Kita sangat beruntung bahwa rumusan, musyawarah sampai mufakat itu dibuka ruang atas voting. Voting, diandaikan menalar benar dan argumentatif sama kuat.
Bukan karena berbicara asal bunyi dan karena itu suara terbanyak. Dalam musyawarah mencapai mufakat daya menalar itu memiliki kekuatan karena berangkat dari "pengetahuan subyektif" yang kredibel dan diteguhkan dengan argumentatif ilmiah kritis. Maka tidak salah, semangat musyawarah mufakat diawal-awal bangsa dan negara ini berdiri sangat merdeka, bebas dan otonom.
Parrhesia yang telah lama dikembangkan di masa Euripides (Yunani), hingga 17 Agustus 1945, entah sadar atau tidak benar-benar dijalankan oleh para pendiri dan pejuang bangsa dan negara ini.
Bebas berbicara tetapi dengan isi yang benar, menggambarkan kredibilitas seseorang. Panggung publik menjadi yang dipakai untuk mendapat informasi yang benar, akurat, dan benas isi, jarang dijumpa.
Sopan santun dalam berbicara terkadang menjadi ragu. Sinar-sinar cahaya kebenaran pudar. Makna parrhesia, hampir redup. Karena didalam bebas berbicara, hiasan kata penuh jamak muatan. Esensi pembicaraan dangkal digali dan bahkan lemah dalam argumentatif.
Demokrasi Indonesia, rupanya memiliki warna dasar parrhesia. Masyarakat kita telah menghidupkannya. Pendiri dan pejuang bangsa dan negara ini pun telah menggalinya dari masyarakat kita. Rumusan demokrasi Pancasila yang didalamnya musyawarah mufakat, secara sadar atau tidak didalamnya juga termaktup makna parrhesia, yaitu bebas berbicara diberi ruang dan waktu, penuh dengan murni menalar, argumentatif yang ilmiah dan dilatari tata kramah, adat istiadat, dan kesantunan sebagai bingkai demokrasi Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H