Part I
Menguasai Api
Aku dulu pernah berguru pada Tuan Bayan, seorang pemikir ulung yang telah menghasilkan buku-buku terkenal yang memberikan pandangan mengenai kehidupan bagi masyarakat. Walaupun bukunya telah menjadi sebuah mahakarya yang dikenal orang, tak banyak yang mengetahui sosok Tuan Bayan sesungguhnya. Di desa ini ia hanya dikenal sebagai seorang petani bijak, yang seringkali dimintai pendapat-pendapatnya oleh masyarakat di kampungnya.
Ya…. Seorang petani bijak saja, tidak lebih. Padahal dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, ia mampu menjadi salah satu orang penting di Negara Daun ini. Tapi entahlah, kenapa ia lebih memilih tinggal di kaki gunung dan menyebarkan pemikirannya melalui tulisan-tulisannya. Aku pernah menanyakannya tapi ia hanya menjawab dengan perkataan, “Suatu saat kau akan mengerti mengapa aku memilih hidup menyepi seperti ini.”
Aku ingat sekali sebuah tetuah hebat mengenai kekuasaan. Ia mengatakan itu kepadaku di dalam gubuknya, yang dinding-dindingnya terbuat dari kayu dan beratap jerami.
“Nak, jika kau ingin menguasai dunia, kuasailah api.” Katanya padaku sambil menatap kosong ke arah matahari senja.
“Api? Kenapa api?” tanyaku.
“Karena beratus-ratus tahun manusia hidup tanpa api dan tak ada yang peradaban berkembang pada masa itu. Tapi, ketika manusia mulai menemukan api, kemjuan peradaban berubah menjadi sangat pesat.”
“Karena dengan api, kita bisa menguasai angin, bisa menguasai air, bisa menguasai tanah.”
“Ah lantas bagaimana dengan negara-negara di bagian utara, mereka bisa tumbuh pesat bahkan tanpa memiliki api.”
“Kau salah, Nak. Kau hanya tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ini.”
“Kau tahu, negara macan? Ia melakukan banyak penyerangan ke negara-negara selatan, itu semua karena apa? Karena api. Negara selatan memiliki api yang tidak dimiliki oleh negara utara. Tak heran, jika semua tipu daya dilakukan untuk mendapatkan api itu, karena jika negara di utara memiliki api, mereka akan menjadi negara yang tak tertandingi dan tak satupun negara yang bisa melawannya.”
“Lantas bagaimana dengan Negeri Daun? Bukankah kita memiliki api?”
“Apa kamu yakin negara kita memiliki api?”
“Sangat yakin! Bahkan di pelajaran sekolah dasar dulu, guru mengatakan banyak sekali api yang kita miliki.” Jawabku tegas.
“Sekali lagi… kau salah, Nak! Kau tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan ini.”
“Negara kita memang memiliki api. Sangat banyak, melimpah ruah. Tapi sebenarnya itu bukan milik kita lagi.”
“Dari beberapa benteng api yang kita miliki, kita tidak memiliki semuanya. Hanya kurang dari 10 persen saja yang benar-benar menjadi milik kita. Sisanya? Dikelola negara lain, yang pada akhirnya hasil penjualan api itu akan digunakan untuk kepentingan negara lain pula. Sedangkan negara kita? Harus terlunta-lunta mencari api dari negara lain.”
Aku terperangah mendengar penjelasan Tuan Bayan.
“Kenapa bisa seperti itu?”
“Karena negara kita ini naif. Dulu negara lain datang dengan senyuman, menawarkan bantuan untuk mengelola api. Negara kita diberikan sedikit manisan sebagai hiburan, sedangkan sarang gula yang sebenarnya diraup dan dirampas negara lain. Negara kita ini naif, bila beranggapan bahwa negara lain itu memiliki I’tikad baik seperti yang kita lakukan. Negara kita ini naif, jika mengatakan bahwa kita ini akan menciptakan kedamaian dan persahabatan dengan negara-negara lain. Sementara negara-negara lain melihat kita sebagai anak kucing yang siap diarahkan dengan sapu lidi miliknya.”
“Jadi maksud Tuan? Kita harus menjadi penyerang?”
Tuan Bayan menggeleng.
“Tidak, anak muda. Tidak. Rupanya kebijaksanaan belum ada sepenuhnya padamu.”
“Kita tidak perlu menjadi penyerang seperti mereka. Kita tidak perlu melakukan cara-cara kotor seperti yang negara lain lakukan.”
“Tapi, untuk melindungi negara kita. Kita harus menyiapkan strategi untuk meng-counter serangan serangan yang mereka lakukan. Kita harus menjadi pemikir di atas pemikir untuk melindungi negara ini,”
“Satu hal yang tidak dimiliki negara ini adalah The Strategist.”
Aku terperangah kembali.
“Apa itu the strategist? Kenapa kita harus memiliki strategi semacam itu pula di negara kita.”
Tuan Bayan kembali menghela nafasnya.
“Kau tahu kenapa negara-negara di Utara menjadi sangat adigdaya? Itu karena ada pemimpin sebenarnya yang ada di balik negara itu. Boleh jadi lah kau melihat, raja-raja di negara utara berganti setiap beberapa tahun sekali. Tapi mereka sebenarnya hanyalah simbol dan perpanjangan tangan saja. Ada kekuasaan lain yang ada di atas raja-raja itu, dan dialah yang disebut dengan the strategist.”
“Boleh jadi dia adalah seorang manusia biasa yang tak terlihat, seperti aku, yang menyembunyikan jati diriku di balik gunung ini. Boleh jadi dia adalah sebuah kelompok besar, yang semua tahu, namun tak berdaya untuk bisa melawannya.”
Tuan Bayan memperbaiki posisi duduknya, disingkapkannya jubah kusamnya ke arah kirinya. Ia pun melanjutkan kembali petuahnya.
“Sampai mana kita tadi…”
Aku menjawab the strategist.
“Ah ya benar… The Strategist.”
“Kau tahu kenapa kita butuh strategi?”
Aku menggeleng.
“Kau tahu, Nak. Toko kelontongan di pojok pasar saja, memiliki strategi untuk bisa mengembangkan usaha-usahanya. Apalagi dengan sebuah negara? Bukan hanya butuh tapi wajib memiliki strategi.”
“Tapi agaknya masyarakat di negara Daun masih kurang bisa menilai pemimpin yang mereka butuhkan. Kelompok-kelompok di negara ini hanya saling mengajukan calon pimpinan hanya dari ketenaran saja, tanpa melihat latar belakang dan kemampuan yang dimilikinya.”
“Seolah-olah kekuasaanlah segalanya. Urusan negara maju atau tidak itu nomor dua.”
“Lantas kenapa Tuan Bayan mengatakan ini semua pada saya?”
Ia menatapku tajam dan kemudian tersenyum.
“Karena aku melihat bahwa kau… Heym. adalah orang yang tepat…”
“Untuk menjadi the strategist di negara daun ini”
Seketika tubuhku membeku dan tubuhku bergetar hebat saat mendengar perkataan dari Tuan Bayan. Semenjak saat itu, kehidupanku berubah. Ya,... berubah menjadi kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI