Pertama, kesadaran teologis. Kesadaran ini lahir dari kedalaman refleksi atas sila pertama. Bahwa manusia Indonesia itu memiliki keyakinan akan adanya Tuhan, yang dipercayai sebagai tujuan dari segala-galanya. Manusia Indonesia yang majemuk itu sedang dalam perjalanan menuju Tuhan dengan keyakinan yang berbeda. Tujuan sama, cara yang berbeda.
Kedua, kesadaran budaya, memiliki sikap dinamis, kreatif dan kompetitif. Kesadaran ini memaknai inti dasar kemanusiaan kita sebagai bangsa dan negara Indonesia. Kemanusian itu adab dan adil. Ada dan adil merupakan ungkapan ketinggian martabat dan kesetaraan antar manusia, walaupun ada banyak hal yang berbeda. Inilah keragaman kita yang mesti diterima dan dihormati, sebagai a nation.
Ketiga, kesadaran filosofis. Kesadaran ini dalam relasi dengan kemampuan akal budi manusia Indonesia, yang berjiwa dinamis, nan mampu beralih dari simbol-simbol yang berbeda-beda kepada reflektif yang mendalam atas setiap peristiwa sosial yang ada. Sehingga menemukan nilai-nilai universal. Kesadaran manusia Indonesia yang memiliki pola berpikir demikian ini, sehingga kemampuannya dalam berintegrasi secara sosial, sebagai wujudnyata homo socius (makhluk sosial) dan homo viator (makhluk peziarah).
Keempat, kesadaran komunikasi. Kesadaran ini berkorelasi dengan relasi antar pribadi dan kelompok dalam masyarakat. Tanpa kesadaran ini, egoisme berbahasa, berbudaya, beriman, dan lainnya, menjadi kaku, terkurung dalam karung diri sendiri atau kelompok tertentu. Simbol-simbol yang hidup dalam suatu masyarakat lokal, hanya diketahui oleh masyarakat tersebut. Padahal manusia yang bermartabat itu, memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan jatidirinya baik kepada Tuhan maupun kepada sesamanya.
Kelima, kesadaran kesejahteraan. Kesadaran ini berhubungan erat dengan proses perjuangan hidup manusia Indonesia yang mau dicapai, yaitu kesejahteraan lahir dan bathin, jasmani dan rohani. Inilah cita-cita hidup berbangsa: sejahtera, adil, dan makmur, seperti tercatat dalam Mukadimah UUD 1945.
Keenam, kesadaran politik. Kesadaran ini bukan mengarah pada partai-partai politik. Partai politik hanyalah sarana. Sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sarana untuk mewujudkan cita-cita, harapan-harapan besar bangsa dan negara.
Dalam kesadaran ini, demokrasi berwajah Pancasila termasuk didalamnya. Dan arah politik kita semestinya berkomitmen pada empat pilar membangun karakter politik kita, yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Jika inilah yang menjadi harapan besar bangsa dan negara Indonesia, mungkin baik jika kaum intelektual (teolog, filsuf, sosialog, dan para ilmuwan serta cendekiawan bangsa ini) diajak duduk bersama menelusuri historisitas bangsa ini dan menalaah kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip, kemudian merumuskan implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam landasan berpikir empat pilar tadi.
Pentakosta, turunnya Roh Kudus yang mampu mengarah anak bangsa lebih khusus orang-orang nasrani kepada persatuan, harmoni, dan kerukunan.
Konteks ini, adalah konteks Gereja Katolik Keuskupan Pangkalpinang. Dimana perayaan ini dilakukan di kapel Keuskupan Pangkalpinang, kemudian menjadi live streaming oleh Komisi Komsos Keuskupan.