Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya "Arus Balik" Jilid 2, Masyarakat Sipil Perlu Sadar Kedaulatan Maritim Indonesia dari Ancaman Konflik Laut China Selatan

31 Mei 2024   20:01 Diperbarui: 31 Mei 2024   20:14 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: ugm.ac.id (https://egsa.geo.ugm.ac.id/2017/11/06/sengketaperairanlautcinaselatan/)

"Tunggu," tegah Wiranggaleng, "biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini ..." (hlm. 746) Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer.

Laut adalah pertaruhan kedaulatan. Laut adalah tanda bangsa besar. Menguasai lautan adalah syarat tegaknya kedaulatan suatu negara. Maka, tak heran bila negara-negara maju selalu berorientasi pada maritim. Mereka berlomba-lomba menaklukkan lautan bebas, menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru mata angin, lalu menjadi bangsa besar di panggung dunia.

Indonesia, dalam sejarahnya, pernah menjadi bangsa maritim besar di era Sriwijaya dan Majapahit. Sayangnya pasca kejatuhan perairan Malaka di tangan Portugis, masa kejayaan nusantara berakhir. Tragisnya, masa keemasan itu tak bisa dipulihkan kembali, sekaligus membuka abad kegelapan nusantara di bawah kolonialisme. Itulah akibat yang diterima bila gagal mempertahankan kedaulatan laut.

Mungkin masih ada yang bertanya-tanya, apa kaitannya laut di jauh sana dengan kita yang hidup sehari-hari di pedalaman daratan? Bagaimana situasi laut bisa mempengaruhi hidup kita?

Kebutuhan kita akan laut tak sebatas pada ikan dan garam. Lebih dari itu! Laut menentukan hidup dan mati kita semua.

Kita semua berkepentingan terhadap lautan, terlebih di era globalisasi yang membuat kita saling bergantung satu sama lain. Sebagian besar barang-barang yang kita gunakan sehari-hari datang dari laut. Begitu pula dengan bahan-bahan makanan kita juga datang dari lautan. Mulai dari motor, smartphone, bensin, gas masak, gandum, pupuk, bawang putih, hingga benda sesimpel peniti yang masih diimpor dari luar negeri.

Coba bayangkan bila suatu hari lautan terjadi sesuatu, otomatis barang-barang yang biasa dengan mudah dibeli pun tak dijumpai lagi di pasar dan toko. Kelangkaan barang pun terjadi dimana-mana, masyarakat pun panik seperti saat COVID-19 kemarin. Tak hanya itu, kita juga tak bisa menjual hasil bumi dan produk industry kita ke dunia. Ekonomi terhenti, pengusaha bangkrut, jutaan rakyat menganggur. Apakah kita mau?

Kejatuhan Malaka cukuplah menjadi sejarah pahit yang tak boleh diulangi. Kita harus belajar dari peristiwa itu, salah satunya dengan membaca Roman "Arus Balik", sastra maritim karya penulis tersohor Pramoedya Ananta Toer.

sumber: Goodreads.com (https://www.goodreads.com/book/show/963151.Arus_Balik)
sumber: Goodreads.com (https://www.goodreads.com/book/show/963151.Arus_Balik)

Novel "Arus Balik" bercerita kejatuhan Malaka di tangan Portugis pada tahun 1511. Jatuhnya Malaka berdampak pada putusnya hubungan perdagangan dengan Demak (Jawa) yang sudah terjalin berabad-abad.

Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, melainkan hilangnya kendali bangs akita atas arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal dagang dari India, Arab, hingga Eropa tak berani lagi singgah di Malaka. Lalu lintas dagang dunia ke Demak, Tuban (Jawa) pun terputus.

Dari Malaka, Portugis mulai mengacak-acak perairan nusantara. Kehidupan nusantara pun semakin kacau. Portugis mulai menguasai Maluku, pusat rempah-rempah dunia. Mereka membawa langsung komoditas strategi situ ke Malaka, tak melalui Jawa. Sebaliknya, orang-orang Maluku tak bisa lagi mendapat barang kebutuhan dari Jawa.

Perairan nusantara pun dikendalikan sepenuhnya oleh Portugis. Sejak itu, arus niaga dan modal pun "berbalik", dari utara ke selatan. Satu persatu, armada asing datang silih berganti dari utara, merebut kota-kota Pelabuhan dan niaga di nusantara.

Kapal-kapal bangsa kita menganggur di bandar pelabuhan. Nenek moyang kita tak bisa berdagang bebas seperti sebelumnya. Mereka terpaksa membeli kebutuhan dan menjual hasil buminya hanya pada penjajah yang menerapkan monopoli dagang yang tak menguntungkan bangsa. Hasil keringat kita sangat murah, sedangkan barang kebutuhan pokok semakin mahal.

Sejak perairan nusantara jatuh, bangsa terus dipukul mundur. Dari lautan, lalu ke pantai, lalu mundur lagi ke pelosok hutan hingga pedalaman gunung-gunung sepanjang selatan pulau. Sejak menjauhi pesisir, kita menjadi bangsa yang terbelakang, dijajah bangsa-bangsa asing hingga tiga setengah abad lamanya. Itulah kutukan akibat gagal mempertahankan kedaulatan maritim.

Apakah bangsa kita begitu lemah, sampai-sampai tak bisa memberikan perlawanan, merebut kembali kedaulatan maritimnya? Oh tidak. Letak kesalahan justru ada pada sikap penguasa nusantara kala itu malah memunggungi laut, usai satu kali kalah melawan Portugis. Mereka meninggalkan visi maritim. Nyali pelaut mereka sudah padam. Mereka justru mengerahkan tenaganya untuk "menguasai daratan".

Dampaknya sangat buruk, sebab ambisi menguasai daratan menjebak bangsa kita dalam perang saudara tak berkesudahan. Saling berebut wilayah kekuasaan. Nusantara pun semakin terbelakang secara politik. Bangsa kita terpecah belah, bahkan tak sedikit penguasa yang justru bekerjasama dengan pihak asing untuk melenyapkan saudara sebangsanya sendiri. Korbannya adalah rakyat, mereka ditindas dan nelangsa akibat penguasanya diadu-domba melalui politik "devide et impera" bangsa asing.

Meski hari ini kita sudah merdeka, menjadi Indonesia yang berdaulat, bukan berarti kisah kelam jatuhnya Malaka tak akan terulang di masa depan. Justru ancaman "Arus Balik" jilid 2 itu semakin nyata belakangan ini. Dimana? Tentunya di Konflik Laut China Selatan (LCS).

Konflik Laut China Selatan, Ancaman "Arus Balik" Era Modern

Pertarungan beragam kepentingan di perairan strategis Asia ini (LCS) bukan tak mustahil dapat menjelma menjadi "Arus Balik" era modern yang akan menyapu habis mimpi Indonesia emas 2045, jika tak dikawal serius.

Mengapa LCS menyulut konflik? Alasannya, perairan ini sangat strategis dari berbagai aspek.

Perairan yang membentang dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan adalah jalur niaga dunia dengan total nilai perdagangan mencapai USS 3,37 triliun pada 2016 serta mencakup 40% perdagangan gas alam cair (LNG) global. Diperkirakan sepertiga perlintasan laut berlalu-lalang di perairan ini. Tak heran bila LCS berperan vital bagi industri logistic global dan menjadi sub-wilayah ekonomi penting di Indo-Pasifik.

Dari segi pertahanan, LCS punya peran strategis terutama bagi negara-negara Asia. Dengan membangun pangkalan militer di perairan ini, maka akan memperkuat pertahanan negara dari ancaman regional eksternal.

Dari segi ekonomi, LCS menyimpan banyak sekali kekayaan alam. Hasil lautannya mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara. Perairan ini juga menyimpan cadangan minyak dan gas alam yang besar. Diperkirakan ada sebanyak 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam yang belum dimanfaatkan.

Daya Tarik LCS memikat banyak negara dalam pusaran konflik. Mulai dari China, Taiwan, Asia Tenggara, bahkan Amerika dan Eropa juga turut berebut. Masing-masing membawa klaim atau argument untuk bisa mendominasi perairan tersebut. Akar konflik LCS disebut-sebut akibat tak ada negara yang secara eksplisit diberi kedaulatan atas perairan ini, usai Jepang menyerahkan diri setelah kekalahannya di Perang Dunia II.

Klaim paling kontroversial datang dari China, yang menyatakan kepemilikan perairan tersebut melalui konsep garis imajiner Nine Dish-Line (Sembilan Garis Putus-Putus). Garis imajiner tersebut mencakup 90% perairan LCS. Cina mendasarkan klaimnya pada argument historis bahwa LCS adalah wilayah perairan penangkapan ikan tradisional bangsa China sejak dulu.

Konsep Nine Dish-Line (NDL) sudah dinyatakan China sejak tahun 1947, di era kekuasaan Partai Kuomintang. Lalu pada 1982, PBB menetapkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) bagi tiap negara. Namun, UU PBB tersebut ditolak China dan tetap bersikeras klaimnya atas LCS berdasarkan NDL. China menolak klaim negara-negara lain atas Kawasan tersebut.

Usai Rezim Kuomintang dikalahkan Parta Komunis China, mereka pun menempati pulau Taiwan dan mendirikan  Republik Tiongkok. Alhasil, baik China Daratan (Republik Rakyat Tiongkok/RRT) maupun Taiwan sama-sama memperebutkan LCS dengan dasar NDL. Taiwan mengklain sejumlah pulau di LCS, meliputi Spratly (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), dan Macclesfield Bank (Zhongsha).

Negara Kawasan Asia Tenggara tak tinggal diam atas klaim China di LCS, sebab NDL China tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) beberapa negara ASEAN. Misalnya adalah Filipina. Negara ini sudah sering berkonflik dengan China di LCS. Konflik semakin parah pada 2012 saat China merebut Scarborough Shoal yang terletak sekitar 220 kilometer di lepas pantai Filipina dan berada dalam garis ZEE menurut hukum maritime internasional.

Manila pun membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2013, di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan tersebut memutuskan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum. Namun sebagaimana lazimnya watak negara besar, China pun mengabaikan putusan tersebut dan semakin menegaskan klaimnya dengan membangun pulau-pulau buatan, instalasi militer, hingga mengerahkan coast guard ke perairan LCS. Kecenderungan watak "semau sendiri" pada negara kuat inilah yang bisa mengancam kedaulatan.

Vietnam juga berkonflik dengan China di LCS terkait sejumlah pulau dan terumbu karang di Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Padahal Vietnam telah memiliki sejarah panjang mengelola dan mengklaim wilayah-wilayah tersebut berdasarkan bukti sejarah dan administrasi tradisional.

Malaysia juga mengklaim sebagian perairan LCS, termasuk sebagian rangkaian Kepulauan Spratly. Lalu Brunei Darussalam juga mengklaim terumbu karang Louisa Reef yang berada di selatan Kepulauan Spratly itu berada di landas kontinennya.

Indonesia sendiri semula tidak termasuk dalam negara yang bersengketa di LCS. Namun belakangan, usai China menerbitkan peta terbarunya dengan menambah satu garis putus-putus menjadi Ten-Dash Lines, Indonesia pun terseret dalam prahara konflik dengan China terkait LCS. Sebab peta baru dari China itu tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Ketegangan Indonesia dengan China memuncak saat China memprotes Indonesia yang melakukan eksplorasi pengeboran minyak di Laut Natuna Utara. China juga memprotes pergantian pergantian nama sebagian perairan LCS itu menjadi Laut Natuna Utara. China mengklaim Laut Natuna Utara masuk dalam wilayahnya, berdasarkan Ten-Dash Lines China.

Meski wilayah konflik adalah ZEE, dimana statusnya adalah sovereignty right (hak berdaulat), belum masuk wilayah teritori kedaulatan Indonesia (sovereignty), konflik LCS dengan China berpotensi besar mengancam kedaulatan Indonesia.

Memang, Indonesia tidak berhak penuh atas ZEE. Tapi negara lain tidak boleh mengelola kawasan perairan ZEE tanpa seizin Indonesia. Sebab ZEE memberikan hak ekslusif pada Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan perairannya untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, hingga pengelolaan sumber daya alamnya, baik hayati maupun non hayati seperti energi.

