Mohon tunggu...
Alfiatur Rohmania
Alfiatur Rohmania Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | FAKULTAS EKONOMI dan BISNIS | PRODI S1 AKUNTANSI | NAMA : ALFIATUR ROHMANIA | NIM : 43223010174

Mata kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB. Dosen Pengampu : Apollo, Prof, Dr, M.Si.AK Universitas Mercu Buana | Pogram studi : S1 Akuntansi | Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

21 November 2024   11:59 Diperbarui: 21 November 2024   11:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sangat dikenal oleh awam bahwa korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara. Fakta senyatanya lebih luas, bahwa korupsi merupakan perbuatan bejat, busuk, jahat, jelek, tidak jujur, dan konotasi negatif lainnya, bahkan extra ordinary crime.

Korupsi adalah salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi korupsi, praktik ini tetap merajalela dan berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, memahami akar penyebab korupsi sangatlah penting dalam merancang strategi yang efektif untuk memberantasnya.

Kata "korupsi" berasal dari bahasa latin "corruption" atau "corruptus", yang berarti busuk. Rusak, menggoyahkan, memutarbalikan, atau menyogok. Menurut para ahli bahasa, "corruptio" berasal dari kata kerja "corrumpere," sebuah istilah dari bahasa Latin kuno. Kata ini kemudian  berkembang menjadi "corruption" dalam bahasa Inggris, "corruption" dalam bahasa Prancis, "corruptie" atau "korruptie" dalam bahasa Belanda, dan "korupsi" dalam bahasa Indonesia.

Jadi secara kesimpulan, Korupsi adalah sesuatu yang mencakup segala tindakan buruk yang menyebabkan kerugian ekonomi bagi negara, seperti penggelapan dana atau penerimaan suap untuk kepentingan pribadi, pihak lain, atau sebuah perusahaan. Tindakan korupsi juga mencakup penyalahgunaan atau penggelapan dana pemerintah atau dana lainnya untuk keuntungan pihak ketiga. Selain itu, korupsi dapat diartikan sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan kepercayaan terhadap suatu isu atau organisasi untuk meraih keuntungan pribadi. Kegiatan ini merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan individu atau kelompok tertentu.

Ada pendekatan penyebab korupsi yang diperkenalkan oleh Robert Klitgaard dan Jack Bologna menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk menganalisis dan mengatasi korupsi. Robert Klitgaard dikenal dengan formula CDMA (Corruption = Monopoly + Discretion -- Accountability). Sedangkan Jack Bologna mengembangkan teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure).

Apa Perbedaan Pendekatan Penyebab Korupsi menurut Robert Klitgaard dan Jack Bologna?

Korupsi menurut Robert Klitgaard 

Robert Klitgaard, seorang ahli korupsi terkemuka, mendefinisikan korupsi melalui formula yang dikenal sebagai C = M + D - A. Menurut Klitgaard, korupsi terjadi ketika individu atau kelompok memiliki monopoli kekuasaan dan kebebasan untuk membuat keputusan tanpa adanya pengawasan yang memadai. Penjelasan  tentang C = M + D- A :

C (Corruption) atau korupsi adalah hasil dari kombinasi faktor-faktor berikut:

  • Monopoly (monopoli)

Menurut Robert Klitgaard, monopoli adalah salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya korupsi. Dalam konteks korupsi, monopoli mengacu pada situasi di mana satu individu atau kelompok memiliki kontrol penuh atas sumber daya atau proses pengambilan keputusan tanpa adanya persaingan. Dalam situasi monopoli, tidak ada persaingan yang sehat. Hal ini menghilangkan mekanisme pengawasan alami yang ada dalam pasar yang kompetitif. Tanpa persaingan, individu atau kelompok yang memegang monopoli cenderung bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi.

Contoh: Ketika ada sebuah lembaga pemerintah yang bertugas mengurus pengadaan barang dan jasa untuk berbagai proyek infrastruktur. Kepala lembaga tersebut memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan pemasok barang dan jasa tanpa perlu melalui proses tender yang transparan dan kompetitif. Karena tidak ada persaingan, kepala lembaga dapat memilih pemasok favoritnya yang mungkin memberikan suap atau keuntungan lainnya sebagai imbalan atas pemilihan tersebut.

  • Discretion (kebijaksanaan)

Menurut Robert Klitgaard, kebijaksanaan atau kebijaksanaan adalah kemampuan dan wewenang seseorang atau kelompok untuk mengambil keputusan penting dengan sedikit atau tanpa pengawasan. Dis ini mengacu pada kebebasan yang diberikan kepada pejabat dan pegawai untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu tanpa harus mengikuti aturan yang ketat.

Contoh: Ketika ada seorang pejabat yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan alokasi anggaran tanpa perlu melalui persetujuan atau tinjauan pihak lain. Dengan kebijaksanaan yang luas, pejabat tersebut bisa saja mengalokasikan dana ke proyek-proyek yang memberikan keuntungan pribadi atau mendapat suap dari kontraktor yang terpilih. Karena tidak ada pengawasan yang ketat, tindakan ini bisa berlanjut tanpa terdeteksi.

  • Akuntabilitas (accountability)

Akuntabilitas, menurut Robert Klitgaard, adalah kemampuan dan kewajiban individu atau organisasi untuk mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusan mereka kepada pihak lain. Dalam konteks korupsi, akuntabilitas memainkan peran penting dalam mengawasi dan mengendalikan kekuasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok.

Contoh: Sebuah perusahaan melakukan audit keuangan tahunan yang diawasi oleh auditor eksternal. Auditor memeriksa catatan keuangan untuk memastikan bahwa semua transaksi tercatat dengan benar dan tidak ada penyalahgunaan dana. Laporan audit ini kemudian dipublikasikan untuk memberikan transparansi kepada pemegang saham dan public.

Modul: Prof. Apollo
Modul: Prof. Apollo
Korupsi Menurut Jack Bologne

Ia berpendapat akar penyebab korupsi ada 4 (empat). Teori yang dikembangkan oleh Jack Bologna dikenal sebagai GONE Theory. GONE adalah singkatan dari Greed, Opportunity, Need, dan Exposure.Berikut penjelasan singkat mengenai masing-masing komponen:

  • Greedy (keserakahan)

Keserakahan adalah dorongan yang berlebihan untuk mendapatkan lebih banyak kekuasaan, uang, atau sumber daya daripada yang diperlukan. Faktor ini sering menjadi pendorong utama bagi seseorang untuk terlibat dalam perilaku korupsi.

Opportunity (kesempatan)

Kesempatan berkaitan dengan situasi atau kondisi yang memungkinkan praktik korupsi terjadi. Kesempatan untuk korupsi sering tercipta melalui celah dalam sistem pengawasan, ketidakjelasan regulasi, atau kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan

  • Need (kebutuhan)

Kebutuhan merujuk pada situasi di mana individu merasa terdorong untuk melakukan korupsi sebagai cara untuk memperbaiki kondisi ekonomi pribadi mereka, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit.

  • Exposures (pengungkapan)

Exposure mengacu pada risiko atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku korupsi jika mereka terbukti melakukan kecurangan. Jika risiko pengungkapan rendah, pelaku korupsi mungkin merasa lebih aman untuk melakukan tindakan korupsi.

Teori GONE memberikan perspektif komprehensif dalam memahami berbagai aspek yang menyebabkan korupsi serta menawarkan titik intervensi untuk mencegahnya. Dengan memahami faktor-faktor ini, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengatasi korupsi.

Mengapa Korupsi tetap terjadi di Indonesia, meskipun telah melakukan pencegahan untuk memberantas korupsi?

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah dan memberantas korupsi, korupsi masih menjadi masalah kronis di Indonesia karena beberapa faktor yang kompleks. Budaya korupsi yang sudah mengakar sulit diubah dalam waktu singkat karena sudah menjadi praktik umum di berbagai lapisan masyarakat. Penegakan hukum sering kali lemah dan tidak konsisten, sehingga pelaku korupsi tidak mendapat hukuman berat dan upaya pencegahannya kurang optimal. Selain itu, kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam administrasi publik menyebabkan korupsi tidak terdeteksi. Kesenjangan dalam sistem birokrasi yang rumit dan lambat meningkatkan kemungkinan terjadinya korupsi. Kendala ekonomi dan sosial juga mendorong individu untuk memperoleh penghasilan tambahan melalui cara-cara ilegal. Praktik konspirasi dan nepotisme masih marak sehingga memudahkan munculnya korupsi karena pelakunya merasa aman melalui perlindungan jaringan yang kuat. Di sisi lain, lembaga antikorupsi seperti komisi antikorupsi mempunyai sumber daya yang terbatas, sehingga mengurangi efektivitas kerja mereka. Mengatasi tantangan ini memerlukan pendekatan holistik dan kolaboratif, mulai dari reformasi hukum dan penguatan institusi hingga perubahan budaya dan peningkatan kesadaran masyarakat. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel.

Bagaimana Penerapan Penyebab Korupsi Menurut Robert Klitgaard dan Jack Bologna pada Kasus PT Timah di Indonesia?

Contoh Kasus 

Korupsi yang terjadi di PT Timah Tbk

Kasus korupsi PT Timah merupakan salah satu kasus korupsi besar yang mengguncang Indonesia. Kasus ini melibatkan sejumlah besar uang negara dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pejabat pemerintah hingga perusahaan swasta.

Kasus korupsi di sektor pertambangan Indonesia selalu menarik perhatian publik karena dampaknya yang signifikan terhadap perekonomian negara dan kerusakan lingkungan. Salah satu kasus korupsi terbesar adalah kasus PT Timah Tbk, sebuah perusahaan milik negara yang bergerak di bidang pertambangan timah. Kasus ini tidak hanya menyoroti kesenjangan dalam rezim pengawasan dan akuntabilitas di Indonesia, namun juga bagaimana kekuasaan yang terpusat dan kurangnya transparansi dapat menyebabkan pelanggaran yang berdampak negatif terhadap negara dan masyarakat secara keseluruhan.

Kasus ini berakar dari dugaan korupsi dalam tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, yang berlangsung antara tahun 2015 hingga 2022. Penyelidikan oleh Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa terdapat kolusi antara direksi PT Timah dan pihak-pihak swasta, termasuk smelter, untuk mengakomodasi penambangan timah ilegal. Hal ini dilakukan melalui perjanjian sewa peralatan dan pengadaan bijih timah dari penambang ilegal, yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar.

PT.  Timah  Tbk  merupakan  bagian  dari  BUMN  yang  didirikan  pada  tahun  1976, bergerak  dalam  pengelolaan  bisnis  pertambangan  timah  dari  eksplorasi  hingga  pemasaran. Sebagai anggota Holding BUMN pertambangan MIND ID (Mining Industry Indonesia), yang kini   bernama   PT   Mineral   Industri   Indonesia,   PT   Timah   Tbk   memiliki   Izin   Usaha Pertambangan (IUP) seluas 473.310 hektar yang tersebar di daratan dan perairan lepas pantai Bangka, Belitung, dan Pulau Kundur. Seiring dengan pengelolaan tambang yang luas, PT Timah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa operasi penambangan dilakukan dengan transparan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai salah satu produsen timah terbesar di dunia, PT Timah memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam sektor ekspor mineral.

Namun, pada periode 2015-2022, muncul indikasi kuat adanya praktik korupsi di dalam PT Timah. Indikasi awal korupsi di PT Timah muncul melalui laporan audit internal dan pengawasan eksternal yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam tata kelola dan penjualan komoditas timah. Dugaan praktik korupsi semakin kuat ketika ditemukan adanya penyimpangan dalam pengelolaan IUP dan tata niaga timah. Kejadian ini memicu investigasi yang lebih mendalam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung.

Investigasi resmi dimulai pada awal 2020 setelah serangkaian laporan mencurigakan mengenai pengelolaan tambang timah. Penyelidikan mendalam menemukan bahwa sejumlah pejabat tinggi di PT Timah terlibat dalam pengaturan ilegal yang menguntungkan kelompok tertentu. Kejaksaan Agung telah menetapkan sebanyak 23 orang sebagai tersangka dalam kasus ini, termasuk mantan Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, serta beberapa pemilik smelter swasta seperti Suwito Gunawan dan Robert Indarto. Mereka diduga terlibat dalam pengumpulan bijih timah dari penambang ilegal dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Salah satu tokoh penting dalam kasus ini adalah Hendry Lie, mantan bos Sriwijaya Air, yang ditangkap setelah melarikan diri ke Singapura. Ia diduga menerima uang dari perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan timah ilegal. Penangkapan Hendry Lie menandai langkah signifikan dalam penyidikan kasus ini, menunjukkan bahwa tidak ada individu yang kebal hukum meskipun memiliki latar belakang kuat di dunia bisnis.

