Parrhesia dan kebenaran
Parrhesia dalam hubungan erat dengan kebenaran, inilah problematika pemikiran Foucault. Banyak berbicara, namun tidak ada isinya adalah berbahaya. Bumerang! Berbicara sedikit tetapi bernas isinya, adalah konfigurasi dari kecerdasan berpikir dan kedewasaan berbicara. Tidak asal omong. Jika berbicara bebas tetapi kebenaran dalam isi pembicaraan, nihil merupakan petaka besar. Maka bebas berbicara bisa saja, tetapi harus yang benar.
Sampai disini, pertanyaan yang bisa kita ajukan ialah apa itu kebenaran dan kebebasan? Siapa saja yang boleh dikatakan bebas berbicara benar? Bagaimana kebebasan berbicara yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan ini dihadirkan disini dengan maksud mendorong siapapun juga untuk merefleksikan. Sehingga dalam forum apapun dan dalam bentuk apapun, kebebasan berbicara tetap ada namun kebebasan berbicara itu harus menampilkan kebenaran. Sehingga tidak dibilang hoax atau palsu.
Dalam studi Foucault tentang kebenaran, ia menemukan bahwa topik tentang kebenaran telah dibahas sejak masa pra-Sokrates. Masa pra-Sokrates, memandang kebenaran sebagai "Being" atau sesuatu yang bersifat ilahi.
Di zaman Sokrates, kebenaran adalah sesuatu yang harus diperlihatkan dalam hidup yang baik, yang benar dalam pikiran diwujudkan dalam kehidupan etis.
Sementara Plato melihat kebenaran sebagai sesuatu yang berada dalam lingkup Forma yang terlepas dari dunia indrawi. Turunan dari ide kebaikan dalam dunia intelektual melalui illuminasi menjadi visibel sehingga dapat diketahui. Lebih lanjut kata Plato, kebenaran adalah obyek dan syarat pertama pengetahuan.
Aristoteles memahami kebenaran melalui ide mengenai physis yang adalah Being. Kebenaran ialah suatu perjumpaan antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Apa yang dipahami Aristoteles tentang kebanaran dilanjutkan oleh Heraklitos. Dengan mendasarkan pada kata-kata "Cogito ergo sum", Descartes mengakui bahwa kebenaran yang paling mendasar ialah "Aku" sendiri.
Merefleksi lanjutan dari Descartes, Hegel kemudian menyimpulkan bahwa kebenaran itu segala-galanya, yang utuh dan absolut yang selalu sadar dan hadir dalam dirinya dan diperlihatkan dalam perjalanan epok sejarah. Dan kebenaran dalam pemikiran M. Heidegger dikatakan suatu keterbukaan Being (aletheia), yang didasarkan pada keterbukaan Dasein terhadap cahaya Being.
Dari pembicaraan tentang kebenaran, Foucault malahan sedikit pun tidak menyentuh soal kebenaran ini. Foucault malahan berbicara bahwa omong tentang kebenaran yang menurutnya suatu problematika, sebenarnya bukan soal kebenaran itu. Tetapi bagaimana cara kita berbicara seputar kebenaran.
Makanya Foucault menyebut kira-kira ada dua cara omong soal kebenaran, yaitu pertama, bahwa kita harus masuk dalam problematikan kebanaran. Ketika sudah masuk maka yang dipakai ialah menalar dan mengajukan argumentasi hingga mencapai keputusan atau kesimpulan. Cara kedua ialah dengan analisis kebenaran itu sendiri.