Akan banyak hal yang bisa dibicarakan mengenai hulu sungai, baik segi sejarah, politik, antropologi, sosiologi, budaya, agama, dan sebagainya. Beberapa mungkin menarik seperti demografi dan antrolopogis dari budaya di Hulu sungai yang beragam, misalnya dalam tataran kritis kita bisa mempertanyakan kembali bagaimana Hulu sungai kemudian disebut menjadi banjar atau apakah hulu sungai sama atau berbeda dengan banjar? Apakah orang hulu sungai menerima disebut sebagai bagian dari Banjar? Penyebutan Banjar hulu sungai apakah benar-benar tepat sedangkan Hulu sungai sendiri merupakan peradapan yang jauh lebih tua dari banjar, antara Hulu sungai Dan banjar terdapat perbedaan dalam sejarah dan politik, atau bagaimana bahasa hulu sungai kemudian menjadi menjadi bahasa banjar, bagaimana juga kita menggambarkan di Hulu Sungai kita bisa mendapati komunitas berbagai suku yang saling berdekatan dan berinteraksi, pemukiman dan wilayah traditional suku-suku yang berbeda itu saling berdekatan tanpa gesekan yang telah ada selama ratusan tahun, dari orang-orang Hulu sungai, Orang Maanyan, Orang Deah, Orang Lawangan dan orang Meratus, orang bakumpai, orang dusun.
Â
Bagi saya afdeling Hulu Sungai menjadi salah satu wilayah penting baik dari segi sejarah dan masa depannya nanti, oleh karena itu mempelajari Hulu sungai sebaiknya tetap harus dilakukan. Dalam pembahasan berikutnya penulis akan membicarakan mengenai aristokrat Hulu Sungai dengan lebih menekankan aristokrat dari daerah Alai. Membicarakan mengenai aristokrat Hulu Sungai pasti akan sangat menarik, tujuan dari tulisan ini adalah untuk memulai diskusi serta membuka sejarah politik dan pemerintahan di Hulu Sungai. Perlu juga digarisbawahi, bahwa dalam tulisan ini akan lebih membahas kalangan elit, hal ini tidak terhindarkan karena para elit adalah pelaku sejarah, tindak tanduk mereka mempengaruhi banyak hal.
Â
Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana orang-orang Hulu Sungai pernah mendominasi politik dan pemerintahan di kalimantan selatan, bahkan pernah pada masanya para politikus Hulu Sungai menjadi representasi politik dari sebagian Pulau kalimantan di permintahan pusat. dari mana tradisi politik dan pemerintahan orang-orang Hulu Sungai itu muncul, sedangkan hari ini seolah ada stigma paradoksional di internal Kalimantan selatan yang mungkin membingungkan, bahwa ada stigma Hulu Sungai adalah daerah yang terkebelakang dan udik karena berada jauh di pedalaman, namun satu sisi orang-orang Hulu Sungai malah mendominasi politik dan pemerintahan. Paradoks ini membuat kesalahpengertian serta kebingungan dalam melihat Hulu Sungai bahkan hingga hari ini.
Â
Pada dasarnya paradoks tersebut mungkin diproduksi baru-baru ini saja, akibat dari kampanye "banjarisasi" yang menjamah Hulu Sungai sebagai bagian dari banjar sehingga muncul standar penilaian baru, dimana Banjar di yang berada di pesisir yang dahulu pernah menjadi pusat Kerajaan Banjar dan kemudian menjadi pusat pemerintahan kalimantan selatan setelah kemerdekaan dianggap lebih utama dari Hulu Sungai, sedangkan Hulu Sungai yang merupakan Afdeling tersendiri berada jauh di pedalaman dinilai sebagai kelas yang berbeda dan dianggap lebih rendah.
Â
Untuk memahami Hulu Sungai dengan lebih baik, akan lebih mudah dengan melihat Hulu Sungai sebagai wilayah dan kebudayaan tersendiri, yang mana peletakan "banjar" bagi Hulu Sungai seperti "Banjar Hulu Sungai" sebaiknya tidak menjadi cara pandang. Sebagian orang Hulu Sungai menganggap mereka adalah keturunan dari Kerajaan Daha yang mempunyai kebudayaan dan peradapan yang lebih tua, lebih murni, lebih tinggi dan bahkan berbeda dari pada Banjar.
Â
Melihat Hulu Sungai dengan pandangan "Banjar Hulu Sungai" dianggap mendistorsi ke Hulu Sungaian itu sendiri, wilayah Hulu Sungai berada jauh dari wilayah banjar, perlu satu minggu pelayaran hingga sampai ke kota-kota utama seperti margasari, Negara Daha, Sungai Banar, Amuntai, Kalua, dan kota-kota di daerah Alai dan Amandit seperti amwang, Karang jawa, kandangan, Pamangkih di Labuhan amas, Palajau, banua asam, Jatuh, Banawa tangah, jati di birayang, Kandangan di amandit, dan Amawang.