Di jalan kami selalu menjumpai pohon kemiri. Dari arah berlawanan atau di dekat pohon kemiri, kami berpapasan dengan ibu-ibu pencari buah kemiri. Ada yang sedang memikul dan ada juga mengumpulkan kemiri yang jatuh dari pohonnya.
Saya sendiri kagum dengan mereka, di mana para ibu-ibu itu memikul biji kemiri yang beratnya kurang lebih 20 kg. Ketika saya melaluinya, mereka akan berhenti dan tersenyum. Senyumnya begitu ringan, lembut dan bersahaja. Rasa lelah itu lenyap seketiks dan tak sebanding dengan barang yang mereka bawa.
"Lihat. Itu dia mikul kemiri itu jauh sekali kasian. Jauh! Pemandangan seperti ini tidak akan kamu dapatkan di kota. Ibu-ibu mengerjakan pekerjaan laki-laki. Kuat. Itu namanya siwaliparriq," jelasnya. Lagi-lagi ia mengulang.
"Di sini tak ada orang lain. Semua keluarga. Jika saya sebut nama bapak, ibu atau nenek-neneknya, insyaAllah saya tahu. Yang pasti, tak ada orang lain di sini. Semuanya keuarga."
Di Mandar ada budaya yang dinamakan siwaliparrriq. Artinya, dalam membangun bahtera rumah tangga, suami-istri harus saling berbagi pekerjaan bersama. Seperjuangan dan sependeritaan.
Jika suami pergi berkebun, maka istri pergi mencari rumput atau dedaunan sebagai makanan kambing. Istri, dengan berpakaian tukang kebun membawa arit atau parang, menebang batang-batang kecil.
Jika batangnya tinggi, maka ia akan memanjatnya. Tak hanya itu, ia pun memikul makanan kambing sampai ke kandangnya. Begitu juga dengan apa yang saya lihat : perempuam memikul biji kemiri.
Jauh sebelum para intelektual kaum hawa di Eropa menuntut hak mereka yang disebut dengan ide-ide feminisme, di Indonesia, tepatnya di Mandar, ternyata sudah lama mempraktikkan bahwa laki-laki tidak menomorduakan perempuan. Tidak berteori dan beretorika---seperti perdebatan feminsme Eropa. Yang dilakukan perempuan di Mandar adalah langsung terjun ke lapangan.