Mohon tunggu...
Moh Alfan Sholihin
Moh Alfan Sholihin Mohon Tunggu... Lainnya - Life is your choice

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agama dan Ilmu Pengetahuan

25 Desember 2021   18:07 Diperbarui: 25 Desember 2021   18:07 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Moh. Alfan Sholihin

Terdapat 2 tipe orang di dunia: mereka yang yakin kalau agama serta sains berlawanan, serta mereka yang berpikir tidak bisa jadi mempunyai yang satu tanpa yang lain. 

Posting ini hendak melaporkan kalau Kamu tidak wajib memilah di antara 2 bidang pengetahuan ini, sebab keduanya bisa hidup berdampingan. 

Walaupun ini bisa jadi nampak semacam ilham radikal, sesungguhnya lumayan simpel: Agama didefinisikan oleh iman, sebaliknya sains objektif serta bersumber pada fakta.

Kita wajib mulai dengan mendefinisikan apa itu sains serta apa yang bukan. Sains merupakan pencarian terorganisir buat uraian fenomena alam lewat penyelidikan empiris. Sains tidaklah iman ataupun keyakinan pada suatu sebab Kamu menginginkannya jadi realitas.

Jadi kenapa banyak orang berpikir kalau keduanya berlawanan? Itu berasal dari gagasan kalau bila Tuhan menghasilkan dunia, kemudian gimana kita dapat mengetahuinya? Terdapat bermacam ilham tentang gimana agama serta sains terpaut, semacam Agama serta sains ditentang sebab mereka mendekati pengetahuan dari titik dini yang berbeda.

Uraian materialis ini melaporkan kalau bila Kamu menarangkan dunia secara ilmiah, hingga Kamu sudah menyangkal Tuhan. Tetapi, bila Kamu yakin pada Tuhan, hingga Kamu wajib membagikan uraian yang lebih baik. 

Paradigma ini tidak masuk ide, sebab seluruhnya melingkar: dia mengasumsikan kalau uraian yang kita buat wajib lebih baik daripada Tuhan sebab kita mengklaim kalau mereka lebih baik.

Banyak yang memiliki komentar kalau agama serta ilmu pengetahuan itu silih berlawanan. Apalagi terdapat oknum yang hingga ekstrem melaksanakan pentengan. Tetapi hakikatnya perihal itu merupakan suatu kelaziman untuk tiap orang. 

Bagi penelitin yang diterbitkan di Harian PLOS ONE. Para ilmuan melaksanakan riset secara mendalam kenapa seorang memakai analitis, yang memiliki asosiasi ke sains, seta alibi moralitas, yang erat kaitannya dengan keimanan ataupun agama. Berikut fakta- fakta pertentangan bagi riset para ilmuan, ialah:

Otak meliki 2 jaringan yang sifarnya bertentangan

Daru suatu riset, bisa ditujuksn kalau otak mempunyai jaringan analitis yang digunakan buat berfikir kritis, dan seuah jaringan sosial yang menjadikan otak kita dapat lebih berempati serta lebih tertarik ke alibi moral dibanding penalaran. Bagi periset, kedua jaringan ini bertentangan, sebab masing- masing orang hendak mempunyai salah satu jaringan yang lebih aktif dibanding yang lain.

Pengalaman merupakan yang memastikan Kamu terletak di pihak mana

Bagi periset, berlawanannya kedua jaringan ini sangat erat kaitannya dengan pengalaman seorang. Bila seorang lebih banyak hadapi pengalaman yang erat dengan keimanan ataupun supranatural, secara otomatis otak hendak memencet kinerja jaringan analitis, sehingga otak kita tidak hendak berpikir kritis. 

Perihal ini menarangkan kenapa orang yang yakin agama, tidak sangat tertarik terhadap sains serta hal- hal yang para ilmuwan coba buat dinalarkan.

Bagi filsuf, kebenaran memanglah terdapat 2. Jadi, tidak terdapat yang salah

Temuan ini senada dengan pemikiran seseorang filosofis asal Jerman ialah Immanuel Kant. Kant menyangka terdapat 2 kebenaran, ialah kebenaran empiris serta kebenaran secara moral.

" Kant membedakan antara alibi teoritis yang berhubungan dengan sais, dan alibi instan yang berhubungan dengan moral," ungkap Dokter. Tony Jack, kepala periset sekalian Prof filosofi serta neuroscience." Kant menampilkan kalau 2 jenis pemikiran ini bisa silih berlawanan, serta perihal ini merupakan perihal yang sama dengan yang kita dapat amati di otak kita. Sehingga, konflik ini berakar dari otak kita sendiri," imbuhnya.

Jadi, konflik ini sesungguhnya tidak betul- betul nyata, tetapi lebih sebab otak kita membingkai konteks sampai memiliki perbandingan yang lumayan mendasar untuk orang lain. Bila kita menganut dengan teguh apa yang kita yakin, pasti tidak butuh menyalahkan pemikiran orang lain, serta orang lain pula tidak berhak berkata pemikiran kita salah.

Masing- masing orang cenderung hendak memilah satu pemikiran daripada yang lain- sains ataupun agama, agama ataupun sains!

Disebabkan 2 komponen otak yang silih memencet ini, tiap orang hendak memilah satu pemikiran daripada yang lain. Jadi hendak terdapat 2 jenis orang, ialah yang yakin sains dengan seluruh suatu yang bisa dinalar, ataupun yang yakin keimanan. Perihal inilah yang merangsang konflik antara sains serta agama.

Metodologi riset yang dicoba Prof Jack serta regu merupakan membuat 8 kali eksperimen dengan mengaitkan 527 orang berusia. Dalam eksperimen awal, partisipan diharuskan buat mengisi kuisioner yang bisa mengukur tingkatan pemikiran kritis serta mekanikal, yang keduanya mengukur tingkatan pemikiran nalar secara analitis.

Hasil dari kuisioner ini sangat akurat, di mana seorang yang yakin terhadap keimanan serta agama, mereka lebih berpikir secara moral dibanding analitis.

Tetapi perihal ini tidak menampilkan kalau metode berpikir yang satu lebih baik daripada yang lain. Metode berpikir seorang timbul bersumber pada permasalahan tertentu yang dialami oleh seorang.

Konflik agama serta sains di abad modern terjalin pada sebagian ranah, di antara daerah konflik itu antara lain; dalam kosmologi ialah pertentangan tentang asal usul pertumbuhan alam semesta. Setelah itu pada ranah medic, semacam perkara aborsi, KB, gays, seksualitas serta lesbian, serta pula terjalin konflik pada ranah religious practices, religious events. 

Sehingga berujung pada ukuran konflik berkaitan tentang kesatuan tuhan, kriteria kebenaran serta hingga pada perkara siapa yang mengendalikan alam. Kerapkali benturan antara agama( moralitas) dengan sains yang seakan leluasa dari nilai- nilai moralitas kemanusiaan. Kala mendengar kata" sains" dan" agama", dan merta kita berpikir hendak sejarah jalinan seru di antara keduanya. 

Tetapi catatan sejarah perjumpaan agama serta sains tidak cuma berbentuk pertentangan belaka( conflict), hendak namun secara konstruktif sains serta agama sanggup jadi kekuatan yang sangat luar biasa. Pada peluang ini kita mencoba mengurai 4 trik bagi Haught( 2004: 1) yang khas dalam jalinan sains serta agama, ialah:

Pendekatan Konflik

Sesuatu kepercayaan kalau pada dasarnya sains serta agama tidak sanggup dirujukkan. Sebab utama meraka jika agama jelas- jelas tidak sanggup memverifikasi kebenaran ajaran- ajarannya dengan tegas, pada tentang sains mampu melangsungkannya. Agama berusaha bertabiat diam- diam serta tidak ingin berikan petunjuk fakta konkret tentang keberadaan tuhan. 

Di pihak lain, sains ingin menguji seluruh hipotesis serta seluruh teorinya menurut" pengelaman". 

Agama tidak dapat menerapkan perihal tersebut dengan metode yang dapat memuaskan pihak yang netral, klaim kalangan skeptic; sebab itu, mesta terdapat sesuatu" pertentangan" antara cara- cara uraian ilmiah serta uraian keagamaan. 

Dalam catatan sejarah ataupun pertimbangan- pertimbangan filosofis, keduanya terlihat menguatkan keputusan yang serbakabur. 

Dari segi sejarah, kita butuh ingat kembali beberap contoh yang sangat jelas: penyiksaan oleh Gereja terhadap Galileo pada abad ke- 17 serta tersebarnya agama dan teologi yang antiteori evolusi Darwin pada abad ke- 19 serta 20. 

Lambatnya pemikiran keagamaan( teologi) menerima gagasan ilmiah serupa itu, serta fakta jika banyak orang yang beriman kepada Tuhan masih membenci mereka, berikan kesan kalau agama tidak perna dapat akur dengan sains. Pendekatan Kontras Sesuatu statment jika tidak terselip pertentangan yang serius sebab agama serta sains berikan asumsi terhadap perkara yang sangat berbeda. 

Di lain pihak, banyak ilmuan serta teologi tidak menciptakan terdapatnya pertentangan antara agama serta sains. Bagi mereka masing- masingnya yaitu abash( valid) walaupun cuma dalam batasan ruang lingkup penyelidikan mereka sendiri yang telah jelas. 

Kita tidak boleh memperhitungkan agama dengan tolak ukur sains, pula tidak boleh kebalikannya. Karna permasalahan yang diajukan oleh masing- masing sangatlah berbeda.

Bagi pendekatan ini, kesan kalau agama berkonflik dengan sains hamper selalu berurat sumber dalam suatu kebimbangan terdahulu, ataupun" peleburan" antara sains dengan satu sistem perecayaan religious maupun keyakinan sekuler. 

Hingga buat menjauhi konflik, pendekatan  kontraspun menandaskan kalau kita wajib terlebih dulu menghindari percampurbauran sains serta keimanan sehingga menciptakan suatu yang serba kabur. 

Ketidak mampuan teologi pada abad pertengahan buat membeda- bedakan secara jelas agama dari sainslah yang membuat pemikiran- pemikiran Galileo terlihat semacam bermusuhan di mata orang- orang beriman pada abad ke- 17. 

Kegagalan Gereja buat mengakui ranah- ranah sains serta agama yang terpisah sudah berdampak para penguasa gereja itu mengutuk pemikiran baru Galileo, seakan- akan pemikiran itu ialah pelanggaran kedalam tapal batasan ranah sendiri.

Pendekatan Kontak

Sesuatu pendekatan yang mengupayakan diskusi, interaksi, serta mungkin adanya "penyesuaian" antara sains serta agama, serta paling utama mengupayakan cara- cara bagaimana sains turut pengaruhi uraian religius serta teologis. 

Trik menghubungkan agama dengan sains, dalam pendekatan ini tidak rela membiarkan dunia ini terpila- pila jadi dua ranah yang diresmikan oleh kubuh pendekatan kontras. 

Tetapi, ia pula tidak ingin kembali lagi ke hrmoni yang dangkat. Dalam pendekatan peleburan. Pendekatan ini sepakat bahwa sains serta agama jelas berbeda secara logis serta linguistic, namun ia ketahui kalau, dalam dunia nyata, mereka tidak dapat di kotak- kotakkan dengan absolut, sebagaimana diandaikan olehkubuh pendekatan kontras.

Pendekatan kontak mengemukakan kalau pengatahuan ilmia bisa memperluas cakrawala kepercayaan relegius serta kalau perspektif kepercayaan relegius bisa memperdalam uraian kita tentang alam semesta. 

Ia tidak berupaya meyakinkan keberadaan tuhan bersumber pada sains, namun telah merasa puas jika menafsirkan penemuan- penemuan ilmia di dalam karangka arti keagamaan. 

Ia tidak berupaya menopang ajaran- ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep- konsep ilmia yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara lansung kepada seseorang deseiner ilahi. Telah tidak masanya lagi gagasan ilmia dapat di pergunakan buat memperuat alasan untuk eksistensi tuhan.

Pendekatan Konfirmasi

Sesuatu perspektif yang lebih tenang, namun sangat berarti; perspektif ini menyoroti cara- cara agama, pada tataran yang mendalam, mengundang serta menghidupkan segala aktivitas ilmiah. Dialog kita tentang sains serta agama hendak sangat produktif bila di perkenankan tetap pada sesi pendekatan pada kontak tadi; namun secara individu aku lebih suka untuk melangka lebih jauh lagi. 

Aku menghargai seluruh upaya buat menciptakan kecocokan antara sains serta agama, namun aku membayangkan suatu kedekatan yang apalagi lebih erat lagi antara agama serta sains dibanding yang di akui secara eksplisit oleh salah satu tiga pendekatan awal. 

Di mari aku menganjurkan, pula dalam segala novel ini, kalau agama, dengan sesuatu metode yang sangat mendalam, menunjang segala upaya aktivitas ilmia. 

Pasti, agama tidak boleh di gunakan buat menguatkan cara- cara beresiko di dalamnya pengatahuan ilmiah kerap kali di terapkan dalam realitas. Usul aku bahwa agama pada dasarnya menguatkan kerinduan simpel hendak pengatahuan. Agama menguatkan dorongan yang dapat menimbulkan sains. 

Aku menyebut pendekatan ke empatini" komfirmasi" sebutan ini sejajar dengan" menguatkan" ataupun" menunjang" sebab diaberkata kalau agama, jika di murnikan secara hati- hati dari implikasi- implikasi yang menyesatkan, dapat menunjang seluruhnya serta apalagi melandasi upaya ilmia dalam berikan arti kepada alam semesta ini.

Setelah itu di sisi lian ruang buat reintegrasi epistemologi keilmuan universal( science) serta agama memiliki makna perlunya diskusi serta kerja sama antar disiplin ilmu universal dan agama yang lebih erat pada masa yang hendak tiba. Interkoneksitas serta sensitivitas ilmu sains serta agama butuh diupayakan secara terus menerus( Amin, dalam Abidin Baqir dkk, 2005: 261). 

Sebab sepanjang ini kerapkali antara sains serta agama berjalan tiap- tiap, sehingga dengan keadaan semacam ini, hingga agama memandang sains dengan pendekatan khas teologi, tanpa menguasai ranah kerja sains. 

Belum lagi kedudukan politik serta otoritas elit agama dengan gampang mengkalim salah serta benar. Sebab kerapkali uraian terhadap sainslah yang salah, yang salah bukan sains semata, melainkan konsepsi menimpa sains itu sendiri( Smith, terj., Ary Budiyanto, 2003: 28). 

Setelah itu kompleksnya problem yang dialami dalam perihal kedekatan sains serta agama dalam catatan sejarah paling utama abad pertengahan, malah diwarnai oleh perkara politik, ekonomi serta elite agama( Gereja) semacam contah permasalahan Galileo serta bermacam ilmuanlainnya, Martin Luther yang mengancam perilaku politisasi- ekonomi gereja yang menerbitkan surat pengampunan dosa. Sehingga di akhir makalah ini dari bermacam catatan sejarah muncul persoalan apakah benar konflik yang sebetulnya merupakan konflik sains serta agama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun