Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku yang Rapuh Selalu Membenci yang Lain (Part 1 of 3)

20 Agustus 2016   17:46 Diperbarui: 20 Agustus 2016   18:47 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: furnitureinturkey1.tumblr.com

Part 1

Suara-suara Kecil Itu

Sekelompok anak-anak SMK datang ke kantor kami pagi ini. Rencananya mereka akan melaksanakan magang selama sebulan di kantor kami. Setiap tahun memang kantor kami bisa ada dua atau tiga sekolah yang menitipkan siswanya di kantor kami.

“Selamat pagi Pak.” Sapa seseorang diantara mereka sambil menunduk pelan saat aku berjalan melintas.

“Iya… Pagi.” Sapaku sekenanya.

AKu lantas meninggalkan mereka, menuju mejaku. ‘Berisik sekali mereka’, pikirku. Aku lantas memasang headphone di telingaku, mendengarkan lagu-lagu kesukaanku.

Seseorang di antara mereka lantas duduk beberapa meja jaraknya dari mejaku. Aku mencuri pandang sejenak, lantas melengos sambil memindahkan pandanganku ke arah lain. Semua orang di ruanganku, entah kenapa terlalu baik kepada anak magang itu. Bertanya ini itu, mengenai nama, asal maupun hal yang macam-macam. Beberapa dari mereka juga mengajarinya cara memfotokopi, dan memberikan beberapa berkas untuk ia gandakan.

‘Halah, ngapain coba. Sok akrab banget sama anak baru.’ Pikiran busukku kembali menyelinap.

AKu lantas menggeleng, dan mengucap ‘Astagfirullah’. Aku kembali mencoba fokus kepada berkas kerjaan yang sudah menumpuk di atas mejaku. Di waktu istirahat, ada Bu Jaja, senior di kantor datang membawakan makanan kecil untuk kami seruangan. Teman-teman menawari Rezki, si anak magang itu, mengambilkan piring kecil dan menyisihkan makanan untuknya.

‘Ngapain pake diambilin, kaya anak kecil aja. Cukup ditawarin aja napa.’

Entah kenapa hati ini merasa dengki saat melihat pemandangan itu. Aku mengambil piring kecil, menyisihkan beberapa potong kue dan mengucapkan terima kasih kepada Bu Jaja.

***

Di siang hari, Reno datang ke ruangan kami. Bercerita sesuatu yang garing dengan begitu bersemangat. Beberapa di antara teman ruanganku tertarik pada ceritanya, dan menimpali dengan candaan yang lain.

‘Ini anak ngapain coba kemari. Bukannya kerja malah cerita.’

Reno pun kemudian beranjak menemui atasan-atasan kami, mengingatkan tentang laporan-laporan yang harus disampaikan minggu ini, karena pegawai dari kantor pusat akan datang dan melakukan pemeriksaan. Setelah ia menyampaikan hal  itu, ia iseng mampir ke mejaku.

“Sibuk Bro?”

Aku menjawab pelan, tanpa semangat, “Iya.”

Lantas ia mengangguk pelan dan pergi sambil menepuk pundakku.

‘Ngapain sih nih orang.’ Gumamku sambil memperhatikan wajahnya yang cengengesan ke semua orang.

***

“Her… Heri…” Sapa Mbak Dwi yang ada di seberang meja sana.

“Apa mbak?”

“Kamu mau ikut makan bareng kami nggak ke Rumah Makan Lestari.”

“Oh. Siapa aja yang ikut?” tanyaku dengan nada tak berselera.

Mbak Dwi, lantas menyebutkan beberapa nama, ada enam nama yang disebutkannya.

Aku berpura-pura berpikir sejenak, lantas menjawab, “Nggak deh Mbak. Aku lagi pengen makan gado-gado siang ini.”

“Oh ya udah.”

Aku lantas berjalan meninggalkan ruangan, ‘Males banget, makan di Lestari kan mahal banget. Buang-buang duit aja. Mending aku makan sendirian aja di warteg depan.’

Aku memang tidak suka untuk makan bareng teman-teman kantor. Mereka selalu berisik dan membicarakan hal yang kurang penting. Terlebih lagi, Mahal! Mereka selalu mencari tempat makanan yang wah dan enak buat nongrong. Sayang banget lah, makan sekali bisa dapet empat atau lima kali makan di warteg.

Aku hanya sesekali saja menerima ajakan mereka. Sekedar menghargai perasaan mereka, menjaga hubungan di antara kami. Tapi setiap kali pulang, aku selalu mengomel dalam hati, tentang mahalnya makanan yang barusan kumakan, padahal rasanya nggak se-wah harganya.

‘Nggak bakal ke sana lagi kalo nggak terpaksa.’ kesalku mengenang pengalaman makan bersama kami terakhir kali.

***

Pukul lima sore tepat, aku mengemasi barang-barangku, memasukkannya ke dalam tasku.

Beberapa di antara teman masih sibuk mengobrol, membicarakan makan dimana malam ini. Sedengarku, mereka akan menonton bioskop lalu dilanjutkan makan malam bersama.

‘Nonton streaming di internet bisa, ngapain pake nonton di bioskop.’

Aku kemudian, menyapa mereka, “Pulang duluan.”

Mereka menjawab ‘iya’ secara hampir bersamaan.

Sepanjang perjalanan pulang menuju tempat kosku dengan mengendarai motor matic hitamku, aku menarik nafas panjang. Merasakan kesedihan, dan ketidaktenangan.

Sama…

Seperti hari-hari sebelumnya….

***

Cerbung ini akan ditulis dalam 3 bagian saja.

Bagian kedua akan ditayangkan Minggu, 21 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun