Cerita ini bermula ketika aku mengantar kawan yang bernama Ikhsan. Dia memintaku untuk menemani penelitian ke pabrik yang lama tidak terpakai.Â
Ikhsan adalah mahasiswa teknik. Skripsinya adalah mencari metode baru untuk merobohkan bangunan tua yang puluhan tahun tidak terpakai. Bangunan tua yang menjadi objek penelitiannya adalah pabrik bekas pembuatan minuman sachet.
Pengalaman mistikku terjadi pada Rabu tanggal 12 Januari tahun 2000. Kala itu, aku tidak mau menemaninya. Tapi, dia ngotot agar aku mengawani.Â
Katanya, dia sudah mengajak orang lain. Tapi, tidak ada yang mau. Alasannya karena meneliti tempat yang kosong pada malam hari. Sedangkan waktu itu, dia harus mengambil data karena sabtu pagi mesti bimbingan.
Hari sabtu itu, dosennya akan pergi ke luar negeri selama satu bulan. Ikhsan berkata, dia harus mendapatkan data terakhir agar mendapat tanda tangan persetujuan untuk sidang skripsi. Jadi, setelah dosennya pulang, kawanku bisa langsung melaksanakan ujian.
Gedung Pabrik yang menjadi objek penelitiannya berjarak tidak jauh dari rumahku. Kalau naik motor, waktu tempuhnya hanya sepuluh menit. Karena jarak yang tidak terlalu jauh dari rumahku itulah, aku tahu cerita pabrik itu.Â
Tapi, aku enggan menceritakan padanya. Aku tidak mau dia mengganti judul penelitian. Dia sudah merencanakan judul itu sejak tahun lalu. Sayangnya, hari itu, aku tidak tega dengannya sehingga merelakan diri untuk menemaninya ke pbarik pada malam hari.
Setelah isya adalah waktu yang ditentukannya untuk menjemputku. Dia adalah orang yang bisa dikatakan taat beribadah. Aku sering melihatnya solat dzuhur dan ashar di masjid kampus. Kalau ada kelas bersama, kami pun selalu ke masjid bersama-sama. Tapi, malam itu, tidak ada senyum di wajah kami ketika memasuki pagar pabrik.
Bagiku, suasana malam di pabrik benar-benar seram. Pantas saja banyak orang di kampungku yang mengatakan kalau pabrik itu angker.
Ketika kaki kami berasa satu meter ke dalam pagar pabrik, desir alang-alang yang berada di sepanjang halaman depan parkir terdengar. Bulu halus di pundak dan lenganku berdiri. Seketika itu pula aku langsung memandang wajah Ikhsan.
Aku tahu, senyumnya yang nihil menandakan dia merasakan hal yang sama. Tapi, dia tetap melangkah sehingga ungkapan takutku tak sampai ia dengar.
Suasana pabrik benar-benar seperti lokasi yang ada di film horor. Cat dindingnya telah mengelupas dan hitam-hitam. Selain itu, sarang laba-laba dan alang-alang yang tertiup angin menambah citra seram. Tambah lagi, pagar yang sudah berkarat dan tidak ada satpam yang menjaga malam.
Kata kawanku, satpam hanya ada pada siang hari. Tapi, dia sudah izin kepada satpam untuk mengambil data pada malam hari.
Satpam sempat melarangnya. Tapi, dia melakukan hal yang seperti yang dia lakukan kepadaku. Dia memohon sembari bersujud-sujud di kaki satpam. Mungkin karena kasihan maka satpam memberi kunci salah satu gedung pabrik yang menjadi objek penelitiannya.
Gedung penelitiannya berada  di paling belakang kompleks pabrik ini. Sekadar informasi, pabrik ini memiliki sembilan gedung. Semuanya sudah tidak lagi mendapat perawatan. Tidak ada yang tahu pasti kenapa pabrik ini tutup. Tapi, menurut angin, tempat ini berhenti beroperasi karena banyak karyawan yang meninggal. Lama kelamaan, mungkin seluruh orang di Lampung takut untuk melamar pekerjaan di pabrik ini.
Tetanggaku yang bernama Kimas Nakaya, usianya waktu itu 20 tahun. Dia pernah bercerita. Pada saat kami duduk-duduk di pinggir jalan sembari bermain gitar, dia menceritakan kisah seramnya ketika mendorong motornya yang kehabisan bensin.Â
Letaknya  tak jauh dari pabrik itu. Dia harus melewati pabrik pada pukul setengah dua malam karena tidak ada pilihan. Semua penjual bensin sudah tutup dan untuk menuju rumahnya mesti melalui jalan itu. Kalau tidak, dia mesti berputar arah dan jaraknya lima x lebih jauh.
Kata Kimas, saat dia tiba di depan pagar pabrik, gangguan pertama yang didapat adalah sentuhan di kedua telinganya dan bau anyir. Saat itu, angin memang bertiup kencang sehingga alang-alang di halaman pabrik berayun-ayun.
Kimas bilang, usai merasa telinganya ada yang menyentuh, gangguan yang kedua adalah panggilan. Dia mengaku, panggilannya mengajak untuk masuk ke dalam pabrik. Panggilan itu terdengar jelas.
"Sssttt. Heerrr. Sini. Masuk ke sini. Istirahat dulu."
Kimas melihat suasana pabrik begitu mengerikan. Tak ada satu orang pun di sana. Ditambah, cat pabrik yang sudah mengelupas dan beberapa gedung yang sudah tidak lagi beratap, menandakan tidak pernah mendapat sentuhan dari manusia. Selain itu, Kimas pun tahu kalau tempat itu memang angker.
Kimas mencoba berlari. Tapi, dia tidak bisa ke mana-mana. Dia hanya berjalan di tempat. Selain itu, kepalanya hanya bisa menengok ke jendela yang tidak berkaca di gedung pertama. Gedung itu berada sepuluh meter di belakang pos satpam. Kata Kimas, pada awal melihat ke arah jendela, tidak ada keanehan atau penampakkan apapun. Kecuali, isi di dalam gedung yang gelap dan banyak sawang serta tumpukan meja juga kursi.
Pabrik ini memang berada di jalan bypass. Banyak mobil yang berlalulalang. Baik itu motor, minubus, sedan serta fuso dan tronton. Tapi, malam itu tidak ada kendaraan sama sekali. Kata Kimas, hanya ada kunang-kunang. Itu pun di balik pagar yang berkarat dan hitam serta terdapat ukiran-ukiran.
"Duar. Klontang Klonteng Teng Teng Teng." Suara benda jatuh terdengar dari  balik jendela yang sedari tadi menjadi pemandangan Kimas. Tak ada penampakkan apa pun selama setengah menit. Namun, Kimas pingsan ketika melihat wajah berambut panjang yang matanya keluar dan bibirnya belah mengucurkan darah dan lidahnya selalu menjulur. Giginya pun seperti taring babi.
Aku ingin sekali menceritakan kisah ini kepada Ikhsan. Aku ingin menceritakan kalau Kimas, teman satu kampungku itu pulang ke rumah diantar oleh supir truk. Supir truk yang kebetulan lewat itu langsung menghentikan laju kendaraannya. Ketika fajar baru mengembang, dia dan kawannya langsung menggotong kimas ke dalam mobil. Sedangkan motornya masuk di bagian belakang. Setelah Kimas di atas kursi, sang sopir memberikan dompetnya. Beruntung malam itu Dompetnya Kimas tidak raib karena maling. Dari KTP yang berada di dompet itulah sang supir mendapat informasi di mana rumah Kimas.
Sayang, aku terlalu merasa tidak enak kepada Ikhsan. Aku akan menjadi orang yang merasa paling bersalah jika Sabtu besok dia tidak mendapat tanda tangan sebab tak melalukan penelitian. Tapi, walau aku sudah menemaninya pun, tetap saja takdir berkata lain. Malam itu kami mengalami peristiwa yang tidak biasa.
Kami melewati alang-alang yang tingginya nyaris sekepala. Perlahan-lahan, langkahnya yang semula pelan menjadi agak lebih cepat. Di sekitar alang-alang, terdapat banyak beling dan botol-botol bekas. Terlihat juga dari selah-selah alang-alang bagaimana gedung ini masih berdiri. Rata-rata gentingnya sudah tidak ada. Di bagian atap yang tak bergenting terlihat ada dua burung. Sepertinya, warna burung itu hitam tanpa corak sama sekali. Ketika aku memandang ke arahnya, perlahan-lahan burung itu menatapku. Selain itu, ada satu pohon yang sudah mati atau mengering. Tapi, salah satu batang pohon itu berayun-ayun.
"Heaak. Heakkk." Burung itu bersuara sembari mengepakkan sayapnya. Aku dan Ikhsan mempercepat langkah menuju gedung belakang.
Sebelum mencapai gedung dan kira-kira jaraknya sepuluh meter, kami berdua tersandung. Saat kami belum berdiri, terdengar suara drum bergeser. Bulu halus di lenganku berdiri. Ikhsan tahu hal itu. Sebelum aku mengatakan sesuatu, dia lebih dulu mengungkapkan keinginannya.
"Tolong aku malam ini saja," katanya berbisik dan geregetan sembari menatapku.
Aku tidak mungkin menolak kemauannya atau meninggalkannya sehingga melakukan penelitian sendiri. Ketika aku tidak memiliki uang untuk makan, dialah orang yang kerap membelikanku nasi uduk dan air mineral. Karena kebaikannya yang tidak sekali dua kali, aku menjadi fokus menerima materi dari dosen. Karena itulah aku meraih tangannya untuk membantunya berdiri.
Saat kami mulai mendekati pintu masuk, terlihat di pintu toilet yang berjarak lima meter dari gedung penelitian--- di sana, seperti ada yang berjalan. Tapi, karena penerangan hanya dari senter kami berdua, maka tak jelas siapa yang berjalan. Kejadian itu pun berlalu begitu cepat.
"Apa kamu melihat ada yang berjalan di toilet?" Tanyaku kepada Ikhsan.
"Sudah, jangan memedulikan apapun. Aku juga ingin cepat-cepat pulang," ujarnya seraya menggenggam gagang pintu.
Cekrek. Suara kunci yang berhasil dibuka. Derit suara pintu pun terdengar. Perlahan-lahan suasana yang gelap dan pengap terasa dan terlihat.
Wess. Sayup-sayup angin terasa jelas sekali di depan pintu. Aku merapikan rambut yang tersentuh gerak angin. Tapi, Ikhsan masih berkekeh untuk melanjutkan penelitian. Dia melangkah masuh ke ruangan. Sedangkan aku, sungguh tidak mungkin meninggalkannya atau diam saja di sini. Aku ingat betul bagaimana keadaan di luar. Belum lagi, dari pintu ruang ini, terlihat jelas pintu toilet karena arahnya yang berlawanan.
"To. Anto. Mana tanganmu? Jangan jauh-jauh dariku," kata Ikhsan.
"Ini San," jawabku sembari memegang tangan kirinya. Â
Aku mengarahkan lampu senter ke segala arah. Pikiranku benar-benar kacau. Sungguh tidak bisa dikendalikan. Aku merasa, di sebelah kiri, ada yang memandang kehadiran kami. Di langit-langit, ada banyak orang yang melambai-lambai ke arah kami. Sekejap lampu senterku seperti menemukan sesuatu. Namun, Ikhsan membentakku.
"Wih, apa yang kamu lakukan, To! Jangan menyorot ke mana-mana. Cukup ke arah jalan kita saja," katanya. Tapi, aku tidak menjawab apapun. Langsung saja aku mengarahkan lampu senter ke arah depan. Ketika itu juga aku melihat bayang rambut di dinding. Seperti ada sosok di belakang kami. Rambut itu bergerak mengikuti langkah sang pemilik. Geraknya pun anteng sekali.
Belum sempat aku menyatakan sesuatu kepada Ikhsan, dia menghentikan langkahnya. Terdengar ayat-ayat suci dari suaranya.
"Kenapa, San?" Tanyaku. Tapi, tidak berani melihat ke depan.
Tidak ada jawaban darinya. Aku merasakan tangannya yang kuat mencengkeram tanganku. Sedangkan aku begitu penasaran sehingga berjalan ke sampingnya dan menyorot ke arah depan.
"Astaghfirullah," teriakku karena melihat lemari yang bergerak. Di dalamnya, seperti ada sesuatu yang ingin sekali keluar.
Aku tidak mau ketinggalan dan pingsan sendiri di sini. Meski tidak sekencang Ikhsan, aku juga menyuarakan batin yang takut melalui ayat-ayat kitab suci. Tapi, dari arah langit-langit, terdengar suara lelaki mengikuti bacaan-bacaan ayat kami. Suaranya serak.
Ikhsan pun menambah volume suaranya. Namun, gangguan bertambah. Dari arah belakang, suara perempuan tertawa terdengar jelas sekali. Seketika itu juga Ikhsan menyuruhku untuk tenang. Lalu menuntunku untuk maju perlahan-lahan.
"Apa kamu gila?" tanyaku.
"Kita tidak mungkin bisa lari dari sini," jawabnya.
Baru saja Ikhsan menyelesaikan kata-kata itu, terdengar suara pintu terbanting. Aku pun berteriak. Lalu, aku memandang wajah Ikhsan. Tak ada sekata pun yang terdengar dari suaranya. Tahulah kami kalau pintu ada yang menutup. Tapi, siapa? Tak ada yang berjaga malam. Aku yakin sekali kalau di sini hanya ada kami berdua.
Sayup-sayup angin datang dari arah lemari. Seketika itu juga keluar asap dari dalamnya. Tapi, betapa aku terkejut menyaksikan keberanian Ikhsan.
"Siapa di sana? Jangan main-main dengan kami. Kami di sini bukan untuk bermain-main. Kedatangan kami hanya sebentar saja," ujarnya entah kepada siapa. Tapi, langkahnya tetap melaju ke arah lemari.
"Kamu bicara dengan siapa?" Tanyaku sembari masih menggenggam tangannya dan berjalan di sampingnya.
"Kamu berdoa saja, To. Kita harus percaya. Tidak akan terjadi apapun dengan kita," jawabnya. Tapi, pandanganya fokus ke arah lemari.
Belum sempat Ikhsan membuka pintu lemari yang sedari tadi bergetar, pintunya pun terbuka. Waktunya tak sampai satu detik. Sungguh seperti ada yang mendobrak. Saat itu juga dan detik itu juga aku tak tahu berada di mana.
Aku berada di dalam ruangan dan masih bersama Ikhsan. Tapi, aku merasa kalau kami tidak berada dalam dunia manusia. Melainkan dalam dunia yang lain.
Tempat kami berada setelah pintu lemari terbuka adalah di dalam ruang. Tapi, suasananya malam hari.
Di sini, ada banyak orang yang menggunakan pakaian industri. Kepala orang-orang itu menggunakan pembungkus yang terbuat dari plastik. Mereka semua menggunakan sepatu boot. Tangannya bersarung. Mereka semua sibuk mengemas bahan-bahan yang berbentuk serbuk. Tapi, ada juga yang mengemas bungkusan ke dalam kardus. Bungkusan itu seperti minuman seduh sachet.
Aneh sekali dan aku sangat yakin. Saat itu, kami berada di dunia lain. Aku dan Ikhsan hanya saling berpandangan. Tak ada kata yang keluar dari mulut kami karena memang tidak bisa.Â
Begitu pun dengan pegawai pabrik. Ya. Aku yakin mereka semua karyawan pabrik. Tapi, apakah mereka karyawan pabrik ini? Entahlah. Mereka semua tidak sama sekali memerdulikan kehadiran kami. Malah, mereka asyik saja bekerja. Aku yakin. Mereka tidak melihat kehadiran aku dan Ikhsan.
Kami berjalan ke arah orang-orang yang bertugas mengambil pembungkus serbuk. Mereka tepat berada di depan mesin. Mesin itu seperti ekskalator. Bedanya, kalau ekskalator di dalam mall adalah tangga. Kalau mesin itu bentuknya datar.
Beberapa menit kami di sana, tiga orang yang sama sekali tidak mengobrol karena menggunakan pelindung wajah masih fokus bekerja. Namun, kira-kira tiga menit, salah satu dari mereka terkapar. Dari mulutnya mengucur darah merah yang kental.
Salah satu kawannya ingin menolong. Namun, saat tangan kanannya baru menyentuh pundak orang yang tergeletak itu, dia juga jatuh. Dari hidungnya mengucur darah.
Kawan satunya bergegas membuka penutup kepala setelah melihat kedua temannya tergeletak. Tapi, dia terjatuh saat berlari ke arah kawan-kawannya yang lain, yang sedang mengemas kardus. Wajahnya terbakar karena ketumpahan serbuk yang menurutku berasal dari bahan kimia berbahaya. Dari situ, tidak ada satupun orang pabrik yang berani menyentuh selama kurang lebih setengah jam. Aku dan Ikhsan pun hanya diam.
Sekadar informasi. Tempat pengambilan bungkus sachet dan pengemasan kardus berjarak sepuluh meter. Tempatnya terhalang oleh mesin-mesin berukuran besar. Sehingga, wajar jika salah satu dari tiga orang yang mati itu berlari untuk meminta bantuan. Tapi, yang tidak wajar adalah kematian orang itu. Namun, kami di dunia ini tidak berlangsung lama.
Secara tiba-tiba pula kami tersadar. Di depan kami sudah ada dua pocong. Bola matanya sangat hitam. Lingkaran di sekitar matanya bulat dan merah sekali seperti darah. Pocong itu berkain kavan lusuh dan terlihat bercak tanah. Wajahnya sangat putih sekali. Sehingga matanya yang hitam, lingkaran di pinggir matanya yang merah dan bibirnya yang merah amat jelas terlihat.
Dua pocong itu melompat-lompat ke arah kami. Cepat sekali lompatnya. Namun, kami tidak menyerah atau pasrah. Ikhsan menuntunku untuk mundur selangkah demi selangkah. Tapi, dari arah atap terdengar suara perempuan tertawa cekikikan. Dan, saat kami mundur dua langkah, betapa aku kaget karena sangat terasa sekali ada yang menghalangi kami. Bulu-bulu tebal terasa di tanganku. Aku tidak berani menoleh.
Aku memandang ke arah Ikhsan. Tidak ada kata dariku karena sungguh kaki sudah bergetar.
Ikhsan pun hanya memandangku. Tak sepatah kata terucap. Dua pocong itu melompat ke arah kami. Semeter lagi mereka sampai tepat di mata kami. Mereka terus melompat. Setengah meter lagi mereka tepat berada di depan kami.
"Seerr. Heerrr. Arggh," terdengar suara itu saat tepat mereka di depan kami.
Tidak ada lagi yang bisa kuingat selain kami sudah di ruang rumah sakit. Kata ibuku dan ibunya Ikhsan, kami bisa sampai di sini karena dua orang satpam yang mengaku bekerja di pabrik. Tapi, mereka berdua sudah kembali bekerja setelah ibuku dan ibunya Ikhsan kembali.
Aku melihat Ikhsan masih tertidur. Ibuku mengatakan, satpam itu bertempat tinggal di jalan Way Rarem Nomor 11. Kalau perlu bantuan, silahkan datang saja ke rumahnya.
"Kasian sekali kawanku Ikhsan ini. Dia sudah berjuang sampai pingsan. Tapi, mesti menunda kelulusan karena Sabtu itu sang dosen sudah pergi ke luar negeri. Tanda tangannya tak ia dapat karena kami terbaring di rumah sakit."
"Ikhsan pun lulus. Ia berhasil menyelesaikan penelitiannya. Dia pun berhasil menciptakan metode baru untuk merobohkan gedung tua yang puluhan tahun tidak terpakai. Namun, waktu itu dan setelah kejadian bersamaku, dia tidak berani meneliti gedung itu saat malam hari. Penelitiannya pada siang hari dan ditemani dua orang satpam dan satu orang pintar. Ikhsan mengaku, membutuhkan biaya jutaan rupiah untuk menyelesaikan skripsinya hingga menjadi salah satu sarjana terbaik di Universitas kami."
2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H