Hidup adalah sebuah proses. Karena sebuah proses maka menjadi suatu perjuangan. Perjuangan itu membutuhkan suatu daya dan tujuan. Tujuan yang ingin dicapai atas suatu proses perjuangan.
Dan tujuan yang mau dicapai itu, diperlukan suatu daya yang berasal dari diri sendiri. Dengan begitu, proses yang dijalani itu, memiliki powerfull dan tujuan. Tanpa itu, hidup menjadi stagnan, statis. Hidup tetapi kelihatan diam, yang tak berdaya, pasrah. Padahal secara esensi, hidup ialah dinamis, kreatif dan inovatif.
Pancasila, warna khas kemajemukan Bangsa Indonesia
Dalam proses ini, hidup yang demikian hanya boleh dilakoni oleh seorang manusia. Manusialah melakoni hidup yang didalamnya pemaknaan nilai dengan beragam peritiwa. Dalam istilah Sokrates, hidup hanya bisa dihidupkan ialah hidup yang direfleksikan. Hidup tanpa filosofis, bukan hidup, tetapi mati!
Dalam perjalanan sejarah berdirinya bangsa dan negara Indonesia, masyarakat tak pernah tinggal diam. Begitu juga kaum intelektual anak bangsa Indonesia. Masyarakat akar rumput melakoni hidup sosial dalam berbagai peristiwa sosial, kemudian dibantu kaum intelektual dengan pemaknaan yang lahir dari proses refleksi sistematis. Inilah yang membentuk karakter bangsa dan negara Indonesia.
Jadi, karakter bangsa dan negara Indonesia adalah hasil pemikiran yang jernih dan dengan hati bening kaum intelektual pendiri bangsa ini. Kepentingan yang dibangun dalam diri kaum intelektual pendiri bangsa dan negara itu, kepentingan umum, nasional, bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Melalui para pendiri bangsa ini, totalitas elemen warga masyarakat dengan jamak latarbelakang, diangkat derajatnya.
Tidak hanya itu, namun martabat warga masyarakat itu diterima, diberi warna khas, dan dirumuskan dalam satu kesatuan, dengan tidak mengsirnakan plural, itulah karakter bangsa Indonesia, yang begitu bernas, yang kita sebut hingga hari ini, Pancasila. Karakter bangsa itu diperkuat, difinalkan dalam bentuk hukum, itulah Undang undang Dasar 1945 yang kemudian diejahwantakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sampai di sini, bagi saya tidaklah mengherankan jika komitmen Presiden Joko Widodo kembali menegaskan Pancasila harus dijaga dan ditegakkan ketika arus radikalisme marak ditengah-tengah masyarakat kita, dengan membentuk sebuah badan khusus yang kita kenal "Badan Penguatan Ideologi Pancasila" (BPIP). Itu artinya, Pancasila sudah final, tak bisa digantikan lagi dengan ideologi manapun.
Dalam konsep kebangsaan untuk mempertahankan tegaknya bangsa ini, kemajemukan hidup, dan persatuan dan kesatuan republik ini, saya sangat setuju. Bangsa ini dalam perjalanan historinya, bagai kapal ditengah lautan, yang telah menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan ancaman.
Dari keseluruhan tantangan, hambatan dan ancaman itu, yang paling utama ialah tantangan, hambatan dan ancaman dari dalam sendiri. Bagai musuh dalam satu selimut yang sama. Diam-diam tetapi memiliki "muatan" tertentu. Pura-pura diam, tetapi sedang dalam perencanaan strategi yang tidak bersinergi dengan kapten kapal Indonesia.
Dalam menjaga, merawat, dan lebih dari itu, memperjuangkan kehidupan berbangsa dan bernegara, semestinya setiap elemen masyarakat Indonesia menyelaraskan dan menyeimbangkan hidupnya dengan nilai-nilai khas Indonesia. Mengutip apa yang dikatakan Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, dalam bukunya Sumbangan Agama Membangun Kerukunan Di Indonesia, menegaskan "enam kesadaran manusiawi", yang merupakan pengejahwantaan dari Pancasila.
Pertama, kesadaran teologis. Kesadaran ini lahir dari kedalaman refleksi atas sila pertama. Bahwa manusia Indonesia itu memiliki keyakinan akan adanya Tuhan, yang dipercayai sebagai tujuan dari segala-galanya. Manusia Indonesia yang majemuk itu sedang dalam perjalanan menuju Tuhan dengan keyakinan yang berbeda. Tujuan sama, cara yang berbeda.
Kedua, kesadaran budaya, memiliki sikap dinamis, kreatif dan kompetitif. Kesadaran ini memaknai inti dasar kemanusiaan kita sebagai bangsa dan negara Indonesia. Kemanusian itu adab dan adil. Ada dan adil merupakan ungkapan ketinggian martabat dan kesetaraan antar manusia, walaupun ada banyak hal yang berbeda. Inilah keragaman kita yang mesti diterima dan dihormati, sebagai a nation.
Ketiga, kesadaran filosofis. Kesadaran ini dalam relasi dengan kemampuan akal budi manusia Indonesia, yang berjiwa dinamis, nan mampu beralih dari simbol-simbol yang berbeda-beda kepada reflektif yang mendalam atas setiap peristiwa sosial yang ada. Sehingga menemukan nilai-nilai universal. Kesadaran manusia Indonesia yang memiliki pola berpikir demikian ini, sehingga kemampuannya dalam berintegrasi secara sosial, sebagai wujudnyata homo socius (makhluk sosial) dan homo viator (makhluk peziarah).
Keempat, kesadaran komunikasi. Kesadaran ini berkorelasi dengan relasi antar pribadi dan kelompok dalam masyarakat. Tanpa kesadaran ini, egoisme berbahasa, berbudaya, beriman, dan lainnya, menjadi kaku, terkurung dalam karung diri sendiri atau kelompok tertentu. Simbol-simbol yang hidup dalam suatu masyarakat lokal, hanya diketahui oleh masyarakat tersebut. Padahal manusia yang bermartabat itu, memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan jatidirinya baik kepada Tuhan maupun kepada sesamanya.
Kelima, kesadaran kesejahteraan. Kesadaran ini berhubungan erat dengan proses perjuangan hidup manusia Indonesia yang mau dicapai, yaitu kesejahteraan lahir dan bathin, jasmani dan rohani. Inilah cita-cita hidup berbangsa: sejahtera, adil, dan makmur, seperti tercatat dalam Mukadimah UUD 1945.
Keenam, kesadaran politik. Kesadaran ini bukan mengarah pada partai-partai politik. Partai politik hanyalah sarana. Sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sarana untuk mewujudkan cita-cita, harapan-harapan besar bangsa dan negara.
Dalam kesadaran ini, demokrasi berwajah Pancasila termasuk didalamnya. Dan arah politik kita semestinya berkomitmen pada empat pilar membangun karakter politik kita, yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Jika inilah yang menjadi harapan besar bangsa dan negara Indonesia, mungkin baik jika kaum intelektual (teolog, filsuf, sosialog, dan para ilmuwan serta cendekiawan bangsa ini) diajak duduk bersama menelusuri historisitas bangsa ini dan menalaah kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip, kemudian merumuskan implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam landasan berpikir empat pilar tadi.
Pentakosta, turunnya Roh Kudus yang mampu mengarah anak bangsa lebih khusus orang-orang nasrani kepada persatuan, harmoni, dan kerukunan.
Konteks ini, adalah konteks Gereja Katolik Keuskupan Pangkalpinang. Dimana perayaan ini dilakukan di kapel Keuskupan Pangkalpinang, kemudian menjadi live streaming oleh Komisi Komsos Keuskupan.
Maka di bawah ini, sebagai satu rangkaian dengan kehadiran Pancasila sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa untuk bangsa dan negara Indonesia, saya mengangkat khotbah Bapa Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Prof. Dr. Mgr. Adrianus Sunarko, ofm pada Perayaan Pentakosta, 31 Mei 2020.
Pentakosta, salah perayaan besar umat Nasrani. Pentakosta, perayaan turunya Roh Kudus, Roh Kebenaran atas para rasul. Roh Kudus adalah memang susunguhnya merupakan anugerah pertama dari Paskah. Dialah Roh Pencipta yang terus menerus membawa pembaharuan, Roh Kebenaran, Roh Kekuatan, yang membawa daya hidup itu sendiri. Sering kali Pentakosta disebut juga, hari lahirnya Gereja. Apakah itu juga berlaku untuk Gereja Keuskupan Pangkalpinang?
Seperti kita ketahu bersama, kita telah sepakat yang merumuskan Gereja kita sebagai Gereja Partisipatif, yang dijiwai oleh Allah Tritunggal Mahakudus, dengan tiga ciri utamanya, yaitu berpusat pada Kristus, membangun communio, dan melaksanakan misi. Ada yang bertanya kepada Bapa Uskup, kok tidak ada Roh Kudusnya ya Bapa Uskup.
Ternyata bacaan-bacaan hari ini, pada pesta Roh Kudus ini, bacaan pertama dari Kisah Para Rasul 2:1-11, bacaan kedua dari Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus 12:3b-7.12-13, dan Injil Yesus Kristus menurut Yohanes, 20:19-23, memuat ketiga unsur tersebut: berpusat pada Kristus, membangun communio (persekutuan) dan melaksanakan misi. Â
Dalam bacaan kedua disebutkan demikian, tidak seorang pun dapat mengakui, "Yesus adalah Tuhan", selain oleh Roh Kudus. Jadi, tanpa ada Roh Kudus, tidak mungkin kita dapat membangun Gereja yang berpusat pada Kristus. Demikian Roh Kuduslah (unsur kedua) pula yang membangun communio atau persekutuan.
Paulus tadi mengingatkan sebab kita semua, baik orang Yahudi mamupun Yunani baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis dalam satu Roh menjadi satu tubuh, dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Demikian pula sebagai Gereja, kita diutus Tuhan untuk melakukan misi, untuk itu juga Tuhan menganugerahkan Roh Kudus.
Dalam Injil dikatakan "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Terimalah Roh Kudus". Jadi sebagai Gereja, hari ini juga kita merayakan keuskupan kita, dengan tiga ciri utama tadi. Kita diminta untuk berpusat pada Kristus, membangun communio dan melaksanakan misi. Itu semua hanya mungkin, berkat karya Roh Kudus.
Berpusat pada Kristus, telah menjadi pusat kita pada tahun yang lalu, 2019. Tahun depan (2021) kita berusaha untuk melaksanakan tahun misi. Tahun ini (2020) kita sedang berada pada tahun communio yang murah hati dan maharahim.
Pentakosta memberi inspirasi apa pada tahun (2020) tahun communio ini? Dalam bacaan pertama dikatakan, Roh Kudus turun atas para rasul, seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh umat, dimana pun para murid duduk dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang sedang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing.
Maka penuhilah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka berkata-kata dalam bahasa lain seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. Rupanya begitulah Roh Kudus membangun communio atau persekutuan. Ia turun pertama-tama atas masing-masing mereka, tetapi kemudian turun atas mereka bersama-sama.
Kepada kita masing-masing diberi anugerah talenta, tetapi lalu disatukan dalam communio. Dengan kata lain dalam bahasa kita, communio yang dibangun Roh Kudus adalah communio yang Bhinneka Tunggal Ika, ada keragaman tetapi juga tetap bersatu.
Dalam bacaan kedua dikatakan kepada tiap-tiap orang, dikaruniakan Roh untuk kepentingan bersama. Kita bersyukur bahwa dalam Gereja di Keuskupan kita, dalam paroki, dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG), keluarga, dan kelompok-kelompok, ada berbagai anggota dengan beraneka talenta-talenta, dan bakat-bakat yang kaya.
Tetapi bakat-bakat itu, talenta-talenta itu, pengalaman kita harus selalu diarahkan untuk kepentingan bersama. Tanpa itu, tidak ada communio atau persatuan melainkan konflik dan perpecahan. Untuk itu, perlu diperhatikan mujizat berikut ini pada hari Pentakosta yang dikisahkan tadi.
Selain orang-orang Yahudi, murid-murid yang percaya pada peristiwa Pentakosta, hadir pula banyak orang dari segala bangsa di bawah kolong langit. Orang Parsia, Media, Elam, Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia, Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, orang Kreta dan bahkan orang Arab. Dari Sabang sampai Maurokelah.
Mereka heran dan bingung ketika mendengar rasul-rasul itu berbicara. Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri? Dengan kata lain, mereka heran, kok bisa mengerti apa yang dikatakan rasul-rasul itu? Padahal bahasa yang digunakan adalah asing bagi mereka. Itulah mujizat pesta Pentakosta, mujizat communio.
Apa syaratnya kita yang aneka sifat, latarbelakang, suku, budaya dan pengalaman dapat seperti murid-murid atau semua yang hadir waktu itu, dapat saling memahami satu sama lain sehingga dapat membangun communio?
Bagaimana umat Keuskupan Pangkalpinang, dari seribu pulau saling memahami meskipun bahasa yang berbeda-beda membangun communio, dari Belitung, Mentok, Toboali, Unjung Beting, Pancur, Tanjungpinang, Air Sena, dan lain-lain, Natuna, Sedanau, Pulau Moro, Pulau Burung dan Tanjungbatu, Kijang, bagaimana saling memahami?Â
Bagaimana dengan romo-romo di keuskupan kita ini bisa memahami satu sama lain, dari Maumere, Larantuka, Batak, Jawa, Palembang, Manggarai, ada juga anggota yang dari Timor Leste, Kefa, Baturaja, dan masih banyak lagi, mampu saling memahami satu sama lain.
Kisah Para Rasul menurut saya menyebut satu syarat penting ini. Dikatakan demikian, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah, itulah mukjizat. Ada pemahaman satu sama lain, kiranya karena dikisahkan dan diceritakan adalah perbuatan-perbuatan besar Allah, dan bukan perbuatan-perbuatan masing-masing rasul.
Berbeda dengan ketika masih hidup bersama dengan Yesus, ketika para murid sibuk bertengkar dan merebutkan tempat yang utama. Mereka sekarang tidak lagi mencari tempat utama dengan mencerita tentang kehebatan dan kesuksesan mereka sendiri.
Tetapi tentang perbuatan-perbuatan besar Allah. Makanya semua saling mengerti. Yohanes, Yakobus tidak lagi meminta tempat istimewa. Yohanes dan Petrus tidak perlu lagi berlomba lari lebih cepat menuju kubur.
Jadi saudara-saudari sekalian, kalau ingin membangun communio, di tingkat keuskupan, di paroki-paroki, KBG-KBG, kelompok-kelompok, keluarga, pastoran, sering-seringlah bercerita tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.
Jangan terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri, biasanya membosankan. Kalau Romo Poldo bercerita dengan bahasa Batak tapi tentang perbuatan-perbuatan besar Allah, Romo Zakarias tetap mengerti.
Satu pelajaran penting lagi dari Injil hari ini untuk membangun communio adalah Yesus berkata, "Terimalah Roh Kudus! Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni". Karunia Roh Kudus dikaitkan langsung dengan pengampunan, juga sangat penting untuk membangun communio yang maharahim.
Kita semua menyadari betapa pentingnya pengampunan untuk membangun communio. Karena kalau jujur, sebenarnya kita semua, berjalan dalam kehidupan ini, dengan permohonan yang besar yang tertulis didada kita untuk dimaafkan atas kesalahan dan dosa-dosa kita.
Paus Fransiskus berkata demikian, Roh Kudus adalah anugerah yang pertama dari Tuhan yang bangkit. Dan itu adalah Roh Pengampunan Dosa. Itulah awal dari Gereja yang mempersatukan kita. Itulah semen yang merekatkan bangunan rumah kita. Ia mencegah runtuhnya rumah persaudaraan. Ia mengkonsolidasi dan meneguhkan Gereja.
Jadi tambah satu resep lagi untuk membangun communio. Setelah menceritakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan, resep berikut adalah pengampunan. Mumpung tahun communio saudara-saudari sekalian. Berdamailah dan saling mengampuni. Tetapi saudara-saudara, pengampunan pun pertama-tama bukan tugas melalinkan anugerah.
Yesus yang menampakkan diri kepada para murid tidak mempersalahkan mereka dulu yang telah berkhianat kepada-Nya, ketika peristiwa salib. Tetapi, Ia membawa damai sejahtera. Yesus berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata, "Damai sejahtera bagi kamu!". Yesus memaafkan, mengampuni mereka lebih dahulu, baru Ia meminta mereka melakukan yang sama.
Yang diperintahkan pengampunan adalah sesuatu yang sudah lebih dahulu diberikan. Itulah kekristenan. Ia pertama-tama bukan agama peraturan, tetapi anugerah perjumpaan dengan Yang Maharahim. Pengampunan pertama-tama juga sebenarnya adalah perbuatan besar yang dilakukan Tuhan. Maka perintah mengampuni, sebenarnya juga perintah untuk bercerita tentang perbuatan-perbuatan besar Tuhan.
Saudara-saudari sekalian, marilah kita bersyukur bahwa meskipun belum sempurna ada communio diantara kita. Namun, ada kerukunan dan harmoni  semeskipun kita berbeda-beda asal usul dan watak. Itulah tanda nyata kehadiran Roh Kudus yang kuat.
Marilah kita merawat dan menumbuhkan communio yang murahhati dan maharahim. Menumbuhkan kerukunan yang sudah ada diantara kita. Marilah kita sering-sering menceritakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Tuhan.
Dari pemahaman kita tentang Pancasila dan seruan Prof. Dr. Adrianus Sunarko, ofm, secara implisit mengandung terbaca bahwa hidup bersama membutuhkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Pancasila, sementara Pentakosta, turunnya Roh Kudus, menguatkan umat nasrani untuk membangun persekutuan, persaudaraan satu sama lain walau dengan jamak latarbelakang yang berbeda.
Pancasila memberi kita hidup yang berkualitas baik dalam keimanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah-mufakat dan keadilan sosial. Sementara Pentakosta, turunnya Roh Kudus, menguatkan orang nasrani untuk menggunakan talenta dan bakat untuk kepentingan bersama. ***
Referensi:
- Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Sumbangan Agama Membangun Kerukunan di Indonesia, Kementerian Agama RI: Jakarta, 2017.
- https://www.youtube.com/watch?v=zV2Y27lW0cA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI