Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Palalangon: Kampung Kristen dengan Ironi Kemiskinan Warganya

19 Agustus 2022   18:32 Diperbarui: 19 Agustus 2022   18:49 11899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon (foto: lex) 

JALAN itu lurus. Lebarnya hanya satu meter. Batu kerikil berserakan di badannya. Aspal tipis mulai mengelupas.

Sebelum melampaui sebuah tikungan, persis di samping rumah dinas pendeta, di sebelah kiri terdapat  lapangan sepakbola. Rumputnya kerontang oleh kemarau. Berwarna coklat kekuningan. Pada sisi kanan lapangan bola itu, sebuah bangunan tua dengan menara lonceng yang menjulang. Di pucuknya terdapat replika ayam jago.

Itulah  Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Palalangon, di Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat.

***

Kami tiba dini hari di Kampung Palalangon, minggu kedua Agustus lalu. Satu mobil berangkat lewat Jonggol lurus ke Cianjur, sementara satunya lagi mengambil jalan ke arah Bandung lewat tol.  Kami keluar sebelum pintu tol Cipularang, lalu memutar menuju Cianjur.

Satu mobil dengan Alex Banua membuat saya banyak mendapat cerita tentang Palalangon. Maklum Alex bertugas selama 11 tahun di Palalangon sebagai pemimpin jemaat di sana.

"Saya mengenal Palalangon seperti mengenal telapak tangan saya sendiri," kata Alex sedikit  berseloroh. Alex pula yang menyusun buku sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Kristen di sana.

"Kalau mau diterbitkan harus diperbarui lagi," kata dia. 

Penginjilan NZV

Kekristenan di Ciranjang adalah hasil pelayanan Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV). Perhimpunan Pekabaran Injil ini berbasis Gereja Hervormd di Rotterdam, Belanda. Mereka aktif di ladang misi Jawa Barat sejak 1862. 

NZV sendiri direkomendasi oleh Genootschap voor Inen Uitwendige Zending (GIUZ), Perkumpulan Pekabaran Injil di Batavia (Jakarta) yang terdiri dari beberapa orang swasta Eropa. Kelompok ini  tergerak hatinya untuk mulai mengabarkan Injil kepada orang pribumi. Mula-mula mereka mengutus Adolf Muhlnickel (1854-1859) ke daerah Cikuya, Banten.

Pada 1863 NZV mengutus  C.Albers, D.J. Linden dan G.J. Grashuis ke Bandung. Tetapi Pemerintah Hindia Belanda melarang mereka menginjili penduduk asli. Alasannya karena mayoritas penduduk Jawa Barat saat itu telah memeluk agama Islam. Pemerintah Hindia Belanda sedang berupaya memanimalisir ketidaksukaan  pribumi kepada orang Eropa. Agama Kristen  adalah representasi Eropa ketika itu.

Kebencian terhadap orang Eropa kerap ditumpahkan kepada para penganut Kristen. Sebab itu, orang Kristen pribumi Sunda di Batavia , Depok, Jatinegara, Kampung Sawah, Gunung Putri, Cikembar, dan Cigelam pernag tercerai-berai  akibat intimidasi. 

Tetapi ada beberapa jemaat yang didirikan F.L.Anthing dapat beribadat dengan tenang karena mereka berada di atas tanah partikelir. Tanah partikelir ini ibarat "negara dalam negara". Seluas tanah itu, seluas itu pula kekuasaan si pemilik. Ia bisa menetapkan aturan dan pajak sendiri bagi penduduk yang tinggal di atasnya.

Para misionaris ini tak patah arang. Mereka melayani suku Ambon yang beragama Kristen di Bandung. Belakangan C. Albers bergerak ke Cianjur, Linden menuju Cirebon dan Grashuis belajar bahasa Sunda sampai khatam.

Komunitas yang cerai-berai dihimpun lagi dan ingin disatukan di bawah naungan pelayanan NZV. Penginjil B.M. Alkema mengemban tugas ini. Tetapi harus ada lokasi baru di mana belum pernah ada orang bermukim di sana.

Pencarian lokasi mulai dilakukan di wilayah Keresidenan Cianjur. Alkema diantar Sabri seorang wedana,  dan tujuh orang yang telah berhimpun kembali dalam kumpulannya: Miad Aliambar, Jena Aliambar, Hasan Aliambar, Akim Muhiam, Naan Muhiam, Yusuf Sairin, dan Elipas Kaiin.

"Munara Jaga"

Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Ini jalan paling mudah, karena sebagian besar Cianjur kala itu masih berupa hutan belantara.

"Menurut cerita, suatu siang dalam proses mencari tempat itu kaki pemimpin rombongan  terperosok ke lubang di dekat Kedung Kuya waktu mereka menyusuri sungai Citarum dan hutan-hutan di sekitarnya. 

Rombongan naik ke tanah yang lapang untuk beristirahat, kira-kira di tempat di mana lapangan sepakbola sekarang berada. Alkema merasa cocok setelah melihat tanah lapang tersebut. Lalu ia menancapkan tongkatnya dan bilang, "Di sini saya tetapkan sebagai tempat pemukiman untuk perkampungan orang-orang Kristen." 

Hutan mulai dibabat untuk pemukiman dan tanah pertanian. Lalu datanglah  7 keluarga berjumlah 21 jiwa dari Gunung Putri Bogor. Mereka inilah yang menjadi generasi perintis Jemaat Palalangon.

Pada 1902 dibangun tempat ibadat sementara. Bangunan sederhana dari bambu beratap alang-alang.  Hari itu, 17 Agustus 1902 saat B.M Alkema memberikan kebaktian sulungnya, ia kemungkinan besar mengutip Kitab Habakuk 2:1-4 yang menjadi bahan khotbah. Saat itulah nama Palalangon ditemukan. 

"Dalam Alkitab bahasa Sunda terjemahan lama pada ayat 1 terdapat kata 'Palalangon', yang dalam bahasa Sunda sehari-hari berubah menjadi 'Munara Jaga'. Patut diduga nama palalangon berasal dari sana," kata Alex.

GKP Palalangon adalah gereja tertua di wilayah Ciranjang. Tak berselang lama berdiri Gereja Kerasulan Pusaka di Rawaselang, tak jauh dari Palalangon. Dua gereja inilah yang menjadi cikal-bakal jemaat  Palalangon.

 Sekarang di Ciranjang terdapat GKP Palalangon, GKP Sindangjaya, GKP Ciranjang, Gereja Kerasulan Pusaka Rawaselang, Gereja Kerasulan Baru Rawaselang, Gereja Persekutuan Injili Eliezer, GPdI Pasirnangka, Gereja Pantekosta Ciranjang, GKI Ciranjang, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Gereja Persekutuan Oikumene Indonesia (GEPKOIN).

Dari data yang ada, jumlah anggota  jemaat GKP Palalangon berjumlah 337 kepala keluarga (KK), terdiri atas 600 orang anggota dewasa, 200 orang pemuda-remaja, dan 282 anak-anak. Jemaat terbagi dalam lima wilayah pelayanan.

 

Ironi Waduk Cirata

Siang usai kebaktian kami mengarungi Waduk Cirata. Dari Palalangon waduk seluas 6.334 hektar ini tampak padat oleh banyaknya jaring apung pemeliharaan ikan. Data dari Badan Pengelola Waduk Cirata, jumlah jaring apung mencapai 60.000 unit. Sementara menurut warga setempat, jumlahnya sudah berkembang hingga lebih dari 70.000 unit saat ini.

Karamba tempat memelihara ikan di Waduk Cirata (Foto: Lex) 
Karamba tempat memelihara ikan di Waduk Cirata (Foto: Lex) 

Sanitasi air menjadi persoalan. Penumpukan pakan ikan telah mencemari waduk ini. Dinas perhubungan setempat mencatat tak kurang dari 1.524 ton pakan ikan yang diberangkatkan dari Dermaga Jangari ke berbagai jaring apung setiap bulan. Adapun jumlah ikan yang diturunkan mencapai 1.400 ton.

PLTA Cirata juga merupakan Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat (Pikitdro Jabar) yang dapat membangkitkan energi listrik rata-rata sebesar 1.426 juta kilowat/jam pertahun.

Tetapi Waduk Cirata yang elok ini menyimpan kisah kemiskinan warga. Jaraknya hanya sekitar 1 km dari Palalangon. Tetapi masyarakat Palalangon tak maksimal mendapatkan manfaat. Tidak air waduknya, tidak nilai ekonomis dari hasil penjualan ikan.

"Sebagian besar pemiliknya adalah orang dari Jakarta dan Bandung. Penduduk di sini hanya mengelola," kata Indra Khrisna, pemuda GKP Palalangon,  mashgul.

Sungguh ironis. Warga Palalangon yang tinggal di pesisir waduk justru kesulitan air di musim kemarau. Sumur-sumur mereka kering. Untuk mendapatkan air bersih mereka harus mengebor 50-75 meter dan mengangkatnya dengan jetpump.  Bagaimana dengan air waduk?

"Ada larangan dari pemerintah untuk menyalurkan air waduk ke kampung. Sementara Palalangon ini kan posisinya seperti di atas tempurung kura-kura, jad sukar untuk mendapatkan air," kata Alex Banua.

Hal ironis lainnya adalah tak banyak lagi warga Kristen Palalangon yang memiliki tanah luas. Kebiasan bertani berangsur hilang. Orang muda mereka lebih memilih bekerja ke kota. "Orang gampang sekali jual tanah di sini. Jemaat rata-rata hanya petani dan petani penggarap. Sebagian kecil lagi menjadi  pegawai swasta dan pemerintah."

***

Matahari telah rebah ke barat saat kami meninggalkan jaring-jaring apung Waduk Cirata. Senja mulai temaram. Gelap perlahan turun.

Dan saat lampu-lampu dinyalakan, waduk itu laksana dihinggapi jutaan kunang-kunang yang terbang bergerombol. Terangnya gemerlap, seperti sebuah kota,  dari atas bukit Palalangon.

"Malam-malam kalau sedang suntuk  saya sering  ke sini. Sekadar nonton lampu lalu pulang lagi ke rumah. Di sini tak ada tontonan," kata Indra Krisna.

Indra menjadi pemandu  saya. Sebelum menjelajah Waduk Cirata dengan perahu, kami berjalan kaki melewati rumah-rumah penduduk. Pada ujung kampung, pada bibir waduk kami berhenti. Indra menunjuk sebuah kawasan makam pada sisi bukit.

 "Sebagian dari makam telah ditenggelamkan untuk waduk," ujarnya. Mula-mula lahan untuk makam  seluas dua hektar.

 Indra lahir di Palalangon. Ia salah satu anggota pemuda Gereja Kristen Pasundan (GKP). Masa kecil hingga dewasa ia habiskan di sana. Usai SMK ia tak bisa melanjutkan studi karena keterbatasan ekonomi orangtuanya. Ia menjadi penyiar di Radio Komunitas Citra Kasih Palalangon. "Full time, tetapi betul-betul pelayanan. Tak ada gaji," kata dia.

***

Jarak Palalangon ke Bandung, ibukota propinsi Jawa Barat hanya 60 km. Sementara dari Cianjur ke Palalangon sekitar 15 km. Jarak yang relatif dekat ini, telah membuat kehidupan modern ikut merasuk hingga ke pelosok-pelosok Palalangon.

 "Tetapi Palalangon berubah secara drastis waktu Waduk Cirata selesai dibangun  pada 1988," kata Iman Subarna Marchasan, warga Palalangon. Sejak itu banyak orang  kota yang datang menanamkan modalnya di atas waduk seluas 26 km persegi itu. Mereka membangun keramba apung untuk memelihara ikan. Pengelolanya adalah penduduk Palalangon.

Pemotongan pita dalam rangka ulang tahun GKP Palalangon ke-115 (Foto: lex) 
Pemotongan pita dalam rangka ulang tahun GKP Palalangon ke-115 (Foto: lex) 

Semenjak itu penduduk desa ini mengenal profesi lain di luar petani.

"Dulu di sini rata-rata petani. Tapi sekarang sudah bergeser. Banyak yang menjaga keramba. Terutama karena tanah-tanah mereka sudah dijual pada orang lain. Banyak juga yang terkena proyek waduk," kata Iman.

Penduduk menjadi kaya sesaat dengan uang ganti rugi yang diberi pemerintah. Tetapi di sisi lain, tanpa mereka sadari telah kehilangan tanah yang menjadi sumber penghidupan turun-temurun.  Begitu uang selesai dibelanjakan, mereka tak punya apa-apa lagi.

Karena waduk ini pula Palalangon dikerubungi banyak pendatang. Pemukiman baru dibangun. Para pendatang biasanya membeli tanah penduduk dengan harga tiga kali lipat dari harga biasa.

"Yang tak berpikir panjang biasanya langsung jual saja. Mereka tidak tampik tawaran itu," kata Ferry Chandra, anggota jemaat GKP Palalangon.

Bacaan:

  1. Thomas van den End. Harta Dalam Bejana. BPK Gunung Mulia, cetak ulang (2019)
  2. Th. Van den End. Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat, 1858-1963. BPK Gunung Mulia, 2006)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun