Khong Kali Kong
Malam itu, kabut tebal menyelimuti pinggiran hutan Gunung Lawu. Di bawah naungan pohon pinus yang tinggi dan berayun oleh angin malam, tiga pria berbeda generasi berdiri dengan wajah penuh ketegangan.Â
Mereka adalah ayah, paman, dan anak. Di depan mereka, sebuah altar sederhana dari batu tua yang berlumut berdiri, menjadi saksi ritual yang akan dilakukan.
Si ayah, seorang pria paruh baya dengan sorot mata tajam, membawa sesajen berupa kemenyan, uang logam, dan beberapa lembar kain kuning.Â
Namun yang paling mencolok adalah sekelompok orang yang berlutut di belakangnya, penggemar fanatik yang mengamini setiap kata yang keluar dari mulutnya, seberapa pun absurdnya.Â
Mereka adalah tumbal yang dipersembahkan, manusia-manusia yang telah menyerahkan akal sehat mereka demi pujian.
Di sisi lain, paman, seorang pria dengan tatapan penuh intrik, membawa pasukan kecil berseragam yang berdiri kaku seperti patung.Â
Namun, sorot mata mereka menunjukkan ketakutan, seperti seseorang yang memikul beban rahasia yang siap meledak kapan saja. Mereka adalah alat bagi sang paman, dijadikan jaminan atas masalah pribadi yang telah ia sandera.
Si anak, seorang pemuda berwajah garang, membawa segerombolan pemuda berbadan kekar. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang selalu memilih kekerasan sebagai jawaban.Â
Dengan langkah berat, mereka mengikuti si anak yang telah mendoktrin mereka untuk taat tanpa banyak bertanya.
Ketiganya menyalakan kemenyan. Asap tipis mulai menguap, membentuk bayangan-bayangan yang meliuk-liuk seperti ular.Â
Mereka melafalkan mantra-mantra yang telah diajarkan oleh seorang dukun tua, berharap dapat memohon kekayaan dan kekuasaan lebih dari yang mereka miliki.
Namun, di tengah ritual itu, suara berat dan berwibawa menggema dari kejauhan. "Kali ini kamu boleh saja mengakali apa yang sudah Aku berikan. Jika sikap rakusmu tidak segera berubah, Aku akan mengambil semua yang ada padamu, seluruh yang ada dalam rumahmu, karena kamu sudah terlalu banyak menghisap darah orang-orang bodoh yang mengikuti."
Ketiganya membeku. Si ayah, yang paling tua, segera bersujud sambil meratap, "Maaf Guru, kali ini saja. Biarkan anak saya bisa meraih kursi yang kutinggalkan, yang kupersiapkan untuk cucu kesayanganku. Beri kami waktu sekali lagi."
Namun suara itu tidak menjawab. Sebaliknya, hutan menjadi sunyi senyap. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada angin yang berhembus. Ketiganya saling pandang, keringat dingin mengucur dari dahi mereka.Â
Mereka merasa telah memperoleh persetujuan, atau setidaknya tidak ditolak secara langsung.
Mereka meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega, meyakini bahwa permohonan mereka akan dikabulkan. Kembali ke kota, semuanya tampak berjalan sesuai rencana.
Sang anak mendapat jabatan tinggi yang selama ini diincar. Sang paman semakin berkuasa, menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan orang-orang yang berada di bawahnya. Si ayah menikmati pujian dan kemewahan, hidup dalam ilusi kejayaan yang tiada tara.
Namun, semuanya berubah dalam waktu singkat.
***
Di malam-malam berikutnya, suara dari Gunung Lawu kembali menghantui mereka. Kali ini tidak hanya terdengar di pinggiran hutan, tetapi mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi.Â
Saat si ayah duduk di ruang makan megahnya, suara itu menggema dari dinding-dinding. "Kamu telah mengambil terlalu banyak. Apa yang kamu miliki hanyalah pinjaman."
Si paman, yang sering tidur dengan pistol di bawah bantalnya, mulai mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi itu, rahasia gelapnya terbongkar satu per satu, membuat pasukan yang dulu ia kuasai berbalik melawan.
Si anak mulai melihat bayangan-bayangan aneh di sudut matanya, seperti sosok-sosok dari masa lalunya yang datang untuk menagih janji yang tak pernah ia tepati. Pemuda-pemuda yang setia kepadanya mulai kehilangan rasa hormat, perlahan menyadari bahwa mereka hanya alat yang diperalat.
***
Pada puncaknya, si ayah mengalami stroke mendadak saat sedang berpidato di depan para penggemarnya. Kata-katanya terhenti di tengah jalan, dan tubuhnya jatuh lunglai di atas panggung.Â
Para penggemarnya yang biasanya memuji dan mengelu-elukannya mulai menjauh. Mereka menyadari bahwa selama ini mereka hanyalah pion dalam permainan licik yang lebih besar.
Kemewahan yang dimiliki si ayah mulai menghilang satu per satu. Properti disita, rekening dibekukan, dan teman-teman dekatnya menghilang seperti asap.Â
Ia dibiarkan hidup dalam bayang-bayang kehancuran, ditemani hanya oleh suara dari Gunung Lawu yang terus berbisik di telinganya, "Kamu telah menuai apa yang kamu tanam."
Si paman, yang merasa dirinya tak terkalahkan, akhirnya ditangkap oleh pasukannya sendiri.Â
Rahasia yang ia gunakan sebagai ancaman berbalik menjadi bukti melawan dirinya. Ia dipenjara, sendirian, tanpa ada yang mau mengingat jasanya.
Sementara itu, si anak kehilangan semua pengikutnya. Ia hidup dalam paranoia, selalu merasa ada yang mengawasinya.Â
Pada akhirnya, ia ditemukan tewas di rumahnya sendiri, dikelilingi oleh coretan-coretan di dinding yang penuh dengan kata-kata tidak jelas, mencerminkan pikirannya yang telah hancur.
Ketiganya mendapatkan apa yang mereka inginkan -kekayaan dan kekuasaan- tetapi hanya untuk sementara.Â
Semua itu menghilang, meninggalkan mereka dalam penderitaan yang tak berujung.Â
Gunung Lawu tetap berdiri kokoh, menjadi saksi atas keserakahan manusia yang tak pernah mengenal batas.
"Khong kali kong," suara itu berbisik terakhir kalinya di telinga si ayah yang terkapar di tempat tidur tanpa bisa bergerak.Â
Ia hanya bisa menangis tanpa suara, menyadari bahwa ia telah kehilangan segalanya, bahkan jiwanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H