“Kamu mau ikut makan bareng kami nggak ke Rumah Makan Lestari.”
“Oh. Siapa aja yang ikut?” tanyaku dengan nada tak berselera.
Mbak Dwi, lantas menyebutkan beberapa nama, ada enam nama yang disebutkannya.
Aku berpura-pura berpikir sejenak, lantas menjawab, “Nggak deh Mbak. Aku lagi pengen makan gado-gado siang ini.”
“Oh ya udah.”
Aku lantas berjalan meninggalkan ruangan, ‘Males banget, makan di Lestari kan mahal banget. Buang-buang duit aja. Mending aku makan sendirian aja di warteg depan.’
Aku memang tidak suka untuk makan bareng teman-teman kantor. Mereka selalu berisik dan membicarakan hal yang kurang penting. Terlebih lagi, Mahal! Mereka selalu mencari tempat makanan yang wah dan enak buat nongrong. Sayang banget lah, makan sekali bisa dapet empat atau lima kali makan di warteg.
Aku hanya sesekali saja menerima ajakan mereka. Sekedar menghargai perasaan mereka, menjaga hubungan di antara kami. Tapi setiap kali pulang, aku selalu mengomel dalam hati, tentang mahalnya makanan yang barusan kumakan, padahal rasanya nggak se-wah harganya.
‘Nggak bakal ke sana lagi kalo nggak terpaksa.’ kesalku mengenang pengalaman makan bersama kami terakhir kali.
***
Pukul lima sore tepat, aku mengemasi barang-barangku, memasukkannya ke dalam tasku.