Ketiganya menyalakan kemenyan. Asap tipis mulai menguap, membentuk bayangan-bayangan yang meliuk-liuk seperti ular.Â
Mereka melafalkan mantra-mantra yang telah diajarkan oleh seorang dukun tua, berharap dapat memohon kekayaan dan kekuasaan lebih dari yang mereka miliki.
Namun, di tengah ritual itu, suara berat dan berwibawa menggema dari kejauhan. "Kali ini kamu boleh saja mengakali apa yang sudah Aku berikan. Jika sikap rakusmu tidak segera berubah, Aku akan mengambil semua yang ada padamu, seluruh yang ada dalam rumahmu, karena kamu sudah terlalu banyak menghisap darah orang-orang bodoh yang mengikuti."
Ketiganya membeku. Si ayah, yang paling tua, segera bersujud sambil meratap, "Maaf Guru, kali ini saja. Biarkan anak saya bisa meraih kursi yang kutinggalkan, yang kupersiapkan untuk cucu kesayanganku. Beri kami waktu sekali lagi."
Namun suara itu tidak menjawab. Sebaliknya, hutan menjadi sunyi senyap. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada angin yang berhembus. Ketiganya saling pandang, keringat dingin mengucur dari dahi mereka.Â
Mereka merasa telah memperoleh persetujuan, atau setidaknya tidak ditolak secara langsung.
Mereka meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega, meyakini bahwa permohonan mereka akan dikabulkan. Kembali ke kota, semuanya tampak berjalan sesuai rencana.
Sang anak mendapat jabatan tinggi yang selama ini diincar. Sang paman semakin berkuasa, menggunakan pengaruhnya untuk mengendalikan orang-orang yang berada di bawahnya. Si ayah menikmati pujian dan kemewahan, hidup dalam ilusi kejayaan yang tiada tara.
Namun, semuanya berubah dalam waktu singkat.
***
Di malam-malam berikutnya, suara dari Gunung Lawu kembali menghantui mereka. Kali ini tidak hanya terdengar di pinggiran hutan, tetapi mengikuti mereka ke mana pun mereka pergi.Â