"Kira-kira ada cincin yang bisa bikin orang jatuh cinta, Mas?" canda imam sambil tersenyum lebar.
Om Ridwan tertawa lepas, "Kalau ada yang begitu, Pak, saya pesan dua! Buat saya dan buat Pak Imam juga!"
Percakapan kami pun mengalir dengan lancar. Tak hanya tentang batu akik, tetapi juga tentang kehidupan di desa, pekerjaan kami, dan banyak hal lainnya. Hari itu, Om Ridwan dan aku tidak hanya mendapatkan informasi yang kami cari, tapi juga bertemu dengan orang-orang baru yang ramah dan berbagi cerita yang mengesankan.
Hari semakin sore, dan kami berpamitan. Ridwan tersenyum puas, bukan hanya karena batu akiknya mendapat perhatian, tapi juga karena pertemuan tak terduga itu memberikan pengalaman berharga yang tak terlupakan.
"Kadang, perjalanan meliput berita memberi lebih dari sekedar berita," kataku sambil tersenyum kepada Ridwan.
"Betul, kita dapat lebih banyak cerita dari yang kita duga," jawab Ridwan sambil mengagumi cincin-cincinnya yang berkilau di bawah sinar matahari sore.
Setelah kami berpamitan, imam mushola kembali menghampiri kami.
"Oh ya, Mas Ridwan dan Mas...?" tanyanya sambil menatapku.
"Om Munir, Pak," jawabku.
"Mas Munir dan Mas Ridwan, saya ini sebenarnya juga punya sedikit cerita tentang asal usul keluarga saya. Kami punya hubungan dengan pondok besar di daerah Paiton, ternyata imam itu adalah seorang Kyai thoriqoh dan pendakwah.
Sontak kami bertiga mendengar cerita sang imam terkejut. "Wah, Pak Kyai, kita sepertinya sudah ditakdirkan Gusti Allah untuk bertemu."