Pendahuluan
Islam memiliki peran signifikan dalam membentuk budaya dan identitas di Sulawesi Selatan. Namun, bagaimana proses Islam masuk ke wilayah ini? Beberapa sumber yang menunjukkan bahwa proses islamisasi Sulawesi Selatan dimulai pada awal abad ke-17, ketika Islam secara resmi diterima oleh kerajaan-kerajaan lokal. Proses masuknya Islam di wilayah ini melibatkan banyak faktor, mulai dari perdagangan, pengaruh politik, hingga ekspansi kekuasaan kerajaan. Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri bagaimana dan kapan Islam masuk ke Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan.
Latar Belakang Sejarah Penyebaran Islam di NusantaraÂ
Islam mulai masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan sejak abad ke-7, terutama melalui pelabuhan-pelabuhan di pesisir. Seperti di banyak wilayah lain, Sulawesi juga terpengaruh oleh pergerakan para pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, dan Melayu. Peran pedagang Muslim sebagai mubaligh sangat penting dalam penyebaran Islam di wilayah-wilayah pesisir Nusantara. Namun, meskipun kontak ini telah lama ada, penerimaan Islam secara resmi di Sulawesi baru terjadi pada abad ke-17.Â
Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan
a. Proses Bertahap: 1480--1605
Meskipun banyak yang percaya bahwa Islam masuk secara resmi ke Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, bukti menunjukkan bahwa wilayah ini sudah mengenal Islam sejak akhir abad ke-15. Pedagang Muslim dari Campa, Patani, dan Minangkabau sudah berdagang dan menetap di Sulawesi Selatan sejak sekitar tahun 1480. Namun, meskipun kontak Islam sudah ada, penerimaan resmi baru terjadi kemudian.
b. Peran Tiga Dato'
 Islam secara resmi diperkenalkan oleh tiga ulama yang dikenal sebagai Dato' Tallua (Tiga Dato'), yakni Dato' Ri Bandang (Abdul Makmur), Dato' Ri Pattimang (Sulaiman), dan Dato' Ri Tiro (Abdul Jawad). Mereka tiba dari Minangkabau dan pertama kali mengislamkan La Patiware' Daeng Parabung, Datu Luwu, yang memeluk Islam pada 15 atau 16 Ramadhan 1013 H (4 atau 5 Februari 1605). Konversi ini menjadi titik balik penting karena Datu Luwu adalah penguasa berpengaruh di Sulawesi Selatan.
c. Konversi Kerajaan Gowa dan Tallo'
 Kerajaan Gowa dan Tallo' segera mengikuti setelah pengislaman Datu Luwu. Karang Matoaya, penguasa Tallo' dan Perdana Menteri Gowa, memeluk Islam pada 22 September 1605 dan mengambil nama Sultan Abdullah. Dengan pengaruhnya, Raja Gowa I Mangu'rangi Dang Manrabbia juga memeluk Islam pada 9 November 1607. Setelah peristiwa ini, Gowa dan Tallo' secara resmi menjadi kerajaan Islam.
d. Perang Islam (Musu' Selleng)
 Sifat Islamisasi di daerah-daerah sekitarnya mulai dipengaruhi oleh dinamika internal dan tekanan luar terhadap masing-masing 'jembatan penyeberangan'. Proses ini dapat terjadi dalam suasana damai maupun konflik. Upaya Samudera-Pasai untuk mengislamkan penduduk pedalaman mungkin didorong tidak hanya oleh semangat keagamaan, tetapi juga oleh faktor ekonomi dan politik. Sementara itu, 'Perang Islam' pertama yang dilancarkan oleh Gowa-Tallo ke kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan memiliki latar belakang yang berbeda.Â
Dengan alasan mempertahankan tradisi yang telah lama dibangun di antara 'para keturunan to manurung' (orang yang turun dari langit), yang mengajarkan bahwa 'barang siapa memperoleh sesuatu yang bermanfaat harus mau berbagi dengan orang lain', Gowa-Tallo menyebarkan Islam (Mattulada, 1976). Setelah kerajaan-kerajaan besar ini memeluk Islam, Sultan Abdullah dari Tallo' melancarkan kampanye militer untuk mengislamkan kerajaan-kerajaan lain yang menolak menerima Islam. Antara tahun 1608 hingga 1611, kerajaan-kerajaan seperti Bone, Wajo, dan Soppeng akhirnya menerima Islam melalui diplomasi dan kekuatan (Pelras, C. 1985).
Peran Ulama dan Tradisi dalam Penyebaran IslamÂ
a. Peran Tiga Dato'
 Islamisasi di Sulawesi Selatan tidak bisa dipisahkan dari peran tiga ulama yang dikenal sebagai Dato' Tallua atau Tiga Dato'. Mereka adalah Dato' Ri Bandang (Abdul Makmur), Dato' Ri Patimang (Sulaiman), dan Dato' Ri Tiro (Abdul Jawad), yang datang dari Minangkabau. Mereka memulai dakwah Islam di Kerajaan Luwu sebelum menyebar ke Gowa dan Tallo. Tiga Dato' memainkan peran penting dalam mengislamkan para raja dan bangsawan Sulawesi Selatan. Pendekatan mereka bersifat adaptif, mengintegrasikan beberapa elemen lokal dengan ajaran Islam, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat (Pelras, C. 1985).
b. Konflik dengan Tradisi Lokal
Meskipun Islam diterima secara resmi, unsur-unsur tradisi pra-Islam, seperti kepercayaan pada regalia dan peran penting para bissu (imam transvestit dalam kepercayaan lokal), tetap bertahan. Para bissu bertanggung jawab atas ritual keagamaan lokal dan dianggap sakral. Kehadiran mereka sempat menimbulkan konflik dengan ajaran Islam (Pelras, C. 1985).
Peran Kerajaan Gowa dan Tallo' dalam Penyebaran Islam
Sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan, Gowa dan Tallo' memiliki peran penting dalam penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Wajo (1610) dan akhirnya Bone, kerajaan Bugis terbesar dan terkuat, diislamkan dan ditundukkan secara politik. Selain Buton, tradisi lisan yang berkembang di Makassar, Sulawesi Selatan juga menarik untuk dicatat. Seperti yang dijelaskan dalam banyak historiografi tradisional, termasuk lontara' patturioloanga ri Tugowaya, Raja Tallo yang juga menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri, diislamkan melalui pengucapan syahadat oleh seorang Minangkabau, Abdul Makmur Khatib Tunggal, yang kemudian diberi gelar Dato' ri Bandang, setelah ia menetap di Ujung Kampung Pamatang pada pertengahan abad ke-16. Setelah keduanya memeluk Islam, pengaruh mereka membantu mempercepat islamisasi kerajaan-kerajaan lain. Selain itu, ekspansi militer yang dipimpin oleh Sultan Abdullah juga menjadi faktor utama dalam penyebaran Islam secara cepat di seluruh Sulawesi Selatan.
Pengaruh Ekonomi dan Politik dalam Penyebaran Islam
Sama seperti Banten di Jawa dan Aceh di Sumatra, kedua kerajaan ini mengalami perkembangan pesat setelah terlibat dalam perdagangan maritim internasional, terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dengan kekayaan sumber daya alam berupa rempah-rempah, kedua kerajaan ini dengan cepat menguasai jalur perdagangan di kawasan timur Nusantara, yang akhirnya membawa mereka berhadapan dengan kepentingan Portugis dan Belanda di Maluku. Proses konversi Gowa-Tallo ke Islam, sekitar tahun 1602 hingga 1607, berlangsung bersamaan dengan perubahan peran para pedagang Muslim yang awalnya hanya sebagai komunitas keagamaan menjadi kekuatan sosial dan politik yang juga berperan sebagai agen penyebaran Islam di kerajaan tersebut.Â
Puncak proses ini terjadi ketika Gowa-Tallo menerima tiga ulama dari wilayah Melayu---kemungkinan dari Kerajaan Aceh---yang bertugas mengislamkan penguasa kerajaan. Berbeda dengan Aceh yang sejak awal tumbuh bersamaan dengan Islamisasi, di Gowa-Tallo, perpindahan agama raja menjadi titik penting yang memicu peralihan kerajaan menjadi Islam, didorong oleh pengaruh pedagang Muslim yang semakin kuat secara politik. Sekitar dua tahun setelah Sultan Alauddin masuk Islam pada 1607, kerajaan Gowa-Tallo secara resmi mengadopsi Islam sebagai agama dan ideologi negara. Dalam proses tersebut, penguasa Gowa-Tallo juga melakukan ekspansi wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi, didorong oleh kebutuhan ekonomi untuk mendapatkan komoditas yang diminati oleh pedagang internasional. Pada akhirnya, Gowa-Tallo berhasil menjadi kerajaan Islam terkemuka di timur Nusantara dengan menguasai sumber ekonomi dari berbagai wilayah di Sulawesi.
Simpulan
Islam secara resmi diterima di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17 melalui peran penting para ulama, pedagang, dan penguasa lokal. Meskipun proses ini tampak cepat, islamisasi berlangsung dalam dua fase: pertama, penerimaan resmi Islam oleh para penguasa, dan kedua, perjuangan panjang untuk mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari, yang seringkali diwarnai oleh perlawanan terhadap tradisi lokal yang telah lama ada. Â
Islamisasi di Sulawesi dan Maluku semakin intensif setelah berdirinya dua kerajaan Islam besar di timur Nusantara, yakni Gowa-Tallo dan Ternate. Pertumbuhan kedua kerajaan ini terkait erat dengan eksodus besar-besaran para pedagang Muslim dari Melayu setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Para pedagang ini mencari wilayah baru di bagian timur Nusantara untuk melanjutkan kegiatan perdagangan mereka, yang pada akhirnya mendorong munculnya pusat-pusat ekonomi dan politik baru. Di Jawa, perkembangan Banten dan Cirebon juga menunjukkan pola serupa sebagai akibat langsung dari perubahan rute perdagangan di Nusantara setelah jatuhnya Malaka.Â
Oleh karena itu, perkembangan Gowa-Tallo dan Ternate berjalan seiring dengan peningkatan peran mereka dalam perdagangan maritim, yang turut memperkuat proses Islamisasi di wilayah tersebut.
Referensi
Abdullah, T., & Djaenuderadjat, E. (2015). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Jilid 1: Akar historis Dan Awal Pembentukan. Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Andaya, L. Y. (2013). The heritage of Arung Palakka: A history of South Sulawesi (Celebes) in the seventeenth century. Springer Netherlands.
Mattulada. (1976). Islam di Sulawesi Selatan. Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pelras, C. (1985). Religion, tradition and the dynamics of islamization in south-sulawesi. Archipel, 29(1), 107--135. https://doi.org/10.3406/arch.1985.2226Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H