Aku mengecek kembali HP milikku.
Ada sebuah pesan masuk ke dalamnya. Saat mengetahui siapa pengirimnya aku tak lagi mempedulikannya. Sudah beberapa hari ini, dia mengirimkan pesan yang sama tapi tak pernah kubalas. Membiarkannya saja berada di inboxku tanpa ada sedikit niat untuk membukanya. Entah itu pesan penting atau tidak, aku tak lagi peduli.
“Hei, bro.”
Aswan datang dan menyalamiku.
“Loe mau ikutan jalan ke Museum nggak waktu long weekend besok?” ajaknya.
“Sama siapa aja?”
Aswan kemudian menyebutkan empat nama yang tak asing bagiku. Aku kemudian sejenak berpikir, mengingat-ingat apakah ada janji di weekend ini. Setalah kukira tidak ada, aku mengiyakan tawaran darinya.
“Okey, jam 8 pas kita kumpul depan kantor ya…”
***
Keesokan harinya.
Aku sudah bersiap sejak pagi. Mandi pukul tujuh, sarapan sebentar di warung sebelah kosku, dan berangkat ke kantor pukul setengah delapan. Aku memarkirkan motorku di depan kantor kami. Aku melihat banyak orang-orang sedang melakukan jogging di kawasan kantor kami yang cukup asri ini. Kadang aku melakukan hal yang sama ketika badanku merasa pegal. Aku segera mengambil sepatu lariku dan mengitari jalanan depan kantor sekitar 2 putaran – itupun aku sudah ngos-ngosan.
Aku melihat jam di HP ku. Waktu menunjukkan pukul 7.45 menit.
Tak ada satupun orang yang disebutkan Aswan menunjukkan batang hidungnya. Aku kemudian lantas asyik membaca komik melalui HP ku atau sekedar memainkan game yang terinstall di sana.
Tiga puluh menit berlalu… tak ada tanda kehadiran mereka. Aku pun meneruskan kegiatan isengku.
Satu jam berlalu…
Satu orang terlihat datang. Cengengesan, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun telah menyalahi waktu.
“Yang lain belum datang?” katanya
Aku menjawab, belum dengan pelan.
“Wah untung, aku datangnya jam segini. Kalo nggak aku menunggu lama tadi.” Katanya tersenyum seolah bangga dengan apa yang dilakukannya.
Beberapa menit kemudian, satu persatu muncul, dengan reaksi yang sama, cengengesan tanpa ada wajah bersalah. Hanya bilang. ‘Maaf ketiduran… Maaf sarapan dulu… Maaf lupa..’ Selalu seperti itu. Dan kami baru berangkat pukul sepuluh, yang berarti sudah mundur 2 jam dari jadwal yang semula.
Aku tahu… Ya… aku tahu dengan benar, watak teman-temanku itu. Mereka akan selalu datang jauh lebih lama dari waktu yang telah ditentukan. Aku sudah terbiasa dengan itu semua. Tapi aku tetap akan datang tepat waktu, memenuhi janjiku.
Mungkin mereka menganggap itu hal yang sepele, nyatanya itu tidak. Kebiasaan tidak tepat waktu ini sudah membudaya dan mendarah daging. Ketika deadline pekerjaan yang seharusnya besok, mereka masih bersantai-santai dan baru mengumpulkan pekerjaan dua, tiga atau seminggu setelah deadline. Dan mereka cengengesan, ber-haha hihi tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Tanpa menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sudah menghambat kinerja organisasi.
Nampaknya masalah janji adalah hal yang terlupa di negara ini. Hal yang kecil saja, menepati waktu, itupun tidak bisa dilakukan oleh mayoritas orang di negara ini. Pernah aku mengurus KTP di kelurahanku.
Mereka mengatakan, “Bisa diambil, sebulan lagi Mas.”
Sebulan kemudian aku datang untuk mengambil KTP ku dan mereka mengatakan, “Wah belum jadi, Mas. Blangkonya habis. Bulan depan datang lagi ya.”
Akupun menghela nafasku dan pergi meninggalkan kantor kelurahan dengan berberat hati. Bulan depannya aku datang, dan menerima jawaban yang tidak jauh berbeda. Hanya saja kali itu, aku mendapat jawaban, 6 bulan lagi datang sambil memberiku surat keterangan pengganti KTP. Aku benar-benar bingung karena aku membutuhkan KTP itu untuk sekedar memesan tiket kereta atau pesawat karena kita harus memasukkan nomor identitas di dalamnya. Untungnya aku masih memiliki passport yang selalu kugunakan untuk bisa bepergian dengan moda kendaraan apapun.
Belum lagi janji-janji yang lebih besar, seperti sumpah jabatan, untuk tidak melakukan korupsi. Hanya dianggap sebagai angin lalu oleh sebagian petinggi negara ini. Di mana mereka melupakan janji untuk menyejaterahkan rakyat dan akhirnya memasuki bui lantaran terjerat kasus korupsi.
Ah sudahlah…
Apalah kuasaku mengubah kebiasaan orang-orang di negaraku. Aku hanyalah seorang pemuda biasa yang kadang suka menulis fiksi seadanya.
***
Sebuah nomor yang kukenal menghubungiku kembali…
Sudah sekian kali ia meneleponku hari ini, dan aku benar-benar tidak berniat menjawabnya. Sebut saja, namanya Ronin. Dia menghubungiku untuk meminjam uang untuk mengobati anaknya yang sakit. Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tapi aku tidak ingin berhubungan dengannya lagi.
Mungkin kalian pikir aku kejam… tega tidak meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan.
Tapi kalian salah…
Sudah beberapa kali ini, ia mengatakan ‘pinjam…. Akan kubayar beberapa bulan kemudian.’
Toh, sampai sekarang tak ada niat sedikitpun darinya untuk membayarnya, sudah hampir dua tahun sepertinya. Aku tidak pernah meminta bunga. Aku tidak pernah memintanya membayar secara langsung. Aku hanya butuh niatan baik darinya, membayar hutangnya sedikit demi sedikit, 20 ribu, 50 ribu ataupun 100 ribu per bulan saja. Itu adalah kewajibannya, melunasi hutang, menepati janji. Tapi tak pernah ada pembicaraan darinya kepadaku, untuk melunasi apa yang sudah dijanjikannya. Ia tetap saja cengengesan ketika bertemu denganku dan mungkin melupakan apa yang telah dijanjikannya. Parahnya dia bisa membeli barang ini itu, tapi tak ada keinginan sedikitpun untuk melunasi hutangnya.
Aku yang meminjami, malah nampak seperti pengemis untuk memintanya mengembalikan apa yang merupakan kewajibannya.
Bukan hanya satu dua kali, aku mengalaminya. Sudah berkali-kali aku meminjami seseorang tapi hasilnya nihil… tak ada yang kembali. Karena itu, ketika aku akan meminjami uang pada seseorang, dalam hati kecilku aku selalu mengatakan ‘kemungkinan uang ini akan kembali adalah 80%. Jika ia benar-benar tidak kembali, kamu harus merelakannya, itu akan menjadi sedekah bagimu.’
Aku memang selalu hati-hati dengan yang namanya hutang.
Anggap saja gaji temanku adalah satu juta per bulan. Jika aku meminjam 500 ribu dan tak mengembalikannya, itu sama artinya aku membiarkan temanku bekerja 15 hari dan tak membayarnya. Jika aku meminjam satu juta dan tak mengembalikannya, itu sama artinya aku membiarkan temanku bekerja 30 hari dan tak membayarnya. Dan aku tidak mau mendzolimi temanku seperti itu.
Sebisa mungkin aku menghindari yang namanya hutang, karena jika aku tidak membayarnya, aku sudah mendzolimi orang lain...
Ah sudahlah…
Apalah kuasaku mengubah kebiasaan orang-orang di negaraku. Aku hanyalah seorang pemuda biasa yang kadang suka menulis fiksi seadanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H