Dalam kajian filsafat dan teologi, sering muncul pertanyaan mendasar: Jika Tuhan adalah Mahakuasa, mengapa Dia tidak memaksa manusia untuk menyembah-Nya? Dengan kekuasaan yang tak terbatas, bukankah Tuhan dapat "memprogram" manusia untuk senantiasa taat dan menyembah-Nya tanpa adanya ruang untuk penolakan? Namun, jawaban atas persoalan ini melampaui sekadar pembahasan mengenai kekuasaan Tuhan. Jawaban tersebut melibatkan konsep kehendak bebas, cinta, makna hubungan antara manusia dan Tuhan, serta tujuan penciptaan manusia menurut berbagai perspektif religius dan filosofis.
Tuhan sebagai Seniman Agung
Dalam upaya menjelaskan konsep kehendak bebas, beberapa pemikir religius menggunakan perumpamaan Tuhan sebagai seorang seniman atau pengarang yang mahir, sementara manusia adalah karakter yang diciptakan dalam kisah yang dirancang-Nya. Seandainya Tuhan menginginkan agar karakter-karakter tersebut menunjukkan kasih dan penghormatan kepada-Nya, tindakan itu akan kehilangan maknanya apabila mereka hanya "diprogram" untuk melakukannya tanpa pilihan. Sebagaimana seorang seniman menginginkan karyanya berkembang dan hidup secara alami, Tuhan memilih untuk memberikan manusia kebebasan. Kehendak bebas ini memungkinkan setiap tindakan manusia bersumber dari pilihan yang mereka buat sendiri, bukan sekadar dorongan otomatis tanpa kesadaran.
Dengan memberikan kehendak bebas, Tuhan menciptakan ruang bagi manusia untuk secara aktif memilih jalan hidup mereka---baik itu menuju pengabdian dan penyembahan kepada Tuhan ataupun sebaliknya. Kehendak bebas merupakan anugerah yang memberikan manusia tanggung jawab penuh atas setiap tindakan yang mereka ambil. Oleh karena itu, hubungan antara manusia dan Tuhan menjadi sebuah pilihan aktif, bukan hasil dari paksaan. Dalam konteks kebebasan memilih inilah, cinta dan pengabdian manusia kepada Tuhan menjadi lebih bermakna daripada jika tindakan tersebut dipaksakan atau terjadi tanpa adanya pilihan.
Kehendak Bebas sebagai Dasar Relasi dengan Tuhan
Seperti seorang pelukis yang menciptakan sebuah karya seni dan kemudian membiarkannya "hidup" dan berkembang sesuai dengan keindahannya, Tuhan memberi manusia ruang untuk menentukan arah hidup mereka sendiri serta untuk mencari dan menemukan Tuhan secara sukarela. Kebebasan ini memberikan manusia kesempatan untuk benar-benar memahami dan mengalami proses pencarian, penemuan, dan kedekatan dengan Tuhan. Tanpa kebebasan tersebut, konsep cinta, pengabdian, ataupun penyembahan menjadi dangkal, seperti kasih sayang seorang anak kepada orang tua yang hanya bernilai jika tidak dipaksakan.
Namun demikian, kebebasan ini tidak tanpa risiko. Manusia berpotensi memilih jalan yang menolak Tuhan. Inilah kompleksitas dari kebebasan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia; kebebasan ini menciptakan dunia yang penuh dengan tantangan, konflik, serta pilihan-pilihan moral. Meskipun di satu sisi kebebasan ini memberikan ruang bagi kesalahan dan kerapuhan, di sisi lain, kebebasan ini memungkinkan manusia untuk tumbuh, belajar dari kesalahan, dan, bagi mereka yang memilih demikian, menemukan jalan kembali menuju Tuhan.
Cinta Tuhan dan Kebebasan Memilih
Kebebasan yang diberikan kepada manusia dianggap sebagai wujud cinta Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Tanpa kebebasan, cinta dan pengabdian tidak akan memiliki makna yang mendalam. Sebagai contoh, jika seseorang mencintai orang lain, tentu ia mengharapkan cintanya diterima secara sukarela, bukan karena paksaan. Demikian pula, menurut banyak pandangan religius, Tuhan memberikan manusia kebebasan untuk menyembah-Nya, dengan harapan bahwa pilihan tersebut diambil secara sadar dan penuh pengertian.
Oleh karena itu, meskipun Tuhan adalah Mahakuasa, pilihan-Nya untuk tidak memaksa manusia menyembah-Nya justru dapat dilihat sebagai bentuk penghargaan dan cinta yang mendalam terhadap kebebasan manusia. Meskipun kebebasan ini berisiko, kebebasan inilah yang memberikan nilai dan makna yang lebih dalam dalam kehidupan manusia, khususnya dalam hubungannya dengan Sang Pencipta.
Kebebasan Memilih dalam Perspektif Al-Qur'an
Konsep kebebasan memilih ini juga ditegaskan dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh, dalam QS. Yunus: 99, Tuhan berfirman:
"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?"
Demikian pula dalam QS. Al-Baqarah: 256, dinyatakan:
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat."
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Tuhan tidak memaksakan keimanan kepada manusia. Sebaliknya, Tuhan memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, baik itu mengarah kepada kebenaran atau sebaliknya.
Tuhan Tidak Membutuhkan Penyembahan
Dalam banyak tradisi agama, ditegaskan bahwa Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya, termasuk penyembahan. Manusia menyembah Tuhan bukan karena Tuhan membutuhkan penyembahan tersebut, melainkan karena manusia membutuhkan Tuhan---baik itu untuk pengampunan, rezeki, keselamatan, atau hal-hal lain yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan. Bahkan tanpa disembah sekalipun, Tuhan tetap memberikan rezeki dan karunia kepada seluruh makhluk-Nya. Tuhan menjalankan kehendak-Nya berdasarkan kebijaksanaan yang melampaui pemahaman manusia, tanpa adanya kebutuhan terhadap makhluk-Nya.
Keterbatasan Manusia dalam "Melihat" Tuhan
Sebagai ilustrasi mengenai keterbatasan manusia dalam memahami atau "melihat" Tuhan secara langsung, kita dapat membayangkan seseorang berdiri di kaki gunung yang menjulang tinggi. Dia menatap puncak gunung yang begitu jauh, hingga kepalanya harus mendongak tajam ke atas. Dalam situasi ini, manusia merasa kecil dan lemah di hadapan gunung yang begitu besar.
Sekarang, bayangkan sesuatu yang lebih besar lagi, yaitu Bumi. Bumi begitu luas, dengan lautan yang dalam, hutan-hutan yang lebat, dan wilayah-wilayah yang masih belum sepenuhnya dijelajahi. Namun, Bumi hanyalah satu dari miliaran planet di alam semesta yang luas dan misterius. Jika manusia merasa kecil di hadapan gunung atau Bumi, bagaimana mungkin manusia dapat sepenuhnya memahami atau "melihat" Tuhan, Sang Pencipta alam semesta ini?
Keterbatasan fisik, intelektual, dan spiritual manusia menghalangi kemampuan untuk "melihat" Tuhan secara langsung. Sama seperti manusia membutuhkan teknologi canggih untuk menjelajahi alam semesta, demikian pula manusia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk sepenuhnya memahami atau menyaksikan kebesaran Tuhan.
Dimensi Ilahi dan Manusiawi
Iman, dalam perspektif teologis, memiliki dimensi yang bersifat ilahi sekaligus manusiawi. Iman berasal dari Allah, tetapi juga melibatkan tanggapan manusia yang aktif. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi Allah untuk memaksakan iman kepada manusia tanpa adanya sikap sukarela dari pihak manusia itu sendiri. Iman melibatkan penyerahan diri kepada Allah dan kebenaran yang diwahyukan-Nya.
Dalam kebijaksanaan-Nya, Allah memberikan rahmat-Nya untuk menggerakkan akal budi dan kehendak manusia agar mereka dapat menanggapi kebenaran yang diberikan oleh-Nya. Dengan demikian, iman memungkinkan manusia untuk memasuki hubungan yang pribadi dan erat dengan Allah. Hubungan ini hanya mungkin terjadi apabila kedua belah pihak---baik manusia maupun Tuhan---memberikan diri secara bebas dan tanpa paksaan.
"Supaya iman itu manusiawi, manusia wajib secara sukarela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu, tak seorang pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman. Sebab pada hakikatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak yang bebas."
Baik dalam konteks kehendak bebas maupun dalam keterbatasan manusia untuk "melihat" Tuhan, terdapat hikmah ilahi yang mendalam di balik keduanya. Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia bukan sebagai tanda kelemahan, melainkan sebagai bukti cinta-Nya yang mendalam terhadap ciptaan-Nya. Melalui kebebasan ini, manusia dapat memilih untuk mencintai dan menyembah Tuhan dengan kesadaran penuh, sehingga hubungan antara manusia dan Tuhan menjadi lebih bermakna dan mendalam.
Kebebasan ini, meskipun berisiko, merupakan dasar dari kehormatan yang Tuhan berikan kepada manusia. Kehendak bebas memberikan manusia tanggung jawab atas setiap tindakan mereka dan menciptakan ruang bagi iman yang tulus. Iman yang demikian, yang ditanggapi secara bebas oleh manusia, memungkinkan terbentuknya hubungan pribadi yang erat dengan Tuhan, hubungan yang hanya mungkin jika kedua belah pihak memberikan diri secara bebas tanpa paksaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H