Mohon tunggu...
Alfian WahyuNugroho
Alfian WahyuNugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etnisitas dalam Masyarakat Indonesia

30 April 2024   06:22 Diperbarui: 30 April 2024   06:48 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengertian Etnisitas

Kata etnis berasal dari Bahasa Yunani yaitu ethnos atau ethnik os yang memiliki arti orang atau sekelompok orang komunitas tradisional. Dikutip dari (Yasmine, Daisy Indira. 2012:3.3) terdapat beberapa macam definisi etnisitas yang kompleks dari berbagai pendapat ahli, yaitu:

Lake & Rothchild (1998) mengungkapkan bahwa Etnisitas sering diartikan sebagai identitas bersama atas dasar bahasa, ciri-ciri fisik, persamaan sejarah, tali temali persaudaraan, daerah atau budaya. 

Eriksen (1993) mengungkapkan, etnisitas adalah suatu aspek dalam hubungan sosial antara kelompok di mana terjadi interaksi minimum, suatu kelompok menganggap diri mereka berbeda dalam hal budaya dengan anggota kelompok lain. 

Dalam (Sibarani, Berlin. 2016:3) bahwasanya menurut Ratcliffe (2006) kelompok etnis memiliki kesamaan asal usul dan nenek moyang, memiliki pengalaman atau pengetahuan masa lalu yang sama, mempunyai identitas kelompok yang sama, dan kesamaan tersebut tercermin dalam lima faktor, yaitu kekerabatan, agama, bahasa, lokasi pemukiman kelompok, dan tampilan fisik.

Adapun beberapa ciri-ciri dari kelompok etnisitas menurut Narral (1964), adalah:

Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan.

Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan kesadaran akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya.

Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

Menentukan ciri kelompoknya yang diterima dan dapat dibedakan dari kelompok lain. 

Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa segala perbedaan budaya yang menghasilkan interaksi antar anggota kelompok yang dikomunikasikan secara sistematis dan berlangsung secara terus menerus telah mengandung unsur etnis.

Pandangan dan Konsep Etnisitas

Dalam (Yasmine, Daisy Indira. 2012), bahwasanya Agustino (2001: 255- 256) mengungkapkan makna konsep etnisitas dapat dilihat dari beberapa pandangan, yaitu:

Pandangan Primordialis

Pandangan ini cenderung menganggap etnisitas adalah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, atau dengan kata lain ras dan etnisitas memiliki arti yang saling tumpang tindih. Menurut pandangan ini, tatkala banyak suku, agama, atau lainnya, maka akan timbul pertikaian hingga kekerasan di antara mereka yang berbeda.

Pandangan Instrumentalis

Etnisitas dianggap sebagai alat yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk mengejar suatu tujuan yang lebih besar, biasanya dalam bentuk materiil. Konsepsi etnisitas, bagi kaum instrumentalis, tidak terlalu relevan kecuali digunakan atau diperalat oleh elit politik yang ingin mencapai tujuan tertentu.

Pandangan Konnstruktivis

Etnisitas tidak bersifat kaku sebagaimana dibayangkan kaum primordialis atau sedemikian mudahnya diperalat oleh kaum elit politik sebagaimana diduga kaum instrumentalis. Etnisitas dapat diolah hingga membentuk suatu jaringan (relasi) pergaulan sosial dan berbagai lapisan pengalaman. Artinya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki oleh dunia ini untuk saling mengenal dan memperkaya budaya satu dengan lainnya.

Dengan melihat berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Keanggotaan seseorang dalam kelompok etnisitas tertentu tidaklah serta merta menjadi sama dengan kekeluargaan, karena etnisitas lebih mengarah pada identitas yang dipersepsikan, bukan sebagai suatu kelompok yang memiliki aksi sosial yang kongkret (Weber 1996: 35).

Pola Hubungan Antar Etnis

Masa kolonial

Hubungan antar etnik dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan yang telah terjadi pada masa kolonial Belanda. Hubungan antar etnik pada dasarnya telah terjadi jauh sebelum masa kolonial dalam bentuk hubungan perdagangan dan pertukaran budaya, namun masa kolonial merupakan satu titik penting sebab kelompok etnik di wilayah jajahan berinteraksi dengan pemerintah kolonial. 

Pasca-kolonial: Orde Lama dan Orde Baru

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, dampak yang dibuat pemerintah kolonial masih membekas, bahkan hingga kini. Hal ini dilihat dari kebijakan pemerintah yang menempatkan kelompok etnis Cina bukan bagian dari negara Indonesia. Kenyataan menarik pada gerakan nasionalis yang memperoleh kemerdekaan dan menguasai pemerintahan Indonesia, Belanda dan pengusaha-pengusaha Eropa digantikan oleh orang-orang Indonesia, baik dalam bidang pemerintahan dan politik. Tetapi tidak terjadi perubahan pada status kelompok Cina, baik kelompok yang terpisah dan masyarakat pribumi maupun kelompok yang mengontrol ekonomi modern dalam masyarakat Indonesia.

