"Oh iya lupa, Â cuma kamu perempuan yang nggak nyari pasangan kaya. Â Hehe." Balas Mas tertawa sambil mengelus kepalaku lembut.
"Makanya Mbak Atiq dulu pernah menyukaimu karena Mas arsitek, punya pekerjaan dan penghasilan mapan, kan, " tanyaku memancing rasa penasaran.Â
"Mungkin saja. Tapi sayangnya aku tahu mana perempuan yang menyukai karena cinta dan karena harta. Hehe,"kata Mas tertawa ringan. "Prano dulu saat kuliah hidupnya sederhana banget, kadang sehari bisa nggak makan, karena beasiswa telat. Soal pernikahan, katanya dulu ingin menikah yang sederhana saja. Jauh berbeda dengan Mbak Atiq yang sebenarnya menerima apapun keadaan Prano, tapi soal prinsip pernikahan ingin dirayakan dengan mengundang tamu banyak orang."
Mas menghela napas berat, "Beda prinsip soal pernikahan itulah yang mungkin jadi alasan untuk berpisah,"
"Hm." gumanku pendek. Â Menurut istilah agama yang pernah kudengar namanya tak sekufu atau sederajat, dan berpisah memang jalan terbaik agar saling menemukan rumah yang tepat.Â
**
"Tanggal 2 Januari datanglah ke rumah. Ucapin selamat gitu udah jadi istri orang. Wkwk,"
Lagi-lagi pesan dari Mbak atiq tak sengaja kubaca. Â Namun kali ini sepertinya kabar gembira karena tahun baru akhirnya punya rumah yang selalu dinantikan.Â
Sebenarnya aku tak pernah tahu lagi kabar Mbak Atiq, sejak awal Desember lalu saling bercerita akhir kisah cinta Prano dan Mbak Atiq yang kandas gegara tak sejalan soal prinsip pernikahan. Prano ingin hidup sederhana saja, Â mengikuti garis takdir dan nasib sesuai kemampuannya, Â sedangkan Mbak Atiq ingin menempuh jalur menanjak agar jadi orang yang punya penghasilan mapan.Â
"Mbak Atiq jadi menikah sama temenmu, Mas?" tanyaku kepada Mas yang sedang sibuk di depan komputer. Â
Mas menoleh kepadaku, "ya begitulah. Katanya cuma mau tunangan dulu, eh ternyata nikahan sekalian."