Yali Inggibal berbadan langsing. Tingginya sekitar 170 cm. Ia berbicara dalam bahasa Indonesia yang fasih. Usianya sedikit di atas 40 tahun.
Sementara Kepala Suku Wulep Kenelak sudah warga senior. Â Saya menaksir usianya di atas 60 tahun. Keriput pada wajahnya menegaskan itu.
Wulep hanya bisa berbahasa Walak, salah satu bahasa di kawasan Jayawijaya. Ia murah senyum. Jabat tangannya erat. Â Tulus.
Tetapi keduanya tak tahu kapan mereka lahir.
 Sebagai patokan adalah operasi militer tahun 1977 di Pegunungan Tengah. Waktu itu Papua masih bernama  Irian Jaya (Irja). Rezim Soeharto melakukan beberapa kali operasi militer. Antara lain Operasi Kikis. Untuk memadamkan  perlawanan warga yang menolak hasil jajak pendapat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, apakah gabung Indonesia atau diberi kebebasan menentukan pilihan. Perwakilan suku dan tokoh masyarakat memilih bergabung dengan Indonesia.Â
 Orang Papua menyebut operasi militer itu sebagai "peristiwa".  Ingatan mereka sangat membekas terhadapnya. Sebab ratusan orang tertembak dan ribuan orang terpaksa mengungsi ke gunung-gunung. Termasuk Yali dan Wulep.
"Kira-kira pas 'peristiwa', saya usia sama anak ini." Â Yali menunjuk remaja di sampingnya. Berusia tak lebih dari 14 tahun. Kelas V sekolah dasar di Dusun Manda.
Sementara Wulep, sudah seorang pemuda tanggung ketika "peristiwa" terjadi. Ketika operasi militer itu dilakukan, mereka berdua lari ke hutan.
Setelah "peristiwa", Â kehidupan relatif tenang. Meskipun api perlawanan tak kunjung padam. Generasi berganti, perlawanan masih terus. Hingga kini ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) kerap bikin onar di sana. Dan berganti sebutan menjadi KKB; Kelompok Kriminal Bersenjata.Â
"Saya lulus SMP Persamaan. Bapa Wulep tidak sekolah," ungkap Yali.
Seseorang yang telah menerjemahkan omongan Yali membuat Wulep tersenyum.
***
Kampung Air Garam dan Manda di Distrik Bugi, Â berjarak 20 km dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Sekitar 30 menit berkendara. Jalan mula-mula beraspal mulus.
Namun selepas Wamena pada beberapa titik, Â jalan telah berlubang. Melalui rute ini pula Kabupaten Tolikara bisa dijangkau. Berjarak 150 kilometer dari Wamena. Empat jam naik "taksi". Yakni mobil 4WD yang dioperasikan sebagai kendaraan angkut penumpang.
Banyak kampung berada di sisi jalan. Demikian pula puskesmas, sekolah dan fasilitas pemerintah lainnya. Kampung Manda dan Air Garam berada di pinggir jalan Wamena-Tolikara itu. Â Meskipun Air Garam sedikit menjorok ke dalam dengan posisi lebih tinggi dari jalan itu.
Tetapi di Wamena ada dua Air Garam. Untuk membedakannya warga sering menyebut "Air Garam-Manda" di Distrik Bugi, dan "Air Garam- Assotipo" di Distrik Assotipo. Kampung yang terakhir ini berada di sisi lain Wamena. Untuk sampai ke sana mesti melewati sungai. Beruntung kalau jembatan tidak diputus banjir. Jika putus, kita harus balik kanan. Pulang.
Waktu kami ke sana, sedang musim bunga di Air Garam  di Assotipo. Sepanjang jalan mendaki ke kampung itu bunga-bunga dengan kelopak kuning dan merah sedang mekar. Elok dipandang mata. Pada ujung jalan di mana aspal berakhir, adalah Gereja Kemah Injil Jemaat Berwaad.
Pas kami di SD Air Garam-yang di Assotipo itu-hari sudah siang. Sekolah sepi. Murid-murid telah  pulang. Waktu teman seperjalanan menengadah ke tiang bendera, ia menunjuk-nunjuk. Saya pikir ada bendera lain yang disisipkan. Oh, ternyata tidak!
"Anak-anak tra perhatikan waktu kasih naik bendera." Seorang guru memberi alasan. Ia mengerek turun bendera. Saya bantu membentangkannya. Diikat ulang. Merah di atas, putih di bawah.
***
Dan SD Manda adalah pintu masuk ke kampung Manda dan Air Garam di Distrik Bugi. Kami melewati halamannya. Gerbangnya pas satu mobil. Palang penutupnya bisa dibuka tutup. Kayu-kayu palang ditarik ke samping. Â
Setelah sekolah dan rumah warga, terdapat  hamparan tanah kosong. Ilalang setinggi pinggang orang dewasa bertumbuh subur. Melewatinya kita akan menjumpai rumah-rumah warga yang lain. Yakni honai. Rumah khas warga di Papua. Dan sebuah gereja di ujungnya pada ketinggian.
 Tampaknya gereja sengaja dibangun pada ketinggian tanah itu. Ia mudah dilihat dari jalan raya. Ketika beberapa kali saya lewat lagi di sana, pada tahun yang berbeda, saya masih ingat persis gereja itu.
Itulah Gereja Kemah Injil (Kingmi) Air Garam. Kingmi salah satu denominasi Protestan dengan jumlah anggota jemaat yang besar di Papua, setelah GKI Tanah Papua. Â Anggota jemaatnya hampir mencapai satu juta jiwa. Oleh karena jumlah yang besar ini, Gereja Kingmi cukup punya pengaruh dalam dinamika politik lokal di Papua. Ini menyangkut suara dalam pemilu, kawan!
Halaman gereja seukuran separuh lapangan bola. Rumputnya dipangkas rapi. Tanaman pisang dan buah merah bertumbuh subur di sampingnya. Dua pokok cemara menjulang di depan. Bikin rimbun halaman gereja. Sejuk.
Di bawah rimbun cemara itu, di depan gereja Kingmi itu, Yali dan Wulep telah menanti.
***
Dua jamban itu hanya berjarak 50 meter dari gereja. Dinding dan atapnya dari seng. Â Bangunan biasa saja jamban-jamban itu. Kecuali sejarah pendiriannya.
Itulah jamban pertama di Manda dan Air Garam. Yang menjadi jamban percontohan. Lembaga kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI) berperan besar dalam hal ini.
Selain warga, jemaat yang datang beribadah pada hari Minggu boleh memakai dua jamban itu. Tersedia jerigen berisi air di depan. Digantung pada tuas kayu. Seutas tali menjulur ke bawah. Ketika tali diinjak, mulut jeriken akan miring, menuangkan air ke tangan Anda. Ada sabun di situ. Silakan cuci tangan setelah buang air besar.
 Di seberang jamban adalah honai. Milik Yali dan keluarganya.
"Ini honai laki-laki," kata Yali sembari menunjuk.
"Ini honai keluarga," kata dia lagi menunjuk sebuah honai dengan ukuran lebih panjang.
Yali memperlihatkan dapurnya. Sang istri sedang meramu buah merah. Untuk dijadikan saos. Sebuah belanga berisi saos buah merah sedang bergelegak di tungku perapian. Â
Sekeliling honai adalah kebun. Dan kolam-kolam ikan. Yali memelihara ikan.
"Kolam di belakang ini saya isi ikan mas bantuan dari WVI. Kalau panen saya bagi sama warga lain yang punya kolam juga. 50 ekor setiap orang," jelasnya. Â
Selain ikan, Yali juga pernah mendapat jatah kelinci dan ayam. Untuk dipelihara sebagai asupan gizi keluarga.
Â
***
Data yang dikeluarkan WHO tahun 2012 ada 31.200 balita dari seluruh Indonesia meninggal karena diare. Penyebabnya karena minimnya pengetahun tentang kebersihan. Penyumbang terbesar kematian adalah Papua yang disebabkan oleh perilaku buang air besar sembarangan.
Tahun 2015, organisasi Unicef juga mengeluarkan data hasil penelitian. Sekitar 300 ribu anak di bawah usia lima tahun meninggal karena kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk setiap tahun di seluruh Indonesia. Sejumlah 1,4 juta anak menderita sakit akibat pneumonia dan diare.
Dan di Manda dan Air Garam, sebelum tahun 2013 kasus kematian bayi cukup tinggi. Antara 3-6 bayi setiap tahun. Dengan gejala demam disertai diare.
Yali memberi gambaran, "Panas sedikit langsung mati. Mencret sedikit langsung mati," kata dia.
Yali ketemu penyebabnya. Karena buang air besar sembarangan (BABS) menjadi biang diare berjangkit. Sementara honai yang tidak berventilasi membuat asap terus-menerus dihirup. Membuat radang paru-paru. Penyakit pneumonia. Â
Sebab kata Yali, secara turun-temurun warga Air Garam dan Manda terbiasa BABS di sungai, kebun, hutan atau di belakang rumah. Belum ada kebiasaan memakai jamban.
"Dulu, kalau kita duduk begini bau datang dari mana-mana. Habis, kita buang kotoran sembarangan. Di belakang honai, kebun, di sungai, kita buang saja," ujar Yali. Â
Salah satu penyebab diare di Manda dan Air Garam, karena BABS ini.
"Lalat hinggap di kotoran. Terbang, Â hinggap di makanan. Ini yang bikin anak balita mencret-mencret. Kena Diare," kata dia.
 Yali putar otak. Soal jamban yang dibicarakan dengan WVI jadi bahan pemikirannya. Tapi membeli semen, seng, paku dan bahan bangunan lain, bukan perkara gampang. Di Wamena harga barang-barang ini sudah naik berkali-kali lipat. Sebab semuanya mesti diterbangkan dari Jayapura atau Timika. Biaya transportasi ditanggungkan kepada pembeli. Melalui harga yang tak kepalang tingginya itu. Jika satu sak semen yang di pulau lain seharga Rp75 ribu, di Wamena sudah menjadi Rp800 ribu ketika itu. Â
Dua jamban percontohan segera dibangun. Yakni yang di depan gereja itu. Klosetnya dari seng. Dibuat seperti talang air menuju lubang penampungan yang berukuran 3 meter x 3 meter. Tempat jongkok adalah kayu dari hutan-hutan di atas gunung.
Bagaimana dengan lantai? Karena harga semen mahal, Yali memanfaatkan abu bekas pembakaran kayu. Abu dapur itu diaduk dengan air mendidih. Ternyata lengket. Jadilah semen "made in" Air Garam.
"Lubang septic tank kami tutup dengan susun kayu, lalu tutup dengan tanah. Supaya  uapnya bisa keluar, kami pakai batang buah merah, kasih lubang, trus tancap di atas. Paralon mahal jadi...," Yali bicara dalam dialek Wamena.
***
Persoalan lebih besar bukan pada bangunannya. Namun bagaimana mengubah tabiat orang. Mengubah kebiasaan warga agar tak buang kotoran secara sembarangan, bukan perkara gampang. Yali mendapat tantangan.
Warga protes dengan kebiasaan baru tersebut. Menurut mereka, jamban bukan budaya nenek moyang mereka. Selama puluhan tahun mereka sudah terbiasa BAB di sembarang tempat. Di mana-mana.
Tetapi Yali tak kurang akal. Dalam setiap penyuluhan yang dilakukan WVI dan  dinas kesehatan, ia selalu menyertakan Wulep. Bagi orang Papua, kepala suku adalah panutan. Suaranya didengarkan. Perintahnya diikuti.
"Bapa Wulep ini orangnya sangat mengerti meskipun tidak bisa membaca dan menulis. Saya beritahu tentang pentingnya jamban. Saya beritahu kalau anak-anak kami banyak yang meninggal akibat mencret karena buang kotoran sembarangan. Setiap ada pertemuan dia ikut. Beliau setuju dengan saya."
Yali memandang Wulep.
Wulep cerdas. Ia bilang kepada Yali untuk menetapkan denda. Warga yang ketangkap berak sembarangan akan kena denda Rp300 ribu.
"Bapa Wulep yang jaga sendiri di depan jamban,ha-ha-ha. " Yali terbahak.
"Dendanya tinggi sekali?"tanya saya.
Yali menerjemahkan pertanyaan saya. Wulep ketawa mendengarnya. Â Ia menjawab dalam bahasa daerah. Â
"Bapa Wulep bilang, denda yang tinggi supaya masyarakat taat. Kalau dendanya rendah, pasti dilanggar."
 Karena takut kena denda, warga mulai tertib. Awalnya karena takut. Lama-lama menjadi kebiasaan.
Dua tahun sejak wajib jamban, sudah jarang ada balita dan anak yang mencret. Angka kematian balita bisa ditekan.
Tadeus "Tedy" Kogoya, fasilitator  pendamping WVI yang bertugas di Air Garam dan  Manda melihat banyak perubahan.
 "Sangat terasa perbedaannya setelah ada jamban. Kesadaran warga untuk hidup bersih juga cukup tinggi. Misalnya kami ajak warga untuk cuci tangan pakai sabun. WVI bantu siapkan sabun. Di setiap pintu jamban sekarang selalu disiapkan air dan sabun untuk cuci tangan. Kalau ada yang demam atau diare, langsung bawa ke Puskesmas."
Untuk membangun jamban permanen, WVI melakukan pemicuan. Hanya membantu memberi seng, semen, dan kloset jongkok. Sekali itu saja! Sebab lembaga ini punya cara kerja yang terbilang oke. Mereka selalu ingin memunculkan swadaya warga.
Setahun setelah pertemuan kami itu, Tedy tiba-tiba sakit. Ia dilarikan ke rumah sakit di Timika. Sebab RSUD Wamena sudah angkat tangan. Namun terlambat. RIP Tedy.
Kesadaran warga benar-benar muncul. Tokh, sudah terbukti anak-anak mereka jarang sakit karena jamban dan kebersihan lingkungan terjaga. Inisiatif mulai muncul. Warga membangun jamban sendiri. Atau dua-tiga keluarga bersekutu membangun satu jamban. Untuk dipakai bersama. Yali dengan ringan tangan membantu mereka.
 "Ada yang atap masih alang-alang tetapi ada juga yang seng. Sesuai kemampuan mereka. Di Air Garam dan Manda sini sudah ada 65 jamban. Kami bisa makan di halaman rumah seperti sekarang karena tidak ada bau lagi," kata Yali, sembari mengedarkan ipere bakar yang sudah disiapkan Yali dan Wulep untuk kami. Saos buah merah langsung dicedok dari kuali. Fresh from oven.
Setelah persoalan jamban selesai, WVI kembali membuat pemicuan membangun honai dan dapur  sehat. Sebab salah satu penyebab utama radang paru pada balita karena terus-menerus menghirup asap dalam honai yang tak berjendela. Cuaca dingin sepanjang tahun membuat warga membangun honai hanya dengan satu pintu. Api terus dihidupkan untuk mengusir hawa dingin. Â
Yali kasih contoh. Honainya diberi jendela. Agar udara leluasa masuk ke dalam honai. Untuk memasak, dibuatlah dapur yang terpisah dari honai tempat tinggal. Warga kembali berswadaya membangun dapur sendiri. Yali yang terampil bertukang membantu mereka.
Waktu kami datang lagi sudah ada 33 dapur dan honai berventilasi di Air Garam dan Manda.
***
Rupanya kabar baik dari Air Garam dan Manda menjalar ke kampung dan distrik lain. Yali mulai sibuk menanggapi permintaan mengajar cara membuat jamban dan dapur sehat. Setidaknya ada 12 kampung yang telah datang minta bantuan kepadanya.
"Di (kampung) Duto kami bikin delapan jamban. Terus pindah ke Walok Selatan ada 5 jamban. Kemudian ke Distrik Tagime 33 jamban. Jadi total sekitar 128 jamban sudah kami bikin sampai saat ini," jelas Yali. Â
Tahun 2018 saya datang ke Wamena lagi. Saya tidak sempat singgah ke Air Garam. Meskipun waktu ke Iriliga kami melewatinya.
Suatu kali ada nomer tak dikenal mampir ke HP saya.
"Halo Mbapa, ini dengan Pak Zali dari Air Garam..."
Kami ngobrol beberapa menit.
"Mbapa, mohon doa. Saya mo masuk politik."
Maksudnya Yali ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari sebuah partai.Â
Entah Yali jadi masuk betulan atau tidak? Saya belum cek lagi!***(Lex)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H