Masa Reformasi

Hubungan antar etnis di Indonesia tak lepas dan sejarah dan bagaimana negara mengatur hubungan tersebut. Pemerintah cukup memegang peranan dalam mengatur hubungan itu. Karenanya, perubahan peta politik dan kebijakan publik penting untuk dijadikan dasar dalam menganalisis pola hubungan antar etnis di Indonesia.

Hubungan Etnisitas dengan Integrasi Nasional 

Istilah etnisitas mengacu pada ciri-ciri suatu kelompok masyarakat, terutama yang berkaitan dengan ciri sosiologis atau antropologis, seperti ciri-ciri yang tercermin dalam adat istiadat, agama, bahasa yang digunakan, dan darah leluhur. Kelompok etnis dapat diidentifikasi dalam lingkungan budaya yang lebih luas dengan berbagai cara, seperti dari sejarah keberadaannya di lingkungan budaya yang lebih luas, adat istiadat agama, diskriminasi, dan kelompok sosial yang lebih luas. Selain itu, anggota etnis memiliki ciri fisik yang unik (Ramsey, 2003). Kata etnis biasanya disamakan dengan kata ras, walaupun jelas bahwa kata ras mengacu pada ciri-ciri biologis dan genetika yang membedakan seseorang dengan orang lain dalam suatu kelompok sosial yang luas. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat diketahui bahwa secara umum semua manusia terbagi menjadi tiga ras, yaitu Kaukasia, Hitam, dan Mongol. Alasan kemiripan tersebut adalah karena perbedaan yang sering terjadi antar kelompok dalam ras dapat menyebabkan kelompok tersebut dianggap sebagai kelompok dengan karakteristik yang berbeda dan diperlakukan secara berbeda oleh anggota kelompok yang lebih besar dalam kelompok ras tersebut (Ramsey, Tahun 2003 ). Artinya dalam ras tertentu, mungkin ada beberapa kelompok kecil yang dianggap etnis tersendiri. 

Oleh karena itu, etnis tidak lagi selalu dilihat dari sudut ras yang dimiliki suatu kelompok etnis. Menurut Ratcliffe (2006) kelompok etnis memiliki kesamaan asal usul dan memiliki pengalaman atau pengetahuan masa lalu yang sama, mempunyai identitas kelompok yang sama, dan kesamaan tersebut tercermin dalam lima faktor, yaitu (1) kekerabatan, (2) agama, (3) bahasa, (4) lokasi pemukinan kelompok, dan (5) tampilan fisik. Dengan kata lain, etnis adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya yang membedakannya dari kelompok yang lain. Ciri khas budaya yang membedakannya dari kelompok etnis yang lain terlihat dalam aspek sejarah, nenek moyang, bahasa dan simbol- simbol yang lain seperti: pakaian, agama, dan tradisi.

Definisi di atas pada dasarnya sama, tetapi saling melengkapi. Artinya, definisi ini mendeskripsikan konsep ras dalam esensi penafsiran yang sama dan perbedaan dalam satu definisi tidak bertentangan dengan definisi lain, tetapi saling melengkapi. Oleh karena itu menurut pengertian di atas pengertian etnis adalah suatu kelompok yang termasuk dalam suatu masyarakat dengan ciri budaya yang unik yang membedakannya dengan etnis lain. Setiap anggota ras mengakui keberadaan kelompok dan keunikan kelompok tersebut. Keunikan budaya nasional tercermin pada tindakan yang bersifat kolektif, persamaan agama, bahasa, pakaian dan tradisi.

Sedangkan integrasi nasional merupakan dapat disebut juga sebagai usaha dan proses mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Adanya integrasi nasional penting untuk terciptanya keselarasan bangsa di tengah-tengah keadaan masyarakat yang berbeda-beda dan wilayah yang luas. Integrasi nasional adalah bersatunya suatu bangsa yang menempati wilayah tertentu dalam sebuah negara yang berdaulat.

Sebagai negara kesatuan yang terdapat banyak pulau dan ratusan suku, ras dan etnis penduduk, masing-masing suku memiliki bahasa, adat istiadat dan budaya. Indonesia bisa disebut sebagai negara dengan penduduk yang heterogen, multi etnis, dan beragam. Semakin tinggi kesadaran masyarakat akan pentingnya negara sebagai kawasan pemukiman dan negara sebagai kesatuan identitas etnis, maka semakin unik ikatan antara kesatuan etnis dengan budaya lokal dan tradisi etnis.

Kemajemukan masyarakat indonesia tersebut menyimpan potensi konflik yang cukup besar. Konflik yang terjadi dapat bersifat vertikal (antara pemerintah dangan rakyat, antara pemerintah daerah dengan pusat), atau horisontal (antar warga, atau antar kelompok masyarakat). Penyebab konflik vertikal biasanya adalah ketidak puasan kelompok atau daerah terhadap kebijakan pemerintah. Konflik horisontal lebih banyak penyebabnya, diantaranya karena latar belakang perbedaan pandangan dan praktek antar golongan agama, kecemburuan sosial (biasanya antar kelompok ekonomi, karena perbedaan kaya miskin yang sangat jauh), kepentingan politik praktis dimana setiap kelompok akan berusaha agar kepentingannya tercapai (Taupan, 2014). 

Pada hubungan antar etnis, perbedaan persepsi tentang sikap etnis lain, perbedaan pemahaman tentang adat dan tradisi, bahkan perbedaan pengertian tentang kata yang sama tetapi diartikan berbeda oleh etnis lain berpotensi menimbulkan konflik. (contoh kata dhahar dan amis di bahasa suku Sunda yang berarti berbeda di bahasa suku Jawa). Apalagi bila perilaku salah satu etnis memang jelas jelas mengganggu dan sengaja memprovokasi etnis lain, pasti konflik antar etnis akan terjadi. Dikaitkan dengan hubungan budaya dengan etnis lain non warga negara, atau non pribumi, konflik vertikal bisa terjadi karena perbedaan sudut pandang terkait waktu, etos kerja, sikap dan gaya hidup dalam interaksi antar etnis yang menimbulkan kekecewaan, kecemburuan sosial, merasa diperlakukan tidak adil, dibedakan, dan lain-lain (Marx, Durkheim, Weber, Simmel, Khouldoun, dll di Banyu Perwita dan Sabban, 2014: 24-38) .

Cara untuk mengatasi dan menghindari konflik yaitu melalui komunikasi dan integrasi. Dalam kondisi kemajemukan diperlukan hal–hal yang dapat dijadikan sebagai pemahaman bersama diantaranya: memiliki kesadaran untuk saling menghargai, toleransi, mau menerima kekurangan dari perbedaan yang ada, mau mempelajari dan memahami kelompok lain, tidak mencurigai atau cemburu pada kelompok lain, dan tidak merasa bahwa budaya kelompoknya “lebih tinggi” daripada budaya kelompok lain (perasaan primordial). Cara lainnya adalah dengan melakukan peace keeping (menjaga atau memelihara perdamaian) yaitu cara untuk memperluas kemungkinan sekaligus mencegah terjadinya konflik dengan melakukan perdamaian,dan peace building (membangun perdamaian) yaitu mengidentifikasi unsur yang dapat digunakan bersama sebagai upaya memperkuat perdamaian (Boutros Ghali, 1992, di Perwita dan Saban, 2014: 81, 85).

Integrasi merupakan model hubungan yang menekankan kesetaraan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Model hubungan ini hanya terjadi ketika individu atau kelompok orang bekerja sama dan berbicara satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Dalam relasi sosial berbagai komunitas dengan latar belakang budaya yang berbeda, terdapat dua kemungkinan, positif dan negatif. Ketika pertemuan semua kelompok etnis dalam masyarakat yang beragam dapat menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis, maka integrasi sosial yang positif akan terjadi. Ketika hubungan sosial tidak harmonis akibat perbedaan sikap hidup, maka integrasi sosial yang negatif akan terjadi. Integrasi sosial, Menurut Soekanto, syarat bagi semua suku bangsa untuk beradaptasi dan menjadi cocok dengan sebagian besar budaya, namun tetap mempertahankan budayanya.

Etnis mengacu pada pola karakter yang dimiliki oleh suku bangsa ras tertentu. Oleh karena itu etnisitas seringkali dianggap sebagai budaya. Dengan kata lain, jika kita membicarakan etnisitas maka kita tidak bias melepaskan diri dari pembicaraan mengenai budaya etnis yang bersangkutan. Pola-pola hubungan sosial antar etnis dikemukakan Benton, beberapa pola hubungan tersebut masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dan integrasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akulturasi terjadi jika dua kelompok etnis mengadakan kontak dan saling pengaruh mempengaruhi.

Keberagaman etnis yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan simbol kekayaan budaya. Keharmonisan hubungan antar etnis perlu di jaga sesuai dengan makna yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika guna terwujudnya tatanan sosial yang utuh dan dinamis. Namun, jika sikap bijak setiap orang tidak dapat mendukung keberagaman tersebut, maka keberagaman etnis tersebut dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, yang muncul adalah prasangka sosial yang hanya akan berujung pada keruntuhan masyarakat. Komunikasi antar etnis yang negatif akan menghambat interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat yang multietnis, yang pada gilirannya akan menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. 

Menurut Horton dan Hunt, ada dua hal yang dapat menghambat terjadinya interaksi sosial yang baik dan ideal antar kelompok etnik, yaitu prasangka sosial (social prejudice) dan diskriminasi (social discrimination). Yang pertama adalah suatu penilaian yang dinyatakan sebelum mengetahui fakta secara utuh dan benar, sedangkan yang kedua adalah cara memperlakukan orang berdasarkan ciri – ciri individu. 

Kita ketahui bersama bahwa dalam menjalankan kehidupan bersama dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat itu memiliki etnis yang berbeda-beda, memungkinkan adanya sikap prasangka terhadap budaya lain, hal ini dikarenakan masyarakat yang berbeda etnis sangat rentan dengan sikap primordialisme yang menganggap kebudayaannya yang terbaik dibandingkan dengan kebudayaan yang lainnya. Sehingga untuk mencapai integrasi yang sempurna tidaklah mudah. Untuk itu masyarakat harus menghilangkan sikap prasangka sehingga akan tercapai hubungan yang harmonis.

Konflik Antar Etnis

Faktor penting yang harus diperhatikan dalam kelompok etnis dapat berubah menjadi hubungan konflik yaitu jika di antara kelompok etnis yang saling berinteraksi, bahkan hidup berdampingan dalam satu kesatuan unit politik negara, tidak memiliki tujuan yang selaras. Dalam hal ini konflik dapat dilihat sebagai sesuatu yang fungsional, sebagai strategi untuk menghilangkan unsur-unsur disintegrasi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi dengan sempurna.

Adapun 4 teori beberapa penyebab konflik antar etnis menurut (Byman. 2002) yaitu:

Dilema Keamanan Kelompok Etnik.

Segala usaha untuk meningkatkan keamanan yang dilakukan suatu kelompok sehingga menimbulkan reaksi balik dari kelompok lain dan pada akhirnya membuat kelompok tersebut merasa kurang aman.

Perlindungan Status.

Konflik etnis muncul sebagai konsekuensi atau hasil dari ketakutan kelompok terhadap dominasi kelompok lain, baik secara material maupun budaya.

Ambisi Hegemoni

Suatu kelompok yang berkuasa tidak cukup puas dengan bertahannya nilai-nilai budaya dan institusi mereka saja, tetapi ingin menjadi kelompok dominan.

Aspirasi Kaum Elit

Adanya ambisi dari elit kelompok etnis tertentu untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan isu-isu ketakutan, kebencian dan ambisi kelompok etnis.

Etnisitas Negara oleh kelompok etnis tertentu banyak terjadi di berbagai negara, baik oleh kelompok etnis mayoritas atau minoritas termasuk di Indonesia. Apa hubungannya antara konflik dengan etnisitas? Apakah etnisitas menjadi sumber konflik? Tidak, memang. Tetapi kurangnya saling memahami perbedaan etnisitas telah menjadikan banyak konflik antar etnis yang berbeda sering berkepanjangan bahkan berulang. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat antar berbagai etnis yang ada sejak tahun 1963 sampai 1999 telah tercatat 12 kali. Konflik antara etnis Dayak dengan Tionghoa bermotifkan politik yaitu rekayasa ABRI (TNI) terjadi tahun 1967, antara Dayak dengan Madura terjadi sebanyak 9 kali yaitu tahun 1963, 1968, 1970, 1972, 1977, 1979, 1983’1989, 1996/ 1997, dan konflik antara etnis Sambas dengan Madura terjadi pada tahun 1998/1999( Alqadri 2000: 1).

Konsep Etnisitas di Masyarakat Indonesia

Indonesia terdiri dari berbagai macam kelompok etnis (suku, ras, dan agama) yang dipersatukan dalam satu wilayah negara, Indonesia. Konsep negara indonesia tidak terlepas dari hasil beberapa kelompok etnis yang mengerahkan segala keringat dan pikiran untuk memerdekan Indonesia. Adapun perbandingan komposisi etnis berdasarkan (Tabel di buku yasmine etnik di indo).

Isu tentang hubungan antar kelompok etnis masih menjadi isu penting terutama pada masa sekarang ini. Etnisitas dan hubungan antar kelompok etnis dipandang memiliki hubungan yang erat dengan masalah-masalah pembangunan masyarakat Indonesia. Keberagaman budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah sebuah potensi untuk membentuk identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kecenderungan ini memang tidak saja terjadi dalam konteks masyarakat Indonesia, namun telah menjadi kecenderungan pada masyarakat dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun