Marepe' Biji Kemiri
Oleh : Alfiansyah
Jika ingin pergi ke Mandar, sesekali janganlah selalu menikmati pesisirnya yang aduhai. Jika Anda berada di pesisir, akan terlihat pegunungan luas, berbukit, dan  kadang tertutup awan.
Sesekali, dakilah ke sana. Â Bagi seorang pengelana, hal itu akan menjadi hal sangat baru mengenal orang Mandar yang bermukim di bukit. Yang pasti, akan memacu adrenalin para musafir.
***
Sebelum menutup bulan Oktober 2019, berita duka menghampiri keluarga saya. Kakek dari Ayah saya dipanggil Yang Maha Kuasa. Alimuddin namanya. Ia meninggal diusia 96 tahun.
Umur yang panjang bagi ukuran umur manusia. Tiga hari setelah wafat, Jumat, 1 November, sehabis shalat Jumat di Desa Timbogading, saya, ayah, dan dua paman saya pergi ke makam kakek yang dikebumikan di Ku'bur Kaiyyang, Desa Banua Adolang, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Dari Desa Timbogading, kami mengendarai sepeda motor. Saya membonceng paman saya, Ibrahim, adik kandung ayah saya. Jalan menuju ke pemakaman menanjak dan berliku, namun saya tidak bosan, karena mata dimanjakan oleh pemandangan natural, yang jarang dilihat oleh masyarakat urban seperti saya.
Sekitar 4 km, kami bertemu dengan anak sekolah yang berjalan kaki. Paman Ramsidar, sepupu dekat ayah saya langsung menggandeng anak itu. Tak beberapa lama, karena cuaca mendung dan hujan gerimis, kami singgah di sebuah rumah panggung, yang kebetulan pemilik rumah itu masih ada hubungan keluarga dengan ayah.
"Kalau di sini tak ada orang lain. Semua keluarga besar," kata ayah.
Ayah, paman Ibrahim dan Ramsidar masuk ke rumah. Saya melihat ke bawah rumah panggung, di mana ada beberapa pemuda dan anak-anak sedang sibuk memecahkan sesuatu. Mereka memecahkan biji kemiri.
Anak yang dibonceng paman Ramsidar menghampiri pemecah biji kemiri, dan berdialog bahasa Mandar. Saya, yang membawa kamera langsung sibuk memotret.
Saya pun banyak bertanya ke salah satu pemecah biji kemiri, Aldy (27). Aldy menerangkan, dalam sehari, jika dikerjakan secar kolektif, bisa mendapatkan buah kemiri utuh sekitar dua karung setengah. Karung untuk menampung buah kemiri adalah karung beras, yang beratnya 25 kg.
Saya terpesona dengan teknik melepaskan kulit kemiri pada buahnya. Dimana mereka masih membuka kulitnya itu dengan cara konvensional menggunakan marepe'.
Marepe' adalah alat bantu dari bambu yang dihaluskan, kemudian disimpul seperti pita. Simpulan bundar itulah yang diikat menggunakan tali rafia agar simpulnya tidak berubah.
Lubang pada simpulan mesti mampu menampung biji kemiri. Biji kemiri ditaruh di lubang, marepe' diayun, diantupkan di batu yang beralas datar. Tass. Seperti bunyi letosan leduman, permainan tradisional dari bambu itu. Namun bunyi yang dihasilkan tidak nyaring seperti leduman. Kulit kemiri yang keras pecah. Isi kemiri yang bewarna putih langsung "diamankan" ke dalam karung.
Aldy mengungkapkan, sebelum mengambil isi kemiri, pertama-tama kemiri harus dijemur seharian, dipanggang satu malam dari jam 18.00 - 06.00. Bahan untuk memanggangnya pun memakai kulit kemiri. Setelah dibakar, didiamkan, lalu direndam air.
"Ada caranya sendiri untuk melepaskan kulitnya. Kalau tak lihai, bisa-bisa isi kemiri ikut rusak (hancur). Jika tak terlalu hancur, masih bisa diambil. Sebenarnya, ada beberapa faktor, pertama, karena suhu memanggang kemiri masih kurang. Itu yang membuat kemiri di samping tak masak, juga kulit dan isi kemiri masih menyatu," ujar Aldy.
"Pembeli biasa ke sini dan ada juga yang langsung di bawa ke gudang di Makassar. Dan mengenai berapa kemiri yang dihasilkan pada satu pohon, itu tergantung. Ada yang bisa menghasilkan lima pikul (1 pikul 60 kg), kadang lebih dan kurang.
Jika musim kemiri, begini saja yang kita lakukan. Tapi kalau bukan musimnya, biasa kita berkebun, cari makanan kambing, atau mengerjakan apa yang dikerjakan," tuturnya.
Siapa yang mengumpuli biji kemiri ini?
"Nanti di jalan akan ditemui pemikul biji kemiri," katanya.
Anak Sekolah
Padahal, ia baru saja pulang sekolah dan berjalan kaki sekitar 8 km lebih. Jika jalannya tak menanjak mungkin tidak apa-apa. Ini sudah menanjak, berkelok-kelok, jauh lagi. MasyaAllah!
