Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money featured

Bu Siti Melawan Amerika

19 Januari 2012   22:16 Diperbarui: 29 April 2020   05:38 4228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita kematian Puguh Dwi yanto, seorang warga Sunter, Jakarta Utara, 7  Januari 2012, menggerak perhatian saya melotot kasus ini. Sejumlah media massa merilis, penyebab tewasnya pria berusia 23 tahun itu diduga akibat flu burung.

Di Jakarta, menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI, Dien Emmawati, sebagaimana yang saya lansir dari TribunNews (9 Januari 2012), korban flu burung di Jakarta tak banyak yang bisa diselematkan medis.

Tahun 2009, dari  10 kasus flu burung, delapan orang diantaranya  meninggal dunia. Tahun 2010, dari total  tiga kasus,  semuanya meninggal dunia.

Sepanjang 2011, dari  tiga kasus, hanya satu yang selamat. Kasus flu burung yang masih merebak awal 2012 ini mengingatkan saya akan perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009.

Ia menggugat ketidakadilan sistem WHO dalam penanganan flu burung. Proses gugatan itu saya tulis dalam Liputan Utama di Majalah FORUM Keadilan 2008 (saat itu saya masih menjadi wartawan majalah ini).

Berikut naskah asli tentang gugatan Bu Siti, yang pernah tayang di majalah FORUM Keadilan (judul: Bu Siti Melawan Amerika), dan mendapat penghargaan karya jurnalistik Terbaik Kedua setelah TEMPO (judul: Panas Dingin Virus Namru) dari Departemen Kesehatan, Desember 2008.

***

Bu Siti Melawan AmerikaDi dalam buku setebal 182 halaman itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menguak keculasan yang melibatkan organisasi internasional dan negara-negara kaya, mengenai  flu burung. Hasil rekayasa Amerika?

”Diborongnya obat Tamiflu oleh negara-negara kaya yang tak memiliki kasus Flu Burung, sungguh sangat menggoreskan luka mendalam hati saya. Alangkah tidak adilnya.

Bayangkan saja Flu Burung menimpa negara-negara  yang sedang berkembang bahkan miskin, tetapi mereka tidak diprioritaskan dalam pengadaan obat-obatan yang masih terbatas produksinya di dunia.” Itulah petikan salah satu bab pada buku terbaru Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari yang  berjudul "Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung." 

Buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 lalu di Jakarta itu terbilang istimewa. Buku setebal 182 halaman itu mengisahkan perjuangan Siti Fadilah mendobrak ketidakadilan organisasi internasional sekelas WHO dan negara-negara maju, terutama dalam penanganan kasus Flu Burung yang mulai menyerang manusia sekitar empat tahun silam.

Bu Siti, yang juga dokter spesialis jantung ini tidak patah arang. Ia mengumpulkan energi dan menganggarkan dana untuk dapat obat Tamiflu. Nama generik obat ini: Oseltamivir, produksi Roche (berpusat di Grenzach, Jerman) dalam jumlah tertentu atas anjuran WHO. Dana sudah ada. Sialnya stok habis. Tamiflu ludes dipesan negara-negara  kaya sebagai stockpilling. Siti curiga.

Pasalnya, kasus flu burung tidak terjadi di negara itu. Menkes akhirnya terpaksa mencari jalan keluar mendapatkan Oseltamivir dari India. Negara ini juga memiliki lisensi dari Roche.

Untungnya juga, Indonesia mendapat sumbangan dari Thailan dan Australia. Tapi jumlahnya terbatas, karena stok di dua negera itu juga tipis.

Kejadian itu meninggalkan bekas luka mendalam di hati Siti Fadilah Supari. Ia berpikir: seandainya nanti ditemukan vaksin Flu Burung pada manusia, pasti negara kaya yang meraup keuntungannya. Betapa tidak: bahan (material) untuk  membuat vaksin  atau virusnya diperoleh dari negara penderita Flu Burung yang tidak kaya, yang belum tentu mampu membeli vaksin yang dibuat oleh negara kaya.

Maka, kata Siti Fadilah, tak heran bila 90 persen perdagangan vaksin di dunia dikuasai hanya oleh 10 persen penduduk dunia yang tersebar di negara-negara kaya. Lebih lanjut, Menkes Siti Fadilah Supari mengungkapkan sampel virus Flu Burung diambil dan dikirim ke WHO (WHO Collaborating Center), untuk dilakukan risk assesment (pengkajian risiko), diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus.

Dari seed virus inilah kemudian dipakai untuk membuat vaksin. Sekali lagi, ini amat ironi. Pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri,  negara maju, negara  kaya yang tidak mempunyai kasus Flu Burung pada manusia. Vaksin itu lalu dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Kedaulatan dan rasa nasionalisme Siti Fadilah terusik. Pikirannya menerawang pada ungkapan Bung Karno 50 tahun lalu yang menyebut praktik kecurangan itu sebagai neo-kolonialisme: ketidakberdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain. Siti Fadilah menjelaskan, pengiriman sampel virus ke WHO tak hanya Flu Burung. Tak urung, karena aturan Global Influenza Surveilance Network (GISN), spesimen Influenza biasa juga wajib dikirim oleh 110 negara ke WHO.

”Itupun sudah berangsung selama 50 tahun. Entah siapa yang mendirikan GISN itu”, tulisnya.

Siti Fadilah tak tahu. Yang jelas, kata dia, negara-negara penderita Flu Burung tak berdaya dihadapan WHO melalui GISN. Tak ada yang protes kalau virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Kemudian diproses untuk risk assesment dan riset para pakar.

Di samping itu juga diproses menjadi seed virus. Dari seed virus itulah bisa dibuat suatu vaksin. Bila berhasil, vaksin itu didistribusikan ke seluruh negara di dunia secara komersial, termasuk negara penderita yang mengirim virus. Harganya juga cuma bisa ditentukan oleh produsen vaksin yang hampir semuanya bercokol di negara industri yang kaya. Tentu dengan  harga yang sangat mahal tanpa mempedulikan alasan sosial kecuali alasan ekonomi, semata. ”Sungguh nyata, suatu ciri khas kapitalistik,” hardik Supari.

Siti Fadilah heran kenapa tidak ada yang protes. Padahal tidak seorang pun tahu virus dari mankah yang digunakan untuk membuat vaksin dan kemudian mereka jual. Konon kabarnya virus dari Indonesia dan Malaysia. ”Entahlah benar apa tidak. Pokoknya kalau Anda butuh ya harus membeli dengan harga mahal,” imbuh Supari lagi.

Usut demi usut, virus H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa).

Setelah itu mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Itupun harus sabar menanti 5-6 hari.

Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1, disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak pernah dibuka.

Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu kemana virus yang dikirim  itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain.

Yang mengejutkan: data penting yang mengendap itu disimpan di Los Alamos. Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk melumat Hiroshima (1945) dirancang.

Kabar tersimpan di Los Alamos dilansir Siti Fadilah dari koran Singapura, Straits  Times , 27 Mei 2006. Artikelnya berjudul ”Scientists split over sharing of H5N1 data”Dengan kata lain, data sequencingH5N1 yang dikirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico, yang  jumlahnya sangat sedikit. Barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti, dimana 4 dari 15 ini berasal dari WHO, dan sisanya, Siti memberi analogi, seperti hantu.

Kekecewaan kepada WHO tidak hanya itu. Siti Fadilah juga membeberkan soal kasus klaster yang terbesar di dunia,  yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu Burung.

Para pakar dari WHO yang hampir semuanya epidemiolog menyimpulkan: klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia  (human to human transmission). Siti Fadilah menilai kesimpulan itu sangat sembrono. Begitu juga WHO Indonesia, dengan arogannya meyakinkan semua wartawan dalam negeri maupun  luar negeri, bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di Indonesia.

Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan ke seluruh dunia berita ’sadis’ itu. Ini artinya, pandemik Flu Burung yang ditakutkan umat manusia sedunia: sudah mulai.

Siti Fadilah sangat marah. Pasalnya belum ada laporan perubahan bentuk dan fungsi (mutagenesis) dari DNA virus Flu Burung yang ditemukan di Tanah Karo.

Ia lalu menghubungi Prof  Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia, juga pimpinan labotarium Eijkman, yang berpusat di Jakarta. Menkes meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi.

Sambil menunggu hasil analisa labotarium Eijkman, Siti Fadilah Supari menggelar konferensi pers, guna meredam ekses statement WHO, yang amat sembrono itu.  Siti Fadilah Supari menegaskan, penularan Flu Burung secara langsung dari manusia ke manusia di Tanah Karo: salah! Bila benar terjadi,  korban yang pertama adalah tenaga  kesehatan yang  merawat mereka. Dan kematian di daerah  korban akan sangat banyak. Bukan puluhan, tapi mungkin ribuan.

Kabar itu kemudian dilaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menkes meyakinkan Presiden pendapatnya itu. Hasilnya, menurut cerita Menkes, Presiden SBY kala itu bisa saja melayangkan surat protes ke PBB. Tapi ditahan Menkes, karena sedang menunggu pembuktian labotarium Eijkman.

Yang ditunggu kemudian keluar juga. Labotarium Eijkman berhasil melakukan sequencing. Hasilnya: DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo  menunjukkan suatu virus H5N1 yang masih identik dengan virus H5N1 sebelumnya di daerah lain di Indonesia. Artinya: belum menular human to human. Hanya, ada sedikit perubahan yang menunjukkan virus Tanah Karo ini agak lebih ganas dibanding dengan virus sebelumnya.

Namun struktur lainnya  masih sesuai dengan virus yang menular dari binatang (ayam) ke manusia. Sayangnya, masyarakat internasional sepertinya cuek. Mereka seolah-olah kurang percaya dengan hasil sequencing yang dilakukan di labotarium Eijkman, hanya karena lembaga tersebut belum pernah diakreditasi oleh WHO. Maka digelarlah pertemuan antar pakar dan AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia). Akhirnya diputuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok ilmuwan saja.

Sepucuk surat kemudian dilayangkan ke WHO untuk meminta data sequencing virus dari Tanah Karo. Permintaan itu dituruti. Dan tanggal 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mempelopori ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia.

Caranya, Siti dengan jeli mengirim data  yang tadinya disimpan di WHO ke Gen Bank (Genetic Sequence Data Bank), yang dikelola National Institute of Health Amerika, berkolaborasi dengan DNA DataBank of Japan (DDBJ), European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan GenBank itu sendiri di National Center for Biotechnology Information (NCBI). Dari sinilah semua ilmuan dunia akhirnya bisa mengakses DNA H5N1. Sebab database sekuen genetik, dan semua sekuen DNA, berikut dengan teranotasi dan tranlasinya, dipublikasikan ke seluruh dunia; bisa diakses secara online.

Sejumlah media luar negeri menulis Siti Fadilah Supari sebagai sang Maestro. Satu diantara menuliskan: Menteri Kesehatan Indoensia itu seperti tambang emas yang kini muncul di bumi. Tapi banyak pula yang mencibirnya. Siti Fadilah, terutama dirilis dalam beberapa blog, dilukiskan setara dengan Ahmadienejad, musuh bebuyutan Presiden Bush.

Kabar terakhir yang diperoleh Siti Fadilah, laboratorium Los Alamos sudah ditutup sejak ia menuntut data virus Tanah Karo. Saat FORUM bertandang ke rumahnya, untuk bertanya soal ini, tak kuasa Menkes menahan senyum. Sejak itu diagnosis Flu Burung dilakukan di laboratorium Litbangkes, Departemen Kesehatan RI dan labotarium Eijkman.

Meskipun tidak diakui WHO, Siti Fadilah Supari tak ambil pusing. Ia akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat yang tidak bisa didikte begitu saja. Malah, setelah Siti Fadilah berjuang membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada GenBank (public domain),  Departemen Kesehatan berencana akan membuatearly and rapid diagnostic dan vaksin dari virus strain Indonesia secara mandiri atau bekerja sama dengan prinsip kesetaraan dengan negara maju.

Terbuka akses DNA H5N1 di GenBank telah menabuh perang diplomasi negara-negara berkembang yang dipelopori Indonesia dengan WHO. Sejak 20 Desember 2006, Indonesia tak lagi mengirimkan spesimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO lagi.

”Itu kalau mekanismenya masih mempertahankan GISN,” cetus Siti.

Artinya, Siti menuntut mekanisme imperialistik itu harus diubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan. Dunia tepuk tangan. Berkat data yang diberi Siti Fadilah Supari ke Gen Bank, akhirnya sharing virus disetuji dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia International (Government Meeting WHO) di Jenewa Mei 2007.

Yang lebih yahud: GISN dihapuskan. Diplomasi Menkes tidak berhenti sampai di situ. Ia menuntut pengembalian 58 seed virus yang dikembangkan dari virus strain Indonesia ke WHO.

Sayangnya, semua seed virus Flu Burung sudah terlanjur disimpan di Los Alamos yang sudah ditutup itu. Menkes mendapat kabar, begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke dua tempat. Sebagian ke GISAID dan sebagian lagi ke BHS atau Bio Health Security: suatu lembaga  penelitian senjata biologi  yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat di Pentagon. Dan tentu saja virus-virus H5N1 Indonesia ada disana.

Hampir semua pegawai dan peneliti  dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya, permainan masih diteruskan sampai saat ini, meskipun nama dan keberadaannya sudah berganti. Inilah bayang-bayang yang selalu mengusik Menkes.

Bagaimana WHO mengirimkan  data sequencing DNA  ke Los Alamos? Apa hubungannya?

Ia menduga virus dari affected countries dikirim ke WHO melalui mekanisme GISN. Tapi bagaimana mekanismenya masih misteri. Bukan tidak mungkin virus itu dijadikan senjata biologi. 

Soal itu, Menkes tidak berani menceritakan tentang misteri Los Alamos kepada Presiden. Beberapa hari setelah launching buku itu, kepada FORUM, Siti Fadilah mengaku dihubungi wartawan dari salah satu media di Australia untuk menanyakan keabsahan buku yang ia tulis itu.

Siti Fadilah menjawab, bukunya itu merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya, khususnya ketika wabah Flu Burung mengancam dunia sekitar empat tahun lalu.

Namun esoknya, hasil wawancara sama sekali tak dimuat. Malah berita tersebut menggambarkan Menkes Indonesia dalam bukunya membongkar konspirasi Barat dalam menggunakan sampel flu burung.

Berita itu juga menulis tuduhan Siti Fadilah akan keterlibatan AS dan WHO, yang memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi. Dari sinilah kontroversi meletup hingga ke Timur Tengah.

Beberapa ilmuan AS menyebut buku itu karya “Dungu”. Merasa lembaganya disentil, Kamis pekan lalu, David Heymann, pejabat keamanan WHO seperti dilansir surat kabar Australia, The Age, meminta Menkes menarik buku tersebut.

Heymann mengaku telah mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah dan memintanya menariknya dari pasar. Hayman sendiri bingung atas tuduhan Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata biologi.

"Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata biologi,” katanya.

Amerika Serikat yang awalnya tidak mempersoalkan buku itu, belakangan ikut termakan pers Australia. Beredar kabar: Amerika menawarkan bantuan peralatan militer kepada TNI asalkan buku itu ditarik dari peredaran. Namun isu itu segera dibantah Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates setelah bertemu dengan Presiden SBY, Senin pekan lalu.

"Tidak benar Amerika Serikat menawarkan perlengkapan militer agar buku ditarik dari peredaran," imbuh Gates.

Ia juga menegaskan tidak membicarakan masalah buku tersebut dengan Presiden Yudhoyono. Tapi kabar yang beredar, Presiden SBY menekan Menkes agar buku itu ditarik.

“Tidak benar kabar itu. Ini hanya diplintir media,” aku Siti.

Dari pihak Istana Negara, juru bicara Andi Mallarangeng enggan berkomentar. Ia lalu menunjuk Dino Patti Djalal, juru bicara Presiden urusan luar negeri. Tak beda dengan Andi, Dino pun menolak.

''Saya no comment, silakan masalah ini ditanyakan langsung ke Menkes'' jelasnya.

Tuduhan pers Barat terhadap Siti yang mendiskreditkan WHO dan Amerika Serikat, juga ia tampik. Menkes mengaku tidak menuduh negara mana pun.

Kepada FORUM, Menkes Siti Fadilah Supari merasa media Australia sudah mempelintir hasil wawancaranya, dan ia merasa dipojokkan oleh sebagian besar pers Barat. Lewat bukunya, Menkes mengaku cuma mempertanyakan para peneliti di WHO menggunakan sampel virus flu burung negara berkembang untuk keperluan vaksin atau mengembangkan senjata kimia.

Di halaman 73, Menkes menulis: ''Kami sama sekali tak pernah tahu, apakah virus itu digunakan untuk penelitian atau publikasi, ataukah mereka di-sharing ke pabrik vaksin untuk dibuat vaksin. Atau mungkin virus itu digunakan untuk pengembangan senjata biologi.”

Terancam bukunya ditarik dari peredaran tak membuat Menkes Siti Fadilah ciut nyali. Dia bertekad untuk mempertahankan buku itu tetap beredar, apa pun resikonya. Siti bahkan akan mencetak ulang buku yang di luar negeri laris manis itu.

Dan bahkan, Siti Fadilah akan menerbitkan jilid keduanya. “Isinya seputar kontroversi buku pertama saya, juga ada seputar polemik Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin” kata Siti sedikit buka kartu. Cardiyan HIS, editor buku ini angkat suara. Kepada FORUM dia bilang, buku yang telah beredar sulit ditarik karena ludes terjual, terutama versi Bahasa Inggris-nya.

“Saya dapat penuh SMS (pesan pendek) kapan dicetak ulang. Di salah satu toko buku di Jakarta Pusat, bahkan ada bule yang rela menunggu depan plaza sebelum book store dibuka. Tapi tak dapat karena habis. Menurut kabar dari distributor utama buku ini, versi bahasa Inggrisnya ludes dalam waktu yang tak sampai seminggu”. Bahkan, kabarnya, Iran telah memeasan 5000 eksemplar! Mendengar keterangan Cardiyan, sang Maestro senyum-senyum saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun