Langit kelabu menggantung rendah di atas kota, mencerminkan rasa gelisah yang bersemayam di hati Izzan. Ia duduk di ruang tamunya yang sederhana, sebuah tempat kecil di apartemen tua di pinggir kota. Di meja di depannya, secangkir teh yang mulai dingin terabaikan, sementara layar televisi di sudut ruangan menampilkan siaran langsung forum debat calon gubernur.
Di layar, seorang pria muda dengan jas abu-abu yang rapi sedang berbicara, suaranya lantang, penuh keyakinan. "Jakarta adalah kota kaya," katanya, menatap kamera dengan intensitas yang terasa menusuk. "Anggaran besar, pendapatan dari pajak melimpah. Jika dikelola dengan jujur dan penuh integritas, saya yakin kita bisa menciptakan kesejahteraan yang merata untuk semua."
Izzan mendengarkan sambil memijat pelipisnya. Kalimat itu terdengar seperti simfoni indah, tetapi ia tahu terlalu banyak nada palsu dalam orkestra ini. Ia tidak bisa menghitung lagi berapa kali ia mendengar janji serupa dari para pemimpin sebelumnya. Dan kenyataan yang ia hadapi sehari-hari di tempat kerjanya membuktikan betapa jauhnya kata-kata itu dari kebenaran.
Beberapa hari sebelumnya, di kantor tempatnya bekerja, Izzan baru saja menghadiri rapat evaluasi kinerja. Seperti biasa, ia duduk di salah satu sudut ruangan, mencatat dengan tenang sementara atasannya membacakan laporan dengan nada yang monoton.
"Baik, kita lanjut ke pengumuman promosi jabatan," kata atasannya, sambil melirik kertas di tangannya.
Izzan duduk lebih tegak. Ia tahu dirinya memenuhi semua kriteria: uji kompetensi dengan hasil MS (Memenuhi Syarat), pengalaman lapangan yang kaya, dan portofolio kerja yang lebih dari cukup untuk jabatan itu. Tapi ketika nama yang diumumkan keluar dari mulut atasannya, ia merasa seperti ditampar keras.
Bukan namanya yang disebutkan. Sebaliknya, jabatan itu diberikan kepada seseorang yang baru saja masuk beberapa bulan lalu---seorang pegawai dengan koneksi kuat ke pejabat tinggi.
"Kenapa saya masih kaget?" pikir Izzan sambil tersenyum getir.
Setelah rapat selesai, ia memberanikan diri bertanya kepada atasannya. "Pak, maaf, apa ada alasan saya tidak dipertimbangkan?"
Atasannya memandangnya dengan raut yang sulit ditebak, lalu menarik napas panjang. "Izzan, kamu tahu ini bukan soal kamu. Kamu itu pegawai yang sangat kompeten. Tapi ada hal-hal yang, yah, di luar kuasa saya."
"Hal-hal di luar kuasa," gumam Izzan dalam hati saat ia berjalan kembali ke ruang kerjanya. Ia tahu maksudnya. Di tempat ini, kompetensi sering kali hanya jadi tempelan. Koneksi dan kepentingan politik lebih menentukan segalanya.
Di layar televisi, seorang calon gubernur lain mengambil giliran berbicara. Pria itu lebih tua, dengan wajah berwibawa dan suara yang berat. "Kita harus menegakkan meritokrasi," katanya dengan penuh penekanan. "Setiap jabatan harus diisi oleh orang yang paling kompeten, bukan karena koneksi atau hubungan politik."
Izzan tersenyum kecil, bukan karena ia setuju, tetapi karena ironi yang terlalu kentara. Ia teringat koleganya, seorang pegawai cerdas dengan pengalaman bertahun-tahun, yang dilewatkan untuk promosi hanya karena ia bukan lulusan lembaga pendidikan tertentu. Di institusi itu, jaringan alumni menguasai segalanya, membangun benteng tak kasat mata yang sulit ditembus oleh orang-orang luar.
Dan ada lagi di unit kerja lain, ada profesi yang merasa paling mulia, menganggap bahwa hanya mereka yang layak menduduki posisi strategis. Di dalam ruang lingkup itu, jabatan sering kali diperebutkan bukan dengan prestasi, tetapi dengan gengsi oarang yang gelarnya tidak pernah lepas menempel pada namanya, sekalipun dalam daftar pemesanan tahu goreng.
"Meritokrasi," Izzan bergumam, "di kota ini hanyalah kata kosong."
Di akhir debat, seorang calon gubernur tanpa usungan partai politik berbicara dengan penuh semangat, membahas pentingnya inovasi di dalam birokrasi. "Aparatur kita harus didorong untuk berinovasi," katanya. "Tanpa inovasi, kita tidak bisa bergerak maju."
Ucapan itu membuat Izzan teringat percakapannya dengan seorang senior di kantor beberapa tahun lalu.
"Kenapa nggak coba bikin program baru?" tanya Izzan.
Senior itu tertawa kecil, nada getir menyelinap dalam suaranya. "Buat apa, Zan? Inovasi itu hanya buat mereka yang dilirik atasan. Kalau kita kerja keras, ujung-ujungnya yang dapat nama orang lain. Yang penting kita kerja aman, nggak ada masalah."
Saat itu, Izzan tidak percaya. Tapi kini, setelah bertahun-tahun bekerja di sistem ini, ia mulai memahami maksudnya. Tidak ada gunanya mencoba lebih keras jika penghargaan selalu jatuh ke tangan orang lain.
Ketika siaran televisi selesai, Izzan mematikan layar dan menatap keluar jendela. Hujan mulai turun perlahan, menutupi gemerlap lampu kota dengan kabut tipis. Ia memikirkan para calon gubernur yang berbicara dengan penuh keyakinan, menyampaikan janji-janji besar. Tapi di kiri kanannya dilingkari orang-orang yang tidak bisa dipercaya, barisan yang siap membangkitkan rezim lama, aparat yang siap membuat kerajaan iblis jika calonnya menjadi pemenang.
"Apakah mereka benar-benar mengerti?" pikirnya. "Atau ini hanya permainan kata-kata untuk meraih kekuasaan?"
Namun, di dalam dirinya, ada harapan kecil yang tetap bertahan. Ia teringat pesan yang pernah ia terima dari seorang warga di wilayah kumuh yang pernah ia kunjungi.
"Terima kasih, Pak, karena program air bersihnya. Hidup kami jauh lebih baik sekarang."
Pesan itu selalu mengingatkannya bahwa di balik semua kekecewaan, ada orang-orang yang benar-benar merasakan dampak dari apa yang ia lakukan. Dan itu cukup.
Bagi Izzan, ia mungkin tidak pernah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan. Namanya mungkin tidak pernah tercantum dalam daftar penghargaan. Tapi selama ia bisa bekerja dengan hati, ia tahu bahwa pekerjaannya tidak sia-sia.
Di luar jendela, hujan mulai reda. Kota ini masih berdiri megah, penuh bayang-bayang. Tapi Izzan tahu, selama masih ada orang yang berani melawan gelap, selalu ada harapan untuk sebuah cahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H