Bayang-Bayang Post-Cold War di LCS

Kita harus membuka mata, bahwa di dunia internasional masih berlaku hukum rimba; "siapa yang kuat, dia yang menang." Negara dengan kekuatan ekonomi dan militer kuat kerap kali mengabaikan hukum internasional, terus melancarkan serangan, tak peduli kecaman dunia. Misalnya seperti yang dilakukan Israel hari ini. Tentu sangat berbahaya jika China punya kecenderungan serupa, maka akan mengancam kedaulatan Indonesia.

Namun, China bukan satu-satunya pihak yang perlu diwaspadai. Kita juga perlu memperhatikan kebijakan luar negeri Amerika maupun kepentingan Barat di Indo-Pasifik, yang berupaya membendung pengaruh China. Tak ayal, LCS dapat membangkitkan kembali konflik antara Blok Barat dan Blok Timur di Asia Tenggara.

Dari sudut China, LCS adalah gerbang yang menghubungkan Tiongkok ke dunia internasional. Sebagian besar produk manufaktur China diekspor melalui LCS. Melalui perairan ini pula, sebagian besar bahan baku produksi hingga kebutuhan pangan dan energi China masuk. Tak heran bila Tiongkok mati-matian berupaya menguasai perairan ini.

Lalu dari segi keamanan nasional, LCS juga menjadi kawasan rentan bagi China bila perairan tersebut jatuh di tangan musuh, seperti Amerika dan sekutunya. Tiongkok akan sangat terbuka terhadap untuk ancaman invansi dari lautan bila gagal mengendalikan LCS. Terlebih lagi pusat-pusat politik dan ekonomi mereka berada di kawasan pantai. Selain itu, 90% penduduknya juga menempati kawasan subur yang membentang dari sisi pantai LCS.

Dengan hadirnya Amerika dan Barat di LCS semakin menyulut reaksi pertahanan nasional Tiongkok. Kondisi ini mirip seperti alasan Rusia menyerang Ukraina, usai negara yang dipimpin Zelensky itu menyatakan bergabung ke NATO. Dari segi geopolitik, posisi LCS sama dengan Ukraina yang minimal seharusnya netral, atau jika tidak, dikuasai sekaliah demi keamanan nasional terjamin. Tapi, tentu saja Amerika tidak rela rivalnya itu bangkit lebih besar lagi.

Upaya Amerika untuk membendung pengaruh China sudah lama dilakukan dengan mendukung Taiwan, hingga membangun kemitraan strategis dengan Korea Selatan, Jepang, dan beberapa negara di Asia Tenggara.

Di bawah ideologi demokrasi dan kebebasan bernavigasi, Amerika membangun aliansi dan Kerjasama militer yang tujuannya untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di Indo-Pacific. Misalnya dengan membentuk "AUKUS" yang merupakan akronim bahasa Inggris untuk tiga anggota negara, yakni Australia, United Kingdom, dan United States.

AUKUS adalah pakta keamanan trilateral antara tiga negara tersebut yang berdiri pada 15 September 2021. Melalui pakta tersebut, Amerika Serikat dan Britania Raya akan membantu Australia untuk mengembangkan dan mengerahkan kapal-kapal selam bertenaga nuklir dan mengerahkan militernya di kawasan Pasifik. Bahkan, perjanjian tersebut juga mencakup bidang-bidang utama seperti kecerdasan buatan, perang digital, kemampuan bawah air, dan serangan jarak jauh.

Lalu ada QUAD (The Quadrilateral Security Dialogue), sebuah aliansi tak formal antara Amerika Serikat, Australia, India, dan Jepang. Kerjasama maritime diantara negara tersebut sudah dimulai setelah terjadi tsunami Samudera Hindia pada tahun 2004. Kerjasama pun berkembang ke agenda yang lebih luas, termasuk untuk mengatasi masalah keamanan, ekonomi, dan kesehatan.

Belakangan, QUAD semakin mengintensifkan hubungan mereka dalam bidang keamanan dan ekonomi, seiring dengan meningkatnya ketegangan dengan Tiongkok. Aliansi ini bergerak untuk menghadang intensifitas aktifitas Tiongkok di LCS.

Tak hanya membendung pengaruh Tiongkok, Barat juga punya kepentingan ekonomi dan politik di Indo-Pasifik. Contohnya, ada Amerika Serikat yang memiliki sejumlah kepulauan kecil di kawasan Indo-Pasifik. Lalu ada Prancis yang juga memiliki wilayah kepulauan di Indo-Pasifik, seperti Polinesia, Kaledonia, Wallis, Futuna, dan lain-lain. Untuk alasan ini, Prancis pun mempertahankan kehadiran militer permanen mereka di wilayah Indo-Pasifik.

Belakangan, Prancis semakin merapat ke Asia Tenggara usai kerjasamanya dengan Prancis kandas usai terbentuknya AUKUS. Mereka pun butuh LCS untuk mengamankan wilayahnya di Indo-Pasifik. Prancis pun menawarkan Kerjasama yang beragam, mulai dari keamanan, lingkungan, hingga pendidikan.

Selain itu, Amerika dan Barat memiliki banyak investasi strategis dan perusahaan yang tersebar di Asia Tenggara yang tentu perlu dijaga agar bisnisnya tetap aman. Contohnya seperti di Vietnam, dimana Amerika dan Barat berinvestasi besar-besaran di negara yang berbatasan dengan China tersebut. Tujuannya tak lain untuk menandingi perang dagang dari Tiongkok.

Meski tak terang-terangan mengancam kedaulatan Indonesia, seperti yang dilakukan China, kita tetap harus waspada pada pergerakan aliansi militer Barat. Dilihat dari segi geopolitik, Indonesia sebetulnya dikepung oleh kekuatan militer Barat. Bukan tak mungkin, entah dengan siasat apa, Barat akan mengganggu kedaulatan Indonesia sebagaimana yang pernah mereka lakukan usai menjatuhkan Malaka dulu.

Konflik LCS pun menempatkan Indonesia menghadapi "dua arus keruh dari utara". Bisakah kita menghadapinya?

Suara Sipil untuk Membendung "Dua Arus Keruh dari Utara"

"Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya."

"Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar mendesak arus balik dari utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya.

"Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil, ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri-sendiri." (hlm. 749) Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer.

Di atas adalah kutipan ungkapan penyesalan Wiranggaleng, tokoh dalam Roman "Arus Balik". Ia sangat menyesal sudah gagal menyadarkan para penguasa untuk merebut kembali lautan Malaka dari Portugis. Harga yang dibayar pun sangat mahal, nusantara disapu deras arus dari utara hingga harus menunggu tiga setengah abad lamanya untuk kembali pulih menjadi Indonesia.

Apa yang bisa kita pelajari dari penyesalan Wiranggaleng? Menurut saya, sebagai masyarakat sipil, kita tak boleh gagal bersuara, menyadarkan negara untuk serius mempertahankan kedaulatan maritim, terutama di Laut Natuna Utara.

Kondisi kita mungkin lebih diuntungkan. Wiranggaleng hidup di jaman kerajaan, dimana suara rakyat biasa hampir mustahil didengar raja yang memegang kekuasaan mutlak. Sedangkan kita hari ini hidup di alam demokrasi, dimana suara rakyat adalah dasar pengambilan kebijakan negara. Jadi seharusnya, suara kita lebih powerfull dibandingkan suara Wiranggaleng pada Sultan Demak.

Namun pertanyaannya, maukah kita menggunakan hak suara kita untuk kedaulatan maritim Indonesia?

Jika kita menyadari bahwa lautan jauh di utara sana menentukan hidup dan mati kita yang berada di daratan, maka sudah pasti kita akan tergugah mempertahankan kedaulatan maritim Indonesia. Kita bisa berkontribusi menjaga keutuhan lautan kita dengan menggunakan hak suara kita untuk kedaulatan maritime. Tak harus mengangkat senjata.

Saya teringat pada tahun 2016 saat mengikuti Diklat Bela Negara Angkatan pertama di Cibodas, Rumpin, Bogor. Disana saya diajari bahwa mempertahankan kedaulatan negara bukan hanya tugas anggkatan bersenjata dan pemerintah bidang pertahanan saja, melainkan juga masyarakat sipil. Bahkan sebetulnya, Membela Negara adalah hak tiap warga negara.

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Saya juga diajarkan bahwa membela negara tidak harus dilakukan dengan mengangkat senjata. Membela negara bisa dilakukan dalam tiap aktifitas dan profesi kita. Membela negara bisa dimulai dengan menyadari kewajibannya sebagai warga negara untuk mempertahankan kedaulatan negara, bukan sekedar menuntut hak individunya saja untuk merasakan kesejahteraan. Kita harus menumbuhkan rasa cinta pada tanah air yang kita cintai.

Berbekal rasa nasionalisme yang kuat, maka kita akan membaktikan kemampuan terbaik di segala lini kehidupan dan profesi untuk memperkuat negara. Misalnya dengan hal simpel seperti disiplin saat berangkat kerja hingga menjaga diri untuk pantang melakukan korupsi, sebab segala hal yang kita lakukan dapat berpengaruh pada ketahanan negara.

Sebagai seorang masyarakat sipil, power yang kita miliki adalah suara. Sebagian kita mungkin ragu, pada bisa suara kita bisa berkontribusi menjaga keutuhan laut Indonesia? Tentu bisa.

Setidaknya, suara kita bisa berperan dalam dua (2) hal, pertama, mengkawal kebijakan pemerintah terkait kedaulatan maritime di Konflik LCS, kedua, menyadarkan saudara sebangsa kita untuk sadar akan pengaruh konflik LCS terhadap kehidupan kita sehari-hari.

Dalam hal mengawal kebijakan pemerintah, suara sipil terbukti sangat kuat terlebih dengan adanya media social. Kita saksikan bersama, dimana kekuatan netizen berhasil membatalkan kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, hingga berhasil mendesak pemerintah untuk membongkar kasus-kasus janggal, kasus mandek, aduan masyarakat menjadi terselesaikan. Kekuatan netizen mampu mengkoreksi pemerintah.

Suara kita dapat berdampak besar secara politik bila berserikat. Untuk itu, masyarakat sipil perlu berorganisasi, menggelar pertemuan-pertemuan, dan menyampaikan aspirasi terkait kedaulatan maritim Indonesia dari Konflik LCS. Dengan cara ini, suara kita akan didengar oleh negara.

Ada banyak hal yang bisa kita suarakan. Misalnya, mendorong penguatan Alutsista maritim Indonesia, agar TNI mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dari segala ancaman, baik di situasi damai, masa krisis, dan masa perang. Penguatan Alutsista maritime sangat penting, bahkan kalau bisa diprioritaskan, mengingat kita adalah negara kepulauan. Ini sangat penting untuk menghadapi kecenderungan dunia internasional yang masih menganut hukum rimba.

Dengan kekuatan suara sipil, kita juga bisa mengkoreksi, dan mengawasi kebijakan pertahanan agar berjalan sesuai visi poros maritime, serta kebutuhan untuk menghadapi potensi ancaman konflik LCS. Suara kita akan mengkontrol pemerintah agar tak mengulangi kesalahan yang dilakukan Sultan Demak kala itu.

Selain mengkawal pemerintah, suara kita bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat, saudara sebangsa kita, bahwa lautan menentukan hidup dan mati kita. Kita bisa memviralkan isu kedaulatan maritime menjadi diskursus bersama di masing-masing kelompok masyarakat, sesuai dengan sudut pandang unik dan latar belakang khas masing-masing organisasi masyarakat. Dengan demikian, Poros Maritim tak hanya menjadi program pemerintah saja (top-down), melainkan juga kesadaran masyarakat (botton-up).

Selain berserikat, kekuatan suara juga berdampak besar secara politik bila bersifat ilmiah. Seperti pernyataan Francis Bacon "Knowledge is Poswer", maka riset adalah landasan dasar untuk menyusun kekuasaan. Legitimasi politik atau hukum datang dari hasil kerja ilmu pengetahuan. Inilah alasan China gencar melakukan riset, mengumpulkan arsip dan bukti sejarah sebagai landasan klaimnya atas LCS. Apakah kita hanya tinggal diam?

Oleh sebab itu, kita harus mendorong kampus, para akademisi, peneliti, sejarawan, hingga ilmuwan lingkungan agar menyusun gerakan "riset untuk pertahanan dan kedaulatan maritime Indonesia". Hasil-hasil kerja akademis itu dapat berubah menjadi barikade-barikade kuat, menghalau arus keruh dari utara yang menerjang kedaulatan maritime Indonesia.

Suara sipil tak hanya berfungsi untuk mempertahankan kedaulatan saja, melainkan mampu melambungkan Indonesia kembali mengarungi Samudra seperti dulu kala. Sebab, untuk berhasil mengarungi dunia dibutuhkan suara yang lebih tinggi, yang bernama visi, ideologi, atau pemikiran besar suatu bangsa. Mengapa? Sebab lautan selalu berpasangan dengan pemikiran besar. Hampir mustahil pikiran kerdil berani melaut.

Jika diperhatikan, bangsa-bangsa besar yang berhasil menjelajahi Samudra pasti memiliki ideologi atau pemikiran besar yang dibawa. Misalnya, bangsa Eropa dulu berlayar ke seluruh penjuru dunia membawa misi peradaban dan menyebarkan agama Kristen. Lalu, bangsa Timur-Tengah mengarungi Samudra dengan agama Islam, lalu India dengan membawa ajaran Hindu-Budha. Kemudian Jepang dengan ideologi kejayaan Asia Timur.

Lalu di abad modern, Barat kembali mengarungi Samudra dengan membawa ideologi Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Kapitalisme. Lalu ada Rusia, China dan Blok Timur dengan Sosialismenya. Lalu belakangan ini, muncul visi penyelamatan bumi, gerakan ekologi sebagai visi baru yang dibawa Barat ke seluruh penjuru dunia. Misalnya seperti Prancis yang membangun Kerjasama dengan negara Asia Tenggara di bidang lingkungan.

Itulah sederet bukti, bahwa hanya pemikiran dan visi besar yang mampu mengembangkan layar suatu negara untuk mengarungi Samudra. Negara-negara besar berorientasi pada politik luar negeri, bergerak melampaui batas gografisnya. Lantas, apa visi besar Indonesia?

Pemikiran dan visi besar hanya bisa muncul dari pergumulan percakapan rakyat, yang berhasil ditangkap oleh manusia besar sejarah. Indonesia sendiri sudah punya visi besar, yakni Pancasila.

Dulu, Bung Karno punya visi untuk "mengekspor" Pancasila ke dunia, menawarkannya sebagai ideologi alternatif dunia ke 3 untuk membebaskan negara berkembang dari penjajahan, sekaligus mengimbangi kekuatan Blok Barat dan Blok Timur. Gerakan Bung Karno berhasil, membawa Indonesia menjadi poros kekuatan dunia ketiga, serta mempelopori gerakan Non-Block. Kala itu Indonesia tak hanya mampu mempertahankan kedaulatan lautnya, melainkan juga menjadi bangsa yang disegani dunia karena Pancasila.

Presiden pertama kita sudah mencontohkan bagaimana cara menjadi bangsa maritim, dengan berpikir besar, melampaui Indonesia. Maka, kita tinggal meneruskan apa yang sudah dimulai dengan menyebarkan gagasan Pancasila ke dunia.

Langkah menduniakan Pancasila bisa dimulai dengan memperkuat kembali peran ASEAN yang sejak dulu didirikan untuk meredam pengaruh perang dingin di negara kawasan. Terlebih ketika itu, negara ASEAN memiliki beragam latar belakang ideologi, budaya, agama, dan sistem pemerintahan yang berbeda. Jika tidak Bersatu, maka Asia Tenggara rentan diadu domba, menjadi proxy dari kepentingan negara-negara besar. Tentunya, ini sangat merugikan ASEAN itu sendiri.

Tentu eksistensi ASEAN kembali relevan di tengah memanasnya konflik LCS hari ini. Indonesia dapat mengadaptasikan Pancasila di ASEAN untuk menyelesaikan konflik di LCS. Misalnya dengan mendorong penyelesaian Code of Conduct yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Jadi, kita bisa mencegah terjadinya konflik terbuka seperti yang terjadi antara Rusia-Ukraina, Israel-Palestina, China-Taiwan, maupun Korea Utara dan Korea Selatan.

Oleh sebab itu, jangan sia-siakan kekuatan suara kita. Mari gunakan hak suara kita untuk memperkuat kedaulatan maritim Indonesia. Jangan bosan untuk selalu mengingatkan pimpinan negara kita untuk terus menatap lautan, gagah mengarungi samudera menjaga perdamaian dunia melalui Pancasila.

Indonesia negara maritim. Petaka "Arus Balik" jilid ke-2 tak boleh terjadi lagi. Mari jaga Natuna!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun