Di layar televisi, seorang calon gubernur lain mengambil giliran berbicara. Pria itu lebih tua, dengan wajah berwibawa dan suara yang berat. "Kita harus menegakkan meritokrasi," katanya dengan penuh penekanan. "Setiap jabatan harus diisi oleh orang yang paling kompeten, bukan karena koneksi atau hubungan politik."
Izzan tersenyum kecil, bukan karena ia setuju, tetapi karena ironi yang terlalu kentara. Ia teringat koleganya, seorang pegawai cerdas dengan pengalaman bertahun-tahun, yang dilewatkan untuk promosi hanya karena ia bukan lulusan lembaga pendidikan tertentu. Di institusi itu, jaringan alumni menguasai segalanya, membangun benteng tak kasat mata yang sulit ditembus oleh orang-orang luar.
Dan ada lagi di unit kerja lain, ada profesi yang merasa paling mulia, menganggap bahwa hanya mereka yang layak menduduki posisi strategis. Di dalam ruang lingkup itu, jabatan sering kali diperebutkan bukan dengan prestasi, tetapi dengan gengsi oarang yang gelarnya tidak pernah lepas menempel pada namanya, sekalipun dalam daftar pemesanan tahu goreng.
"Meritokrasi," Izzan bergumam, "di kota ini hanyalah kata kosong."
Di akhir debat, seorang calon gubernur tanpa usungan partai politik berbicara dengan penuh semangat, membahas pentingnya inovasi di dalam birokrasi. "Aparatur kita harus didorong untuk berinovasi," katanya. "Tanpa inovasi, kita tidak bisa bergerak maju."
Ucapan itu membuat Izzan teringat percakapannya dengan seorang senior di kantor beberapa tahun lalu.
"Kenapa nggak coba bikin program baru?" tanya Izzan.
Senior itu tertawa kecil, nada getir menyelinap dalam suaranya. "Buat apa, Zan? Inovasi itu hanya buat mereka yang dilirik atasan. Kalau kita kerja keras, ujung-ujungnya yang dapat nama orang lain. Yang penting kita kerja aman, nggak ada masalah."
Saat itu, Izzan tidak percaya. Tapi kini, setelah bertahun-tahun bekerja di sistem ini, ia mulai memahami maksudnya. Tidak ada gunanya mencoba lebih keras jika penghargaan selalu jatuh ke tangan orang lain.
Ketika siaran televisi selesai, Izzan mematikan layar dan menatap keluar jendela. Hujan mulai turun perlahan, menutupi gemerlap lampu kota dengan kabut tipis. Ia memikirkan para calon gubernur yang berbicara dengan penuh keyakinan, menyampaikan janji-janji besar. Tapi di kiri kanannya dilingkari orang-orang yang tidak bisa dipercaya, barisan yang siap membangkitkan rezim lama, aparat yang siap membuat kerajaan iblis jika calonnya menjadi pemenang.
"Apakah mereka benar-benar mengerti?" pikirnya. "Atau ini hanya permainan kata-kata untuk meraih kekuasaan?"