Kajian saat ini tentang homoseksualitas atau LGBT kembali menjadi sorotan karena munculnya diskusi yang menentang posisi mereka dalam konteks Alquran. Walaupun beberapa Ulama telah menarik kesimpulan bahwa gaya hidup homoseksual bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam, mereka merujuk pada beberapa ayat Alquran yang menggambarkan kisah Nabi Luth dan tindakan masyarakatnya yang dikecam akibat perilaku seksual yang dianggap melanggar ajaran yang dianut oleh Nabi Luth.
Pertanyaan tentang bagaimana Islam memandang LGBT saat ini menyebabkan adanya dua pandangan yang berlawanan. Sebagian berkeyakinan bahwa kedudukan sudah dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan bukan lagi menjadi bahan perdebatan. LGBT diniliai sebagai prototipe perilaku kaum yang dianggap menyimpang dalam kisah nabi Luth dan mendapat hukuman dari Allah Swt karena perbuatan mereka. Tetapi, terdapat sekelompok orang yang mempertanyakan kembali penafsiran terhadap LGBT. Bagi mereka, Cerita tentang kaum Nabi Luth tidak memiliki relevansi ketika dikaitkan dengan isu homoseksualitas, karena isu ini merupakan permasalahan modern yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kaum Nabi Luth. Seorang tokoh dari golongan ke dua ini ialah Siti Musdah Mulia. Ia merupakan seorang pemikir Islam kontemporer yang peduli terhadap isu-isu kontemporer, termasuk homoseksualitas.
Menurut pandangan Musdah Mulia, homoseksualitas adalah orientasi seksual terhadap sesama jenis, Liw (praktik sodomi) dianggap sebagai suatu bentuk perilaku seksual. Karenanya, menurut pandangannya, tindakan homoseksual sebaiknya tidak dikenai hukuman seberat yang diterima oleh kaum Sodom, baik dalam ranah sosial maupun hukum. Bagi Musdah, homoseksualitas dipandang sebagai pemberian kodrati dari Tuhan yang memungkinkan adanya pernikahan antara individu sejenis.[1]
Pendapat Musdah Mulia tentang homoseksualitas Sangat kontras dengan sebagian besar pandangan yang umumnya diterima, terutama dengan penafsiran para ulama dari beberapa periode dalam sejarah Islam, meliputi periode klasik, pertengahan, dan juga kontemporer. Dalam tulisan ini, akan diulas gagasan-gagasan pemikiran Musdah Mulia tentang homoseksualitas dalam Alquran, termasuk latar belakang dan inti dari pemikirannya.
Biografi Intelektual
Siti Musdah Mulia, seorang wanita intelektual yang juga aktif dalam kegiatan sosial, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada tanggal 3 Maret 1958. Ayahnya, H. Mustamin Abdul Fatah, adalah seorang yang terlibat dalam aktivitas organisasi Islam dan pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan di bawah kepemimpinan Abdul Kahar Muzakkar. Ibunya, Hj. Buaidah Achmad, menempuh pendidikan di pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), pesantren tertua dan terkenal di Pare-pare, Sulawesi. Keluarga Musdah Mulia terlihat sangat berakar dalam keagamaan dari garis keturunannya.[2]
Pendidikan formal Musdah Mulia awal mulanya dari TK dan SD di wilayah kompleks Angkatan Laut, Tanjung Perak, Surabaya. Akan tetapi, ketika berada di bangku SD kelas tiga, ayahnya dipindahkan tugasnya. Hal ini membuat Musdah melanjutkan pendidikannya di SD Negeri Kosambi, Tanjung Priuk, Jakarta Utara, yang diselesaikan pada tahun 1969. Selanjutnya, ia belajar di Pendidikan Guru Agama Negeri di Jakarta Utara, setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Pasantrean As'adiyah hingga selesai pada tahun 1973. Kemudian, Musdah pindah ke Makasar dan masuk ke SMA Perguruan Islam Datumuseng.
Selesai tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Islam As'adiyah, ia memutuskan untuk masuk Fakultas Ushuludin (Teologi) dan Fakultas Syari'ah (Hukum Islam). Selama dua tahun ia belajar di sana, dari 1973 hingga 1975. Pada tahun 1980, Musdah berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjana dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Tidak hanya itu, pada tahun 1982, Musdah juga berhasil memperoleh gelar Strata-1 dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab, UIN Alauddin, Makassar.[3]
Tidak hanya berhenti di gelar sarjana, Musdah meneruskan studinya dengan mengikuti program magister dalam bidang Sejarah Pemikiran Islam di UIN Syarif Hidayatullah, yang diselesaikan pada tahun 1992. Setelah itu, lanjut ke jenjang program doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam dan selesai tahun 1997. Sebelumnya, Musdah melakukan riset untuk disertasinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang pada tahun 2001 diterbitkan oleh Paramadina.
Musdah Mulia memulai karirnya sebagai dosen di beberapa institusi, seperti IAIN Alauddin, Makassar, dan Universitas Muslim Indonesia, Makassar, pada tahun 1982-1989. Selama rentang waktu tersebut, Musdah juga terlibat sebagai pengajar di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-1997), Institut Ilmu Alquran (IIQ), Jakarta (1997-1999), serta menjabat sebagai Direktur di Perguruan al-Wathaniyah Pusat, Jakarta (1995-hingga saat ini). Ia juga menjadi pengajar di program pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1997-hingga sekarang).
Latar Ide