“Apa kamu yakin negara kita memiliki api?”
“Sangat yakin! Bahkan di pelajaran sekolah dasar dulu, guru mengatakan banyak sekali api yang kita miliki.” Jawabku tegas.
“Sekali lagi… kau salah, Nak! Kau tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ini.”
“Negara kita memang memiliki api. Sangat banyak, melimpah ruah. Tapi sebenarnya itu bukan milik kita lagi.”
“Dari beberapa benteng api yang kita miliki, kita tidak memiliki semuanya. Hanya kurang dari 10 persen saja yang benar-benar menjadi milik kita. Sisanya? Dikelola negara lain, yang pada akhirnya hasil penjualan api itu akan digunakan untuk kepentingan negara lain pula. Sedangkan negara kita? Harus terlunta-lunta mencari api dari negara lain.”
Aku terperangah mendengar penjelasan Tuan Bayan.
“Kenapa bisa seperti itu?”
“Karena negara kita ini naif. Dulu negara lain datang dengan senyuman, menawarkan bantuan untuk mengelola api. Negara kita diberikan sedikit manisan sebagai hiburan, sedangkan sarang gula yang sebenarnya diraup dan dirampas negara lain. Negara kita ini naif, bila beranggapan bahwa negara lain itu memiliki I’tikad baik seperti yang kita lakukan. Negara kita ini naif, jika mengatakan bahwa kita ini akan menciptakan kedamaian dan persahabatan dengan negara-negara lain. Sementara negara-negara lain melihat kita sebagai anak kucing yang siap diarahkan dengan sapu lidi miliknya.”
“Jadi maksud Tuan? Kita harus menjadi penyerang?”
Tuan Bayan menggeleng.
“Tidak, anak muda. Tidak. Rupanya kebijaksanaan belum ada sepenuhnya padamu.”