Cekrek. Suara kunci yang berhasil dibuka. Derit suara pintu pun terdengar. Perlahan-lahan suasana yang gelap dan pengap terasa dan terlihat.
Wess. Sayup-sayup angin terasa jelas sekali di depan pintu. Aku merapikan rambut yang tersentuh gerak angin. Tapi, Ikhsan masih berkekeh untuk melanjutkan penelitian. Dia melangkah masuh ke ruangan. Sedangkan aku, sungguh tidak mungkin meninggalkannya atau diam saja di sini. Aku ingat betul bagaimana keadaan di luar. Belum lagi, dari pintu ruang ini, terlihat jelas pintu toilet karena arahnya yang berlawanan.
"To. Anto. Mana tanganmu? Jangan jauh-jauh dariku," kata Ikhsan.
"Ini San," jawabku sembari memegang tangan kirinya. Â
Aku mengarahkan lampu senter ke segala arah. Pikiranku benar-benar kacau. Sungguh tidak bisa dikendalikan. Aku merasa, di sebelah kiri, ada yang memandang kehadiran kami. Di langit-langit, ada banyak orang yang melambai-lambai ke arah kami. Sekejap lampu senterku seperti menemukan sesuatu. Namun, Ikhsan membentakku.
"Wih, apa yang kamu lakukan, To! Jangan menyorot ke mana-mana. Cukup ke arah jalan kita saja," katanya. Tapi, aku tidak menjawab apapun. Langsung saja aku mengarahkan lampu senter ke arah depan. Ketika itu juga aku melihat bayang rambut di dinding. Seperti ada sosok di belakang kami. Rambut itu bergerak mengikuti langkah sang pemilik. Geraknya pun anteng sekali.
Belum sempat aku menyatakan sesuatu kepada Ikhsan, dia menghentikan langkahnya. Terdengar ayat-ayat suci dari suaranya.
"Kenapa, San?" Tanyaku. Tapi, tidak berani melihat ke depan.
Tidak ada jawaban darinya. Aku merasakan tangannya yang kuat mencengkeram tanganku. Sedangkan aku begitu penasaran sehingga berjalan ke sampingnya dan menyorot ke arah depan.
"Astaghfirullah," teriakku karena melihat lemari yang bergerak. Di dalamnya, seperti ada sesuatu yang ingin sekali keluar.
Aku tidak mau ketinggalan dan pingsan sendiri di sini. Meski tidak sekencang Ikhsan, aku juga menyuarakan batin yang takut melalui ayat-ayat kitab suci. Tapi, dari arah langit-langit, terdengar suara lelaki mengikuti bacaan-bacaan ayat kami. Suaranya serak.
Ikhsan pun menambah volume suaranya. Namun, gangguan bertambah. Dari arah belakang, suara perempuan tertawa terdengar jelas sekali. Seketika itu juga Ikhsan menyuruhku untuk tenang. Lalu menuntunku untuk maju perlahan-lahan.