Padahal, ia baru saja pulang sekolah dan berjalan kaki sekitar 8 km lebih. Jika jalannya tak menanjak mungkin tidak apa-apa. Ini sudah menanjak, berkelok-kelok, jauh lagi. MasyaAllah!
Anak sekolah itu mengungkapkan, jika pergi ke sekolah, ia berangkat jam 04.30. Sampai di sekolah sekitar jam 06.30. Jalan kaki. Jalan kakinya tidak terlalu cepat. Yang sedang-sedang saja, yang penting sampai. Ia bersekolah di dekat pasar Pamboang, sedangkan ia tinggal di Dusun Ratte'.
Jika hujan? "Ya, andangi a' massikola (tidak sekolah). Di rumah saja, bantuin orangtua mengerjakan apa saja. Tapi untungnya, jika ada orang lewat atau keluarga lewat sini naik motor, saya ikut. Digonceng," tuturnya.
Saya geleng-geleng mendengarnya bercerita. Sangat jauh sekali ia berjalan kaki. Namun tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan desa saat ini telah berjalan dengan baik.
Akses jalan merupakan priorotas utama untuk menghubungkan antar desa, sekaligus menggerakkan roda perekonomian warga, bagaimana akses jual-beli lancar.
Ayah saya, yang asli lahir dan dibesarkan di Adolang menerangkan. Dulu, tak ada akses jalan ke kampungnya. Jika ingin pergi ke Pamboang, harus jalan kaki. Jika ingin menjual hasil kebun, mesti dipikul.
"Sekarang bisa naik motor ke sini. Bahkan kemarin naik mobil dan parkir di sini (depan rumah yang kami tempati). Anak sekarang enak!"
"Lho, kok enak!"
"Bagaimana tidak nyaman, sudah bisa motor sampai di sini. Dulu, pas saya masih remaja atau pergi ke sekolah itu jalan kaki juga, sama seperti anak itu. Tapi itu masih mendingan. Masih mendingan! Bayangkan saja, perjuanganku dulu ke sekolah. Jalan kaki dari sini sampai ke Majene. Ini bukan cerita mati! Fakta! Bekalnya itu hanya jepa-jepa kering (makanan tradisional Mandar, roti bulat tipis yang dibuat dari bahan parutan singkong atau kelapa. Pizza Mandar)," jelasnya.
Gila! Asli, jauh sekali itu Majene. Jaraknya mungkin 20 km lebih. Tapi bukan hanya persoalan jarak, tapi jalannya yang mesti mendaki, apalagi jika musim panas. Panasnya minta ampun. Asli!
Pemikul Kemiri