Mohon tunggu...
Lana Ancala
Lana Ancala Mohon Tunggu... Freelancer - Berjalan | Bercerita | Berbagi

Seorang pembual yang gemar menyulap derita menjadi cerita. Tadinya sih mau jadi playboy, tapi ternyata masih kurang ganteng dan tajir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyuman yang Kembali

29 Februari 2020   15:33 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia hanya menyantap separuh roti selai coklat saat jam istirahatnya tadi, ketika Hanna memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti dalam kotak bekalnya ia mengatakan kalua roti itu sudah dinging dan liat ketika Hanna menawarinya untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang, ia memang bodoh.

Wajah itu kian nelangsa seperti anak kucing yang berhari-hari tidak di temukan disebut remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari putting susu induknya. Ia bahkan tidak mampu lagi menjulurkan lidahnya, sepasang mata yang menatap sayu hadir sesekali terpejam, mungkin ia mengantuk.

Aku tersenyum lebar, aku tak peduli pada wajah itu, melainkan pada tubuh yang berada di bawahnya, tubuh itu tak lagi sama, namun satu yang ku sadari akhir-akhir ini wajah atas tubuh itu telah kian pilu,.

Mau kah kau sebentar bersabar? ku mengelus wajah itu, sebaliknya mengelus sesuatu dibalik piyamaku. Sesuatu yang sekarang terasa hampa, tipis. Rata-rata papan namun permukaannya lembut seperti kain.

Aku memejam mata merasakan sensasi aneh saat jemari ku terus mengelus, sensasi yang hanya berisi tiga kata. Kepuasan, kepuasan, dan kepuasan. Setelah dulu entah kapan, malas untuk mengingatnya lagi, permukaan yang kuelus itu kerap memancing air mataku. Berulang kali memakai pakaian untuk kemudian melepaskannya kembali saat apapun jenis pakaian yang kupakai tetap gagal permukaanyang mirip tonjolan bukit kecil, hamper menyerupai tonjolan di perut ibu yang sedang mengandung dan aku langsung menangis jika ada yang mengatakan bahwa itu memang mirip dengan perut yang sedang mengandung.

Ahh! Aku tersentak.

Gerakan mengelus sontak berubah menjadi cengkeraman yang benar-benar rapat dan kuat, saat dari balik permukaan tiba-tiba saja muncul gerakan gemuruh, seperti gunung yang tak tahan untuk segera memuntahkan laharnya.

Tidak. Ini tak akan berlangsung lama, aku lama bergerak mundur tanpa memandang lagi wajah diatas tubuh itu entah masih pilu, atau mungkin sudah terisak.

*****

"Hari ini kamu harus sarapan,Diandra." 

"Tapi….."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun