Manusia dilahirkan dari ruang kosong
Menangis tanpa tahu apa yang ditangisi
Mereka seperti kertas putih tanpa goresan apapun
Namun mereka membawa instrumen memperoleh pengetahuan
Begitulah sabda John Locke pada abad 17
Mereka mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman dan persepsi sehingga menjadi konsep pengetahuan yang diyakini.
Namun pengetahuan bukan hanya sekedar pengetahuan
Pengetahuan harus berpijak realitas dengan bangunan nalar kritis, begitu sabda Immanuel Kant
Kritis pada realitas hegemonik,Â
Kritis pada ketidak adilan,
Kritis pada penjajahan,
Kritis pada ketimpangan,
Kritis pada ketidak berdayaan,
Begitulah kiranya sabda Karl Marx untuk menggelorakan manusia untuk melek pada ketimpangan realitas
Sabda pengetahuan kritis ingin mengembalikan manusia kepada qudratnya
Memanusiakan manusia adalah tujuan pengetahuan kritis tanpa kelas.
Namun pengetahuan kritis seakan mencapai titik nadir kematian
Pengetahuan kritis dibungkam dengan memaksa manusia terkurung dalam alienasi
Tunduk patuh kepada sabda kekuasaan
Kekuasaan hegemonik membungkam dan membunuh pengetahuan kritis
Padahal kekuasaan tanpa pengetahuan akan jadi anarkis, menjajah dan mengalienasikan manusia dan pengetahuan kritisnya. Begitu petuah Foucalt
Kekuasaan dan pengetahuan harus bersinergi dan mutualistik
Pengetahuan tanpa kekuasaan hanya bumbung kosong di atas langit
Kekuasaan tanpa pengetahuan menciptakan barbarian
Sinergi pengetahuan dan kekuasaan akan memanusiakan manusia
Namun kekuasaan kadang sewenang wenang
Melanggengkan status quo dengan dalih kemapanan
Kekuasaan tidak jarang memakan tumbal
Kekuasaan memenggal setiap nalar kritis
Kekuasaan memasung kebebasan
Sungguh sangat naif, ketika manusia tak berkutikÂ
Menerima dihargai dengan sekitar perutÂ
Menerima kebebasan dipasung
Menerima menjadi tumbal kemapanan
Menerima nalar kritis dibungkam
Pada saat itulah titik sejarah matinya nalar kritis
Matinya nalar kritis dalam jiwa manusiaÂ
Memunculkan tanda tanya, dimanakah eksistensi manusia?Â
Begitu Sartre mempertanyakan eksistensi kemanusiaan manusia
Manusia bereksistensi ketika:
Menggunakan akal pikirannya, sesuai dengan cogito ergo sumnya descartes
Sadar akan kebebasan berkehendaknya seperti petuah Nietzshe
Sadar akan kebebasan jiwanya seperti petuah Sartre
Sadar akan daya kritisnya seperti petuah Kant
Sadar untuk merasakan emosi, semangat dan melakukan pembelaan terhadap kaum tertindas, seperti petuah Gramsci dalam intelektual organiknya.Â
Sadar bukan hanya sekedar sadar, tetapi sadar dalam bertindak
Sadar bertindak dalam bahasa seperti kata Saussure
Sadar dalam pembelaan pada lainnya seperti kata Straus
Disaat itulah akan terbentuk masyarakat progressif berbasis kritis untuk menuju eksistensi lebih baik
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H