Faktor lain adalah dengan diberikan teladan yaitu berupa contoh-contoh tindakan yang baik dari guru. Kemudian diperlukan adanya penjelasan-penjelasan terhadap pertimbangan moral (alasan-alasan melakukan tindakn) sehingga dapat dicapai perkembangan moral pada tingkat yang diinginkan yaitu tingkat tertinggi. Aspek selanjutnya ditunjukkan pada cara berpikir serta sistem nilai yang dilakukan peserta didik agar mampu melakukan pertimbangan moral baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, sambil mengokohkan kepercayaan akan keutamaan moral yang diajarkan.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan moral faktor-faktor yang memegang peranan penting adalah sebagai berikut.
 (1) Pembiasaan (condisioning) yang didalamnya diperlukan adanya reinforcement, baik berupa reward maupun punishment , untuk anak yang melakukan tindakan moral yang baik akan diberi hadiah (pujian), edangkan untuk anak yang melakukan penyimpangan moral akan diberikan hukuman. Dari pembiasaan ini internalisasi nilai moral yang diajarkan akan tertanam dalam diri peserta didik. Peserta didik akan menyadari perilaku moral mana yang harus dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan mana yang harus dihindari. Dari pembiasaan tersebut perilaku moral yang diajarkan akan menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya membentuk watak atau tabiat.
(2) Pengembangan berfikir kritis terhadap alasan dan tujuan dari perilaku moral, yang didalamnya diperlukan adanya diskusi dan pembahasan serta penjelasan terhadap pertimbangan moral (alasan melakukan suatu perilaku moral), tujuan, dan akibat dari tindakan moral. Dengan adanya hal tersebut akan membawa peserta didik tidak hanya untuk mempertimbangankan suatu akibat dari tindakan moral tetapi juga untuk melakukan tindakan moral memperhatikan nilai-nilai universal yang dijunjung dan mempunyai konsekuensi terhadap kehidupan masyarakat.
Problematika Pendidikan Moral di Sekolah
Dilihat dari contoh perilaku-perilaku peserta didik pada saat ini seperti tawuran antar pelajar, kasus hamil diluar nikah oleh remaja, kasus bunuh diri siswa-siswi gagal UN, perkalahian masal, dan demonstrasi mahasiswa yang tidak santun adalah bukti kegagalan pendidikan dalam membentuk moral peserta didik. Hal ini berarti terjadi kesenjangan (moralitas) antara pembelajaran tentang pendidikan moral dilembaga pendidikan dengan keadaan yang dijumpai. Berikut ini hal-hal yang dianggap menyebabkan kurang optimalnya moral peserta didik.
(1) Sistem  pendidikan moral dan lemahnya sistem evaluasi pendidikan moral
Kalau dilihat dari segi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, biasanya penanaman moral disajikan dalam bentuk mata pelajaran seperti Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Tercapainya pendidikan moral kepada peserta didik dilihat dari nilai lulus pada mata pelajaran tersebut yang menenkankan kepada kemampuan anak didik dan guru tidak mengetahui kondisi moral yang sebenarnya dari pesert didik. Seberapa baik nilai yang didapatkan peserta didik dalam menjawab soal-soal tentang pendidikan moral tentu saja belum menjamin tercapainya perkembangan moral yang baik, sesuai yang dikatakan Tilaar bahwa untuk menilai perkembangan nilai moralitas peserta didik perlu adanya penilaian terhadap realisasi perilaku moral anak di setiap lingkungan kehidupan anak. Akan tetapi perilaku moral peserta didik tidak tercakup dalam sistem evaluasi sekolah, bahkan tidak dijadikan sebagai acuan kelulusan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami mengapa perkembangan moral seorang anak tidak mencapai taraf moral yang baik. Hal ini dikarenakan fokus dari peserta didik tidak kepada bagaimana merealisasikan nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan nyata tetapi mereka lebih cenderung kepada penguasaan materi dan kemampuan mengerjakan soal-soal formal dalam ujian.
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal-hal di atas adalah dengan menerapkan pendidikan moral ke semua mata pelajaran. Jadi tidak hanya guru Pendidikan Agama dan Guru Pendidikan Kewarganegaraan saja yang, tetapi semua guru mata pelajaran wajib menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta didik agar peserta didik menjadi manusia yang sempurna baik jasmani maupun rohani, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial, dan sebagai individu yang mandiri (Yunus: 2000).
(2) Kurangnya unsur conditioning dalam pendidikan moral