Apa yang bisa kita pelajari dari penyesalan Wiranggaleng? Menurut saya, sebagai masyarakat sipil, kita tak boleh gagal bersuara, menyadarkan negara untuk serius mempertahankan kedaulatan maritim, terutama di Laut Natuna Utara.
Kondisi kita mungkin lebih diuntungkan. Wiranggaleng hidup di jaman kerajaan, dimana suara rakyat biasa hampir mustahil didengar raja yang memegang kekuasaan mutlak. Sedangkan kita hari ini hidup di alam demokrasi, dimana suara rakyat adalah dasar pengambilan kebijakan negara. Jadi seharusnya, suara kita lebih powerfull dibandingkan suara Wiranggaleng pada Sultan Demak.
Namun pertanyaannya, maukah kita menggunakan hak suara kita untuk kedaulatan maritim Indonesia?
Jika kita menyadari bahwa lautan jauh di utara sana menentukan hidup dan mati kita yang berada di daratan, maka sudah pasti kita akan tergugah mempertahankan kedaulatan maritim Indonesia. Kita bisa berkontribusi menjaga keutuhan lautan kita dengan menggunakan hak suara kita untuk kedaulatan maritime. Tak harus mengangkat senjata.
Saya teringat pada tahun 2016 saat mengikuti Diklat Bela Negara Angkatan pertama di Cibodas, Rumpin, Bogor. Disana saya diajari bahwa mempertahankan kedaulatan negara bukan hanya tugas anggkatan bersenjata dan pemerintah bidang pertahanan saja, melainkan juga masyarakat sipil. Bahkan sebetulnya, Membela Negara adalah hak tiap warga negara.
Saya juga diajarkan bahwa membela negara tidak harus dilakukan dengan mengangkat senjata. Membela negara bisa dilakukan dalam tiap aktifitas dan profesi kita. Membela negara bisa dimulai dengan menyadari kewajibannya sebagai warga negara untuk mempertahankan kedaulatan negara, bukan sekedar menuntut hak individunya saja untuk merasakan kesejahteraan. Kita harus menumbuhkan rasa cinta pada tanah air yang kita cintai.
Berbekal rasa nasionalisme yang kuat, maka kita akan membaktikan kemampuan terbaik di segala lini kehidupan dan profesi untuk memperkuat negara. Misalnya dengan hal simpel seperti disiplin saat berangkat kerja hingga menjaga diri untuk pantang melakukan korupsi, sebab segala hal yang kita lakukan dapat berpengaruh pada ketahanan negara.
Sebagai seorang masyarakat sipil, power yang kita miliki adalah suara. Sebagian kita mungkin ragu, pada bisa suara kita bisa berkontribusi menjaga keutuhan laut Indonesia? Tentu bisa.
Setidaknya, suara kita bisa berperan dalam dua (2) hal, pertama, mengkawal kebijakan pemerintah terkait kedaulatan maritime di Konflik LCS, kedua, menyadarkan saudara sebangsa kita untuk sadar akan pengaruh konflik LCS terhadap kehidupan kita sehari-hari.
Dalam hal mengawal kebijakan pemerintah, suara sipil terbukti sangat kuat terlebih dengan adanya media social. Kita saksikan bersama, dimana kekuatan netizen berhasil membatalkan kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, hingga berhasil mendesak pemerintah untuk membongkar kasus-kasus janggal, kasus mandek, aduan masyarakat menjadi terselesaikan. Kekuatan netizen mampu mengkoreksi pemerintah.