Harvey jadi tersangka dalam perannya sebagai selaku perpanjangan tangan dari PT RBT. Harvey disebut pernah menghubungi mantan Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021, MRPT alias RZ. Adapun kasus posisi pada perkara ini, bahwa sekira tahun 2018 sampai dengan 2019. Saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah, yaitu Saudara MRPT atau Saudara RZ, dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah," Yang bersangkutan dalam kapasitas mewakili PT RBT, namun bukan sebagai pengurus PT RBT,"

Dalam kasus korupsi PT Timah, terdapat beberapa modus operandi yang kerap digunakan oleh pelaku. Salah satu modus yang umum adalah penggelembungan harga dalam berbagai transaksi terkait pertambangan timah. Taktik ini mencakup manipulasi harga untuk memperoleh keuntungan pribadi yang lebih besar. Selain itu, penjualan timah secara ilegal tanpa melalui prosedur yang benar juga sering dilakukan, menghindari aturan resmi untuk mendapatkan keuntungan dengan cepat. Praktik suap dan gratifikasi kepada pejabat pemerintah atau pihak yang terlibat dalam proses perizinan dan pengawasan juga menjadi hal biasa, di mana pelaku memberikan imbalan untuk memuluskan izin atau menghindari sanksi.

Kerugian yang diakibatkan oleh praktik korupsi di PT Timah sangat besar. Secara finansial, negara kehilangan lebih dari Rp 332 triliun akibat pengelolaan yang tidak transparan dan penjualan timah ilegal. Selain kerugian ekonomi, kasus ini juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Diperkirakan, kerugian lingkungan mencapai Rp 271 triliun, mencakup deforestasi, degradasi lahan, dan pencemaran air. Kerusakan ini berdampak luas pada ekosistem setempat dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada lingkungan sekitar.  Selain itu, kasus ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengawasi sektor ekstraktif. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian BUMN dianggap tidak menjalankan tugasnya dengan baik dalam memastikan bahwa PT Timah mematuhi regulasi yang ada. Ini menunjukkan perlunya reformasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia agar praktik korupsi tidak terulang di masa depan.

Kasus korupsi PT Timah telah menimbulkan sejumlah dampak negatif yang signifikan. Pertama, kerugian negara yang sangat besar akibat korupsi ini seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, namun malah hilang karena tindakan ilegal tersebut. Kedua, praktik pertambangan timah yang tidak bertanggung jawab menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran air dan tanah, yang merugikan ekosistem dan kesehatan masyarakat sekitar. Ketiga, kasus ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum, karena masyarakat melihat bahwa korupsi masih merajalela dan pelakunya sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.

Menanggapi kasus ini, Kejaksaan Agung bekerja sama dengan KPK melakukan langkah-langkah tegas dengan menyita aset-aset milik para tersangka. Penyitaan ini termasuk properti, kendaraan, dan aset lainnya yang diduga diperoleh dari hasil korupsi. Selain itu, proses hukum dilakukan secara tegas dengan harapan dapat memberikan efek jera dan memperbaiki sistem pengelolaan di masa depan. Penegakan hukum yang tegas diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Robert Klitgaard, seorang pakar dalam bidang antikorupsi, mengemukakan bahwa korupsi terjadi karena adanya tiga faktor utama. Dalam konteks kasus PT Timah, faktor-faktor ini dapat dilihat dengan jelas:

  • Monopoli

Monopoli kekuasaan di PT Timah memungkinkan pejabat tinggi memiliki kontrol besar atas pengelolaan dan penjualan timah. Kekuasaan yang terkonsentrasi ini menciptakan peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan korupsi tanpa adanya mekanisme pengawasan yang efektif. Pejabat dapat menentukan proses penjualan timah tanpa persaingan yang sehat, menciptakan kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi.

  • Discretion

Pejabat di PT Timah memiliki kebebasan yang luas dalam mengatur proses penjualan dan pengelolaan timah. Kebebasan ini memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu tanpa harus mengikuti prosedur resmi yang ada. Tanpa pengawasan yang memadai, diskresi ini menjadi alat bagi pejabat untuk menyalahgunakan wewenang mereka.

  • Accountability

Sistem pengawasan di PT Timah terbukti lemah, dengan adanya pelanggaran sistematis dalam pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kurangnya transparansi dan akuntabilitas memungkinkan praktik korupsi untuk terus berlanjut tanpa hambatan. Ketika tindakan pejabat tidak diawasi atau ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas, korupsi menjadi sulit untuk diatasi.

Sedangkan teori penerapan dari pt timah menurut Jack Bologna:

  • Greed

Keserakahan menjadi salah satu pendorong utama korupsi di PT Timah. Pejabat yang terlibat terdorong untuk memperkaya diri sendiri melalui suap dan keuntungan dari transaksi ilegal. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan lebih banyak sering kali membuat mereka mengambil risiko yang besar dan melanggar hukum.

  • Opportunity

Peluang untuk melakukan tindakan korupsi terbuka karena adanya kekuasaan yang besar dan kurangnya pengawasan yang efektif. Celah dalam sistem pengawasan memberikan kesempatan bagi pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka. Kekuasaan yang tidak terbatas dan pengawasan yang lemah menciptakan lingkungan yang mendukung korupsi.

  • Need

Tekanan finansial mungkin menjadi salah satu alasan pejabat di PT Timah terlibat dalam korupsi. Kebutuhan untuk memenuhi target keuangan atau gaya hidup yang tinggi dapat mendorong individu untuk mencari keuntungan ilegal. Dalam beberapa kasus, kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau tekanan dari keluarga juga bisa menjadi faktor pendorong korupsi.

  • Exposure

Risiko pengungkapan yang rendah membuat pelaku korupsi merasa aman untuk melakukan tindakan mereka. Ketika sistem penegakan hukum lemah dan sanksi tidak cukup berat, individu tidak merasa takut akan konsekuensi dari tindakan korupsi mereka. Rendahnya risiko tertangkap dan dihukum menciptakan lingkungan di mana korupsi dapat terjadi dengan mudah.

Dengan menggabungkan pendekatan Klitgaard dan Bologna, kita dapat melihat bahwa korupsi di PT Timah tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor individu, tetapi juga oleh kelemahan struktural dan kelembagaan yang memungkinkan praktik korupsi untuk terjadi. Reformasi yang menyeluruh dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas sangat diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan

Mengatasi korupsi memerlukan upaya yang holistik dan kolaboratif. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk melawan korupsi:

Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas:

Pastikan semua proses administratif dan keputusan keuangan dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini bisa mencakup penerapan sistem pelaporan yang lebih baik, audit berkala, dan publikasi informasi penting yang dapat diawasi oleh masyarakat.

Penguatan Sistem Pengawasan:

Bangun dan perkuat lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memberikan mereka wewenang dan sumber daya yang memadai untuk melakukan penyelidikan dan penindakan.

Pendidikan dan Kesadaran Publik:

Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi melalui kampanye edukasi dan program pelatihan. Pendidikan antikorupsi bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah untuk membentuk generasi yang lebih berintegritas.

Pemberian Sanksi yang Tegas:

Berikan hukuman yang berat dan tegas bagi pelaku korupsi untuk menciptakan efek jera. Ini bisa termasuk hukuman penjara yang panjang, denda besar, dan penyitaan aset yang diperoleh dari hasil korupsi.

Reformasi Birokrasi:

Lakukan reformasi dalam struktur birokrasi untuk mengurangi kompleksitas dan celah yang memungkinkan terjadinya korupsi. Ini bisa mencakup penyederhanaan prosedur, digitalisasi layanan, dan penghapusan peraturan yang tumpang tindih.

Peningkatan Gaji dan Insentif:

Sediakan gaji dan insentif yang layak bagi pegawai negeri dan pejabat publik untuk mengurangi dorongan mereka untuk melakukan korupsi.

Keterlibatan Masyarakat:

Dorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan tindakan korupsi. Mekanisme seperti platform pelaporan online atau hotline dapat memfasilitasi pelaporan dari masyarakat.

Kolaborasi Internasional:

Bekerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional untuk mengatasi korupsi yang bersifat lintas batas. Ini bisa mencakup pertukaran informasi, kerja sama penegakan hukum, dan pembentukan standar antikorupsi global.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih, adil, dan transparan, serta membangun kepercayaan publik terhadap institusi negara. Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen jangka panjang dan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.

Kesimpulan

Kasus korupsi PT Timah adalah contoh nyata dari bagaimana praktik korupsi dapat merugikan negara secara signifikan dan menghancurkan lingkungan serta kehidupan masyarakat. Dengan total kerugian mencapai Rp 300 triliun, kasus ini menyoroti perlunya tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi di sektor ekstraktif. Selain itu, penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.Pemerintah harus mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola sektor ekstraktif, termasuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan. Hanya dengan demikian Indonesia dapat memastikan bahwa sumber daya alamnya dikelola dengan baik untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir individu atau kelompok tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Marlina, H., & Serlika, A. (2024, june 18). PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS KORUPSI PT.TIMAH SEBAGAI BENTUK POTRET BURUK TATA KELOLA SEKTOR EKSTRAKTIF. Retrieved from e.journal: https://ejournal.stih-awanglong.ac.id/index.php/juris/article/view/1182/709

Putra, I. G., Setyawan, F., & Fahamsyah, E. (2024). TELAAH KORUPSI PT TIMAH TBKMENURUT IMPLEMENTASI HUKUM PERUSAHAAN INDONESIA. Retrieved from journal.unsuri: https://journal.unsuri.ac.id/index.php/legisia/article/view/396/266

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun