Saat si ayah duduk di ruang makan megahnya, suara itu menggema dari dinding-dinding. "Kamu telah mengambil terlalu banyak. Apa yang kamu miliki hanyalah pinjaman."
Si paman, yang sering tidur dengan pistol di bawah bantalnya, mulai mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi itu, rahasia gelapnya terbongkar satu per satu, membuat pasukan yang dulu ia kuasai berbalik melawan.
Si anak mulai melihat bayangan-bayangan aneh di sudut matanya, seperti sosok-sosok dari masa lalunya yang datang untuk menagih janji yang tak pernah ia tepati. Pemuda-pemuda yang setia kepadanya mulai kehilangan rasa hormat, perlahan menyadari bahwa mereka hanya alat yang diperalat.
***
Pada puncaknya, si ayah mengalami stroke mendadak saat sedang berpidato di depan para penggemarnya. Kata-katanya terhenti di tengah jalan, dan tubuhnya jatuh lunglai di atas panggung.Â
Para penggemarnya yang biasanya memuji dan mengelu-elukannya mulai menjauh. Mereka menyadari bahwa selama ini mereka hanyalah pion dalam permainan licik yang lebih besar.
Kemewahan yang dimiliki si ayah mulai menghilang satu per satu. Properti disita, rekening dibekukan, dan teman-teman dekatnya menghilang seperti asap.Â
Ia dibiarkan hidup dalam bayang-bayang kehancuran, ditemani hanya oleh suara dari Gunung Lawu yang terus berbisik di telinganya, "Kamu telah menuai apa yang kamu tanam."
Si paman, yang merasa dirinya tak terkalahkan, akhirnya ditangkap oleh pasukannya sendiri.Â
Rahasia yang ia gunakan sebagai ancaman berbalik menjadi bukti melawan dirinya. Ia dipenjara, sendirian, tanpa ada yang mau mengingat jasanya.
Sementara itu, si anak kehilangan semua pengikutnya. Ia hidup dalam paranoia, selalu merasa ada yang mengawasinya.Â