Menurutnya, istilah-istilah tersebut memiliki cakupan global, yang berlaku secara universal, tidak hanya terkait dengan golongan homoseksual, akan tetapi dapat berlaku bagi heteroseksual, biseksual, dan aseksual. Ini menunjukkan bahwa setiap orang, tanpa melihat orientasi seksualnya, memiliki potensi untuk melakukan tindakan pelanggaran seksual. Ini mengindikasikan bahwa siapa pun, tanpa memandang orientasi seksualnya, berpotensi melakukan tindakan kejahatan seksual. Dia menegaskan bahwa cerita kaum Sodom dalam Alquran menyoroti Perbuatan kekerasan dalam ranah seksual yang dilakukan oleh mereka, yang diingatkan dan diberi sanki oleh Allah Swt. Namun, cerita ini tidak secara khusus melarang homoseksualitas. Oleh karena itu, cerita ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak kaum homoseksual.
Allah Swt memiliki hak mutlak dalam Memberikan Hukuman (Azab)
Musdah menekankan bahwa hukuman (azab) yang diberikan kepada kaum Sodom bukanlah hanya diakibatkan oleh aktivitas homoseksual, akan tetapi lebih terkait dengan perilaku mereka yang sudah melampaui batas. Mereka terlibat dalam tindakan kekerasan seperti pembunuhan, perampokan, dan lainnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan kemarahan Allah dan turunnya azab. azab yang diberikan kepada kaum Sodom ditujukan pada bermacam-macam tindakan dosa yang melampaui batas, baik dikerjakan oleh pelaku homoseksual ataupun heteroseksual, tidak hanya terfokus kepada aspek seksualitas seperti homoseksual atau biseksual. Hal ini juga terjadi pada umat dari nabi-nabi lainnya, seperti azab yang sangat dahsyat kepada umat Nabi Nuh yang hampir membinasakan semua makhluk, kecuali beberapa pengikut Nabi Nuh yang tetap teguh memegang keimanan, meskipun tidak ada informasi yang menyatakan bahwa umat Nabi Nuh terlibat dalam homosexualitas. Musdah menyimpulkan bahwa Tuhan akan memberikan azab kepada setiap umat yang melampaui batas-Nya.
Selanjutnya, Musdah menyoroti bahwa istri Nabi Luth juga terkena azab, namun Alquran tidak secara eksplisit menyebutkan jika ia terlibat dalam sodomi atau homoseksualitas. Musdah mengacu pada QS. al-'Ankabt (29): 21 yang menegaskan jika Allah mengetahui siapa saja yang layak menerima rahmat-Nya dan siapa yang layak menerima azab-Nya.[12]
- Pernikahan Bisa Terjadi antara Individu dengan Orientasi Seksual yang Sama (homoseksual) dan Kesetaraan Hak Asasi bagi kelompok Homoseksual
Menurut Musdah, Pernikahan adalah ikatan yang kuat antara dua orang yang bertujuan menciptakan keluarga yang harmonis, penuh dengan kedamaian, kasih sayang, dan rahmat. Menurutnya, pernikahan tidak hanya terbatas pada ucapan ijab qabul, tetapi lebih pada kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.[13] Â Al-Quran membahas kehidupan berpasangan (tercantum dalam QS. ar-Rm: 21, QS. adh-Dhariyt: 49, dan QS. Ysn: 36), namun dalam pandangan Musdah, istilah "berpasang-pasangan" yang digunakan dalam Al-Quran tidak secara spesifik mengacu pada jenis kelamin biologis, melainkan pada gender atau jenis kelamin sosial. Menurutnya, hubungan romantisme tidak perlu terbatas pada pola heteroseksual, melainkan dapat juga termasuk hubungan homoseksual atau lesbian. Menurut Musdah, Allah menciptakan manusia dengan beragam orientasi seksual, yang sayangnya tidak banyak dipahami oleh manusia. [14]
Musdah juga berpendapat bahwa ajaran agama yang menekankan heteronormativitas menghilangkan pilihan bagi individu. Menurutnya, adanya koordinasi pernikahan hanya untuk pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda menyisakan kurangnya koordinasi untuk pernikahan pasangan dengan jenis kelamin yang sama. Musdah menekankan jika Pernikahan sejenis yang penuh dengan keselarasan, kasih sayang, dan harmoni jauh lebih baik daripada pernikahan heteroseksual yang diwarnai oleh eksploitasi, kekerasan, dan masalah lainnya.
Epistemologi Penafsiran Musdah Mulia prihal homoseksualitas dalam Kisah kaum Nabi Luth
1. Sumber Penafsiran
Musdah Mulia dalam penafsirannya lebih dominan menggunakan sumber tafsir bi al-ra'yi, yang berfokus pada penalaran dan ijtihad yang dilakukan oleh para ahli tafsir, setelah mempelajari bahasa Arab, dalil hukum, serta berbagai isu terkait penafsiran, seperti asbab an-nuzul dan nasikh wal mansukh.[1] Sumber penafsiran yang digunakannya dapat dijelaskan dalam lima poin sebagai berikut
a. Ayat Alquran dan hadis
Ayat Alquran menjadi sumber referensi utama yang digunakan musdah dalam penafsirannya, contoh-contohnya dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya yang tersebut di atas. Adapun hadis menjadi penyokong utama dalam penafsirannya setelah al-Quran, berperan untyk memperkuat hasil interpretasinya terhadap ayat-ayat yang dilakukannya. Akan Tetapi dalam penjelasannya, Musdah hanya merujuk pada penutur hadisnya tanpa memasukkan teks utuh dari hadis tersebut.