Apalagi lokasinya juga jauh dari keramaian, jauh dari tempat kerja. Memang biasanya letak rumah subsidi itu berada di pinggiran.Â
Singkat cerita, kami mendapat informasi perumahan yang tidak jauh dari tempat kerja. Rumah ini yang kemudian akhirnya kami beli dan kami tinggali sampai sekarang.Â
Rumahnya memang bukan rumah subsidi sehingga harganya pun lebih mahal. Namun kami tertarik dengan iming-iming konsep pembayaran DP yang ringan.Â
Akhirnya kami putuskan mengunjungi lokasi perumahan tersebut dan bertemu dengan salah satu sales dari pengembang perumahan. Saya akan ceritakan secara runut proses demi prosesnya.
Kondisi Perumahan dan Konsep penawaran harga
Harga rumah saat itu 320 juta. Pengembang menetapkan DP dan Uang muka sebesar 23 juta. Seharusnya berdasarkan iklan, DP tersebut harus lunas dalam 2x pembayaran.Â
Namun setelah nego dengan sales, akhirnya kami boleh mencicil selama 6x bayar. Untuk mensiasati aturan DP rumah 15 persen, pengembang memberikan semacam diskon.Â
Nah, diskon inilah yang akan menambahkan kekurangannya. Lalu yang membuat menarik adalah free biaya KPR. Besarnya biaya KPR adalah 5 persen dari plafon pinjaman KPR.Â
Jadi kami cukup membayar 23 Juta langsung bisa akad kredit. Dalam proses awal ini perlu dipelajari sungguh-sungguh. Ada beberapa biaya yang harus dikeluarkan saat kita ingin membeli rumah baru selain harga rumah itu sendiri. Yakni biaya KPR, biaya BPHTB, biaya AJB dan biaya SHM.Â
Pelajari juga biaya-biaya lain yang mungkin dicantumkan oleh pengembang seperti biaya pemasangan listrik, biaya instalasi air, biaya peningkatan mutu, dan lain sebagainya.Â
Saya sering menjumpai biaya-biaya ini dalam penawaran rumah subsidi. Untuk rumah kami sendiri sudah dilengkapi listrik 1300 watt dan air PDAM. Konstruksi bangunan menggunakan bata merah. Kondisi perumahan saat itu sudah 50% terbangun.Â