Anak sekolah itu mengungkapkan, jika pergi ke sekolah, ia berangkat jam 04.30. Sampai di sekolah sekitar jam 06.30. Jalan kaki. Jalan kakinya tidak terlalu cepat. Yang sedang-sedang saja, yang penting sampai. Ia bersekolah di dekat pasar Pamboang, sedangkan ia tinggal di Dusun Ratte'.
Jika hujan? "Ya, andangi a' massikola (tidak sekolah). Di rumah saja, bantuin orangtua mengerjakan apa saja. Tapi untungnya, jika ada orang lewat atau keluarga lewat sini naik motor, saya ikut. Digonceng," tuturnya.
Saya geleng-geleng mendengarnya bercerita. Sangat jauh sekali ia berjalan kaki. Namun tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan desa saat ini telah berjalan dengan baik.
Akses jalan merupakan priorotas utama untuk menghubungkan antar desa, sekaligus menggerakkan roda perekonomian warga, bagaimana akses jual-beli lancar.
Ayah saya, yang asli lahir dan dibesarkan di Adolang menerangkan. Dulu, tak ada akses jalan ke kampungnya. Jika ingin pergi ke Pamboang, harus jalan kaki. Jika ingin menjual hasil kebun, mesti dipikul.
"Sekarang bisa naik motor ke sini. Bahkan kemarin naik mobil dan parkir di sini (depan rumah yang kami tempati). Anak sekarang enak!"
"Lho, kok enak!"
"Bagaimana tidak nyaman, sudah bisa motor sampai di sini. Dulu, pas saya masih remaja atau pergi ke sekolah itu jalan kaki juga, sama seperti anak itu. Tapi itu masih mendingan. Masih mendingan! Bayangkan saja, perjuanganku dulu ke sekolah. Jalan kaki dari sini sampai ke Majene. Ini bukan cerita mati! Fakta! Bekalnya itu hanya jepa-jepa kering (makanan tradisional Mandar, roti bulat tipis yang dibuat dari bahan parutan singkong atau kelapa. Pizza Mandar)," jelasnya.
Gila! Asli, jauh sekali itu Majene. Jaraknya mungkin 20 km lebih. Tapi bukan hanya persoalan jarak, tapi jalannya yang mesti mendaki, apalagi jika musim panas. Panasnya minta ampun. Asli!
Pemikul Kemiri
Di jalan kami selalu menjumpai pohon kemiri. Dari arah berlawanan atau di dekat pohon kemiri, kami berpapasan dengan ibu-ibu pencari buah kemiri. Ada yang sedang memikul dan ada juga mengumpulkan kemiri yang jatuh dari pohonnya.
Saya sendiri kagum dengan mereka, di mana para ibu-ibu itu memikul biji kemiri yang beratnya kurang lebih 20 kg. Ketika saya melaluinya, mereka akan berhenti dan tersenyum. Senyumnya begitu ringan, lembut dan bersahaja. Rasa lelah itu lenyap seketiks dan tak sebanding dengan barang yang mereka bawa.
"Lihat. Itu dia mikul kemiri itu jauh sekali kasian. Jauh! Pemandangan seperti ini tidak akan kamu dapatkan di kota. Ibu-ibu mengerjakan pekerjaan laki-laki. Kuat. Itu namanya siwaliparriq," jelasnya. Lagi-lagi ia mengulang.
"Di sini tak ada orang lain. Semua keluarga. Jika saya sebut nama bapak, ibu atau nenek-neneknya, insyaAllah saya tahu. Yang pasti, tak ada orang lain di sini. Semuanya keuarga."
Di Mandar ada budaya yang dinamakan siwaliparrriq. Artinya, dalam membangun bahtera rumah tangga, suami-istri harus saling berbagi pekerjaan bersama. Seperjuangan dan sependeritaan.
Jika suami pergi berkebun, maka istri pergi mencari rumput atau dedaunan sebagai makanan kambing. Istri, dengan berpakaian tukang kebun membawa arit atau parang, menebang batang-batang kecil.
Jika batangnya tinggi, maka ia akan memanjatnya. Tak hanya itu, ia pun memikul makanan kambing sampai ke kandangnya. Begitu juga dengan apa yang saya lihat : perempuam memikul biji kemiri.
Jauh sebelum para intelektual kaum hawa di Eropa menuntut hak mereka yang disebut dengan ide-ide feminisme, di Indonesia, tepatnya di Mandar, ternyata sudah lama mempraktikkan bahwa laki-laki tidak menomorduakan perempuan. Tidak berteori dan beretorika---seperti perdebatan feminsme Eropa. Yang dilakukan perempuan di Mandar adalah langsung terjun ke lapangan.
Selain dipakai untuk bumbu dapur, buah kemiri juga banyak manfaatnya. Baik bagi kesehatan dan kesuburan rambut. Namun, kita tidak tahu bagaimana butiran buah itu diambil, dipikul dan diperlakukan, sebelum biji itu dikirim ke pasar atau penadah---sampai biji yang berupa butiran atau minyak itu hadir di depan mata Anda. Baik yang sudah dicampur makanan, atau botolan minyak.
Perjalanan saya masih berlanjut, belum sampai ke Ku'bur Kaiyyang.
Balikpapan, November 2019
Bersambung dan nantikan cerita selanjutnya di bagian kedua, "Nenek Pua', Petuah dan Adolang"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H