Yali memberi gambaran, "Panas sedikit langsung mati. Mencret sedikit langsung mati," kata dia.
Yali ketemu penyebabnya. Karena buang air besar sembarangan (BABS) menjadi biang diare berjangkit. Sementara honai yang tidak berventilasi membuat asap terus-menerus dihirup. Membuat radang paru-paru. Penyakit pneumonia. Â
Sebab kata Yali, secara turun-temurun warga Air Garam dan Manda terbiasa BABS di sungai, kebun, hutan atau di belakang rumah. Belum ada kebiasaan memakai jamban.
"Dulu, kalau kita duduk begini bau datang dari mana-mana. Habis, kita buang kotoran sembarangan. Di belakang honai, kebun, di sungai, kita buang saja," ujar Yali. Â
Salah satu penyebab diare di Manda dan Air Garam, karena BABS ini.
"Lalat hinggap di kotoran. Terbang, Â hinggap di makanan. Ini yang bikin anak balita mencret-mencret. Kena Diare," kata dia.
 Yali putar otak. Soal jamban yang dibicarakan dengan WVI jadi bahan pemikirannya. Tapi membeli semen, seng, paku dan bahan bangunan lain, bukan perkara gampang. Di Wamena harga barang-barang ini sudah naik berkali-kali lipat. Sebab semuanya mesti diterbangkan dari Jayapura atau Timika. Biaya transportasi ditanggungkan kepada pembeli. Melalui harga yang tak kepalang tingginya itu. Jika satu sak semen yang di pulau lain seharga Rp75 ribu, di Wamena sudah menjadi Rp800 ribu ketika itu. Â
Dua jamban percontohan segera dibangun. Yakni yang di depan gereja itu. Klosetnya dari seng. Dibuat seperti talang air menuju lubang penampungan yang berukuran 3 meter x 3 meter. Tempat jongkok adalah kayu dari hutan-hutan di atas gunung.
Bagaimana dengan lantai? Karena harga semen mahal, Yali memanfaatkan abu bekas pembakaran kayu. Abu dapur itu diaduk dengan air mendidih. Ternyata lengket. Jadilah semen "made in" Air Garam.
"Lubang septic tank kami tutup dengan susun kayu, lalu tutup dengan tanah. Supaya  uapnya bisa keluar, kami pakai batang buah merah, kasih lubang, trus tancap di atas. Paralon mahal jadi...," Yali bicara dalam dialek Wamena.