Mohon tunggu...
Alfa Riezie
Alfa Riezie Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang yang suka ihi uhu

Muhammad Alfariezie, nama yang memiliki arti sebagai Kesatria Paling Mulia. Semua itu sudah ada yang mengatur. Siapakah dan di manakah sesuatu itu? Di dalam perasaan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penelitian di Pabrik Bekas Minuman

9 Maret 2021   01:39 Diperbarui: 9 Maret 2021   02:11 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu pun dengan pegawai pabrik. Ya. Aku yakin mereka semua karyawan pabrik. Tapi, apakah mereka karyawan pabrik ini? Entahlah. Mereka semua tidak sama sekali memerdulikan kehadiran kami. Malah, mereka asyik saja bekerja. Aku yakin. Mereka tidak melihat kehadiran aku dan Ikhsan.

Kami berjalan ke arah orang-orang yang bertugas mengambil pembungkus serbuk. Mereka tepat berada di depan mesin. Mesin itu seperti ekskalator. Bedanya, kalau ekskalator di dalam mall adalah tangga. Kalau mesin itu bentuknya datar.

Beberapa menit kami di sana, tiga orang yang sama sekali tidak mengobrol karena menggunakan pelindung wajah masih fokus bekerja. Namun, kira-kira tiga menit, salah satu dari mereka terkapar. Dari mulutnya mengucur darah merah yang kental.

Salah satu kawannya ingin menolong. Namun, saat tangan kanannya baru menyentuh pundak orang yang tergeletak itu, dia juga jatuh. Dari hidungnya mengucur darah.

Kawan satunya bergegas membuka penutup kepala setelah melihat kedua temannya tergeletak. Tapi, dia terjatuh saat berlari ke arah kawan-kawannya yang lain, yang sedang mengemas kardus. Wajahnya terbakar karena ketumpahan serbuk yang menurutku berasal dari bahan kimia berbahaya. Dari situ, tidak ada satupun orang pabrik yang berani menyentuh selama kurang lebih setengah jam. Aku dan Ikhsan pun hanya diam.

Sekadar informasi. Tempat pengambilan bungkus sachet dan pengemasan kardus berjarak sepuluh meter. Tempatnya terhalang oleh mesin-mesin berukuran besar. Sehingga, wajar jika salah satu dari tiga orang yang mati itu berlari untuk meminta bantuan. Tapi, yang tidak wajar adalah kematian orang itu. Namun, kami di dunia ini tidak berlangsung lama.

Secara tiba-tiba pula kami tersadar. Di depan kami sudah ada dua pocong. Bola matanya sangat hitam. Lingkaran di sekitar matanya bulat dan merah sekali seperti darah. Pocong itu berkain kavan lusuh dan terlihat bercak tanah. Wajahnya sangat putih sekali. Sehingga matanya yang hitam, lingkaran di pinggir matanya yang merah dan bibirnya yang merah amat jelas terlihat.

Dua pocong itu melompat-lompat ke arah kami. Cepat sekali lompatnya. Namun, kami tidak menyerah atau pasrah. Ikhsan menuntunku untuk mundur selangkah demi selangkah. Tapi, dari arah atap terdengar suara perempuan tertawa cekikikan. Dan, saat kami mundur dua langkah, betapa aku kaget karena sangat terasa sekali ada yang menghalangi kami. Bulu-bulu tebal terasa di tanganku. Aku tidak berani menoleh.

Aku memandang ke arah Ikhsan. Tidak ada kata dariku karena sungguh kaki sudah bergetar.

Ikhsan pun hanya memandangku. Tak sepatah kata terucap. Dua pocong itu melompat ke arah kami. Semeter lagi mereka sampai tepat di mata kami. Mereka terus melompat. Setengah meter lagi mereka tepat berada di depan kami.

"Seerr. Heerrr. Arggh," terdengar suara itu saat tepat mereka di depan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun