Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Remy Sylado: Messter Op Alle Wapens

5 Agustus 2022   14:30 Diperbarui: 5 Agustus 2022   14:52 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remy Sylado (Sumber: Perpustakaan Alcheron) 

Tugas pengarang, juga jurnalis, adalah memperkenalkan kata-kata yang jarang dipakai atau mengambil bahasa yang terpakai umum, menjadi bahasa tulis. 

Misalnya di novel saya Mimi lan Mintuna itu  sejumlah kosa kata bahasa Jawa ngoko saya pakai dengan sengaja. Kata 'deprok', 'mencla-mencle', 'plintat-plintut', bahasa Indonesianya kan ndak ada. Juga tidak ada dalam kamus Indonesia, tetapi sering kita pakai.

Sebagai pengarang bahasa Indonesia saya ingin seperti pengarang Inggris, menyumbangkan sejumlah kata yang sudah mati menjadi kata baku bahasa Inggris. Shakespeare  melakukan itu. Ribuan kata yang ada dalam kamus Inggris itu hasil otak-atik sheakespeare.

 Siapa pengarang  idola Anda? 

Saya sangat kagum pada Shakespeare, juga  kagum sekali T.S.Eliot.  Shakespeare masih muda sekali ketika dia menulis ke-37 naskah dramanya. Eliot adalah seorang sastrawan Kristen yang kuat.  Karya-karya dia sangat Kristen. Eliot  harus dipandang tersendiri sebagai maestro pada abad ke-20.

Saya juga suka sekali gaya bahasanya Goenawan Mohamad. Orang ini luar biasa. Saya harus menyebut dia kawindra; raja penyair, raja sastra. Kok tidak habis-habis kreatifitas dia menulis setiap pekan? Goenawan contoh yang ideal untuk seorang jurnalis dan sastrawan.  

Dia menggunakan bahasa jurnalistik yang kesastraan. Dia tidak pernah memakai ungkapan yang sudah dipakai orang. Dia selalu gelisah menemukan bahasa yang cantik. Bukan bahasa yang baik dan benar.

Bagaimana proses kreatif Anda?

Saya tidak menunggu ilham. Saya menganggap menunggu ilham itu membuat pengarang jadi jatuh miskin. Ilham harus diperintah. Kita bisa perintah ilham berdasarkan observasi yang kita lakukan. Kalau saya berjalan sepanjang Cipinang---Senen  misalnya, saya sudah observasi kehidupan. 

Suatu ketika saya melihat  seorang yang menyeberang jalan berlari membungkuk. Sampai di seberang dia berdiri tegak. Lalu berlari membungkuk lagi. Saya simpan dalam daya ingat kreatif. Ketika saya mau nulis tentang tokoh seperti itu, saya perintah ini ilham datang. Satu tokoh kreatif  dalam sebuah novel, itu bisa terdiri dari beberapa manusia  yang saya observasi dalam kehidupan sehari-hari.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun