Usut demi usut, virus H5N1 (perantara virus Flu Burung lewat unggas) yang dikirim ke WHO, ternyata penelitinya memperlakukan virus itu sama dengan peraturan Seasonal Flu Virus (Flu biasa).
Setelah itu mereka hanya disuruh menunggu konfirmasi diagnosis dari virus yang dikirim tersebut. Itupun harus sabar menanti 5-6 hari.
Sementara korban terus berjatuhan. Setelah hasil diagnosis dikirim, data yang paling penting, yakni sequencing (pemilahan) DNA H5N1, disimpan di WHO. Tak pernah tersentuh oleh ilmuan dunia, karena memang aksesnya tidak pernah dibuka.
Menkes Siti Fadilah mencontohkan Vietnam. Negara itu tak pernah tahu kemana virus yang dikirim itu sekarang. Eh...tahu-tahu sudah beredar di dunia sebagai vaksin yang diperjual-belikan dengan harga yang tak terjangkau bagi negara berkembang. Sementara rakyat Vietnam meninggal karena Flu Burung, di depan mata pedagang berkulit putih dari Eropa yang menawarkan vaksin dengan Vietnam strain.
Yang mengejutkan: data penting yang mengendap itu disimpan di Los Alamos. Lho? Ini kan sebuah laboratorium yang berada di bawah Kementerian Energi, Amerika Serikat. Di labotarium inilah Bom Atom untuk melumat Hiroshima (1945) dirancang.
Kabar tersimpan di Los Alamos dilansir Siti Fadilah dari koran Singapura, Straits Times , 27 Mei 2006. Artikelnya berjudul ”Scientists split over sharing of H5N1 data”. Dengan kata lain, data sequencingH5N1 yang dikirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico, yang jumlahnya sangat sedikit. Barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti, dimana 4 dari 15 ini berasal dari WHO, dan sisanya, Siti memberi analogi, seperti hantu.
Kekecewaan kepada WHO tidak hanya itu. Siti Fadilah juga membeberkan soal kasus klaster yang terbesar di dunia, yakni di Tanah Karo, Sumatera Utara, dengan kematian tujuh dari delapan orang bersaudara yang menderita Flu Burung.
Para pakar dari WHO yang hampir semuanya epidemiolog menyimpulkan: klaster yang terjadi di Tanah Karo adalah suatu kejadian penularan antar manusia (human to human transmission). Siti Fadilah menilai kesimpulan itu sangat sembrono. Begitu juga WHO Indonesia, dengan arogannya meyakinkan semua wartawan dalam negeri maupun luar negeri, bahwa sudah terjadi penularan antar manusia di Indonesia.
Bahkan, CNN dengan headline news menyiarkan ke seluruh dunia berita ’sadis’ itu. Ini artinya, pandemik Flu Burung yang ditakutkan umat manusia sedunia: sudah mulai.
Siti Fadilah sangat marah. Pasalnya belum ada laporan perubahan bentuk dan fungsi (mutagenesis) dari DNA virus Flu Burung yang ditemukan di Tanah Karo.
Ia lalu menghubungi Prof Sangkot Marzuki, seorang ilmuwan molecular biologist yang cukup dikenal di dunia, juga pimpinan labotarium Eijkman, yang berpusat di Jakarta. Menkes meminta agar labotarium Eijkman membuat sequencing DNA virus Flu Burung dari Tanah Karo. Lembaga itu menyanggupi.