanyakan eksistensi kemanusiaan manusia

Manusia bereksistensi ketika:

Menggunakan akal pikirannya, sesuai dengan cogito ergo sumnya descartes

Sadar akan kebebasan berkehendaknya seperti petuah Nietzshe

Sadar akan kebebasan jiwanya seperti petuah Sartre

Sadar akan daya kritisnya seperti petuah Kant

Sadar untuk merasakan emosi, semangat dan melakukan pembelaan terhadap kaum tertindas, seperti petuah Gramsci dalam intelektual organiknya. 

Sadar bukan hanya sekedar sadar, tetapi sadar dalam bertindak

Sadar bertindak dalam bahasa seperti kata Saussure

Sadar dalam pembelaan pada lainnya seperti kata Straus

Disaat itulah akan terbentuk masyarakat progressif berbasis kritis untuk menuju eksistensi lebih baik

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun