NZV sendiri direkomendasi oleh Genootschap voor Inen Uitwendige Zending (GIUZ), Perkumpulan Pekabaran Injil di Batavia (Jakarta) yang terdiri dari beberapa orang swasta Eropa. Kelompok ini  tergerak hatinya untuk mulai mengabarkan Injil kepada orang pribumi. Mula-mula mereka mengutus Adolf Muhlnickel (1854-1859) ke daerah Cikuya, Banten.
Pada 1863 NZV mengutus  C.Albers, D.J. Linden dan G.J. Grashuis ke Bandung. Tetapi Pemerintah Hindia Belanda melarang mereka menginjili penduduk asli. Alasannya karena mayoritas penduduk Jawa Barat saat itu telah memeluk agama Islam. Pemerintah Hindia Belanda sedang berupaya memanimalisir ketidaksukaan  pribumi kepada orang Eropa. Agama Kristen  adalah representasi Eropa ketika itu.
Kebencian terhadap orang Eropa kerap ditumpahkan kepada para penganut Kristen. Sebab itu, orang Kristen pribumi Sunda di Batavia , Depok, Jatinegara, Kampung Sawah, Gunung Putri, Cikembar, dan Cigelam pernag tercerai-berai  akibat intimidasi.Â
Tetapi ada beberapa jemaat yang didirikan F.L.Anthing dapat beribadat dengan tenang karena mereka berada di atas tanah partikelir. Tanah partikelir ini ibarat "negara dalam negara". Seluas tanah itu, seluas itu pula kekuasaan si pemilik. Ia bisa menetapkan aturan dan pajak sendiri bagi penduduk yang tinggal di atasnya.
Para misionaris ini tak patah arang. Mereka melayani suku Ambon yang beragama Kristen di Bandung. Belakangan C. Albers bergerak ke Cianjur, Linden menuju Cirebon dan Grashuis belajar bahasa Sunda sampai khatam.
Komunitas yang cerai-berai dihimpun lagi dan ingin disatukan di bawah naungan pelayanan NZV. Penginjil B.M. Alkema mengemban tugas ini. Tetapi harus ada lokasi baru di mana belum pernah ada orang bermukim di sana.
Pencarian lokasi mulai dilakukan di wilayah Keresidenan Cianjur. Alkema diantar Sabri seorang wedana, Â dan tujuh orang yang telah berhimpun kembali dalam kumpulannya: Miad Aliambar, Jena Aliambar, Hasan Aliambar, Akim Muhiam, Naan Muhiam, Yusuf Sairin, dan Elipas Kaiin.
"Munara Jaga"
Ekspedisi untuk menemukan lahan pemukiman dimulai dengan menyusuri aliran Sungai Citarum. Ini jalan paling mudah, karena sebagian besar Cianjur kala itu masih berupa hutan belantara.
"Menurut cerita, suatu siang dalam proses mencari tempat itu kaki pemimpin rombongan  terperosok ke lubang di dekat Kedung Kuya waktu mereka menyusuri sungai Citarum dan hutan-hutan di sekitarnya.Â
Rombongan naik ke tanah yang lapang untuk beristirahat, kira-kira di tempat di mana lapangan sepakbola sekarang berada. Alkema merasa cocok setelah melihat tanah lapang tersebut. Lalu ia menancapkan tongkatnya dan bilang, "Di sini saya tetapkan sebagai tempat pemukiman untuk perkampungan orang-orang Kristen."Â