Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Parrhesia Foucault dan Demokrasi Indonesia

30 April 2020   10:02 Diperbarui: 30 April 2020   09:57 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi, diphoto dari buku karya Dr. Kondrad Kebung B, SVD

Terhadap hal ini, Foucault menegaskan, "menyangkut bagian yang berkenan dengan cara menentukan entah suatu pernyataan itu besar, kita memiliki akar-akar tradisi besar dalam filsafat barat yang lebih suka saya sebut "analisis kebenaran." Dari omong tentang kebenaran, lebih lanjut Foucault menegaskan, bahwa didalam parrhesia kita mau mengetahui tentang kebenaran atau menceritakan tentang kebenaran.

Demokrasi Indonesia tentang hak bersuara: macam apa itu?

Demokrasi Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Didalamnya diatur secara implisit mengenai hak bersuara, berkumpul, dan lain-lain, baik secara pribadi maupun secara komunal

Makanya demokrasi kita memang khas kita sehingga disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Elemen-elemen penting dan dasariah yang membentuk kepribadian bangsa dan negara kita inilah yang menguatkan sikap dasar mengenai hak-hak demokrasi kita. Salah satunya ialah musyawarah-mufakat.

Demokrasi Indonesia dalam hubungannya dengan hak bersuara ialah musyawarah untuk mencapai mufakat. Sejajar dengan apa yang disebut Foucault, mengenai kebenaran dalam parrhesia yaitu menalar dan berargumentasi lalu mengambil keputusan atau kesimpulan. Bahwa dalam musyawarah, dialog terjadi.

Setiap orang diberi ruang dan waktu untuk bebas berbicara. Setiap orang tidak hanya bebas berbicara, bahkan dibuka ruang untuk berdebat, dan dalam perdebatan itu pertarungan argementasi terlaksana dengan alot.

Satu hal yang menarik dalam sikap berdebat dengan argumentasi yang kuat ialah bahwa masih tetap mempertahankan sopan satu, saling menghargai, dan saling menerima satu sama lain. Bukan musuh, bukan penjahat. Tetapi saudara dalam pencarian bebas berbicara untuk mencapai kebenaran.

Selain sikap berdebat tadi, juga dalam musyawarah itu pun diberi kesempatan untuk menalar atas pokok-pokok pembicaraan serentak berargumentasi.

Dalam ranah inilah, kebenaran yang ada dalam dialog, diperdengarkan. Disinilah, kebenaran berargumen dan kritis terhadap argumen menjadi dasar dalam suatu keputusan. Ukurannya apa? Ukurannya ialah daya nalar dan argumentatif, bukan kekuatan berbicara dan asal berargumen. Menalar berarti mendalami, menyelami pokok-pokok pembicaraan dan menyangganya dengan argumen yang tidak hanya benar tetapi tepat. 

Bukan duduk dan bermimpi lalu berdiri mengetuk permukaan mic dan berteriak, saya tidak setuju! Atau tidak setuju lalu diungkapkan dengan cara melempar-lempar sesuatu atau marah-marah.

Unsur subyektif begitu kelihatan. Panggung musyawarah menjadi panggung pasar atau teater belaka. Musyawarah menjadi sandiwara. Ini yang tidak sesuai dengan makna terdalam parrhesia dan konteks demokrasi ala Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun