Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memutus Mata Rantai Kekerasan Sejak Awal

3 Oktober 2024   21:15 Diperbarui: 3 Oktober 2024   21:40 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MEMUTUS MATA RANTAI KEKERASAN SEJAK AWAL

Kekerasan di sekolah memang membuat banyak orang bertanya-tanya: "Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi?" Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung bagi semua siswa untuk bisa belajar dengan nyaman. Kenyataan bahwa kekerasan masih terjadi di lingkungan pendidikan tentu sangat memprihatinkan. Tentu saja akar dari kekerasan ini tidak hanya soal disiplin, tetapi juga kurangnya perhatian terhadap kesehatan mental, budaya kekerasan yang mungkin tak disadari, serta lemahnya penanaman nilai-nilai empati dan saling menghormati di antara siswa yang dimulai sejak dari dalam rumah atau keluarga.

Sekolah hanya menjadi sebuah TERMINAL tempat berlangsungnya aksi kekerasan. Sekolah tidak serta merta menjadi "tersangka dan tertuduh", karena hanya 6-8 jam saja siswa berada di sekolah. Selebihnya di rumah. 

Hanya saja, sekolah bisa "dimanfaatkan" oleh para siswa karena melihat ada celah atau peluang. Yang utama karena banyaknya siswa maka kontrol menjadi lemah dan tidak menyeluruh. Padahal kekerasan di sekolah biasanya terjadi secara berkelompok, tidak pernah berdiri sendiri, atau perbuatan satu siswa ke satu siswa.

(prokalteng.jawapos.com)
(prokalteng.jawapos.com)

Dapatkah Kekerasan di Sekolah Dihentikan?

Menghentikan kekerasan di sekolah bukan hal yang mustahil, tapi membutuhkan upaya kolaboratif dari berbagai pihak. Perlu ada perubahan paradigma dalam memandang pendidikan, di mana kesejahteraan emosional siswa juga menjadi prioritas utama. Program pencegahan seperti pelatihan kesadaran anti-kekerasan, pendidikan karakter, dan pendampingan psikologis harus diperkuat. Dan kembali lagi, peran utama ada pada masing-masing orang tua dan keluarga untuk menanamkan kesadaran untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan kepada dan dari orang lain di sekolah.

Upaya kolaboratif harus diupayakan sejak awal mulai berupa kesepakatan, kesepahaman dan perjanjian antara siswa dan orang tua di satu sisi dan sekolah di sisi lain. Bahwa setiap anak yang terlibat aksi kekerasan dalam bentuk apapun akan dikeluarkan dari sekolah tanpa surat peringatan. Karena suratnya sudah dibuat sejak awal masuk masuk sekolah.

Kalau sekolah main keluarkan berarti sekolah tidak mampu dong menjadi sarana pendidikan dan perubahan bagi siswa? Oh tidak, semua pihak harus sejak awal berkomitmen bahwa tidak ada kekerasan apapun. Termasuk korban kekerasan pun, jika dia tidak berani bersuara dan melaporkan tindak kekerasan dari pihak lain harus ikut dikeluarkan. Tentu lagi-lagi harus dibuat akta komitmen sejak awal mau masuk sekolah.

Dengan demikian sekolah telah mengantisipasi (memutus mata rantai) terjadinya tindak kekerasan dalam bentuk apapun sejak awal masuk sekolah. Dan harus konsisten diterapkan supaya ada kewibawaan atas komitmen dan sanksi yang diterimakan kepada para pelaku tindak kekerasan.

Apa yang Perlu Jadi Perhatian Kita?

Kita perlu menyadari bahwa kekerasan di sekolah bukan sekadar masalah siswa atau guru, tapi masalah kita bersama sebagai masyarakat. Seperti sudah saya tegaskan sebelumnya, budaya kekerasan bisa muncul dari banyak faktor, termasuk pola asuh di rumah, lingkungan sosial, hingga pengaruh